“…Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahfi : 28)
Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’di dalam tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan ketika menjelaskan makna ayat tersebut menyatakan bahwa, maksud “hati yang telah Kami lalaikan dari mengingat Kami” adalah akibat atau hukuman atas sikap orang yang telah melalaikan Allah, sehingga Allah menjadikan hati orang tersebut lalai kepada Allah. Karena hati yang lalai itulah, maka apa yang dilakukannya hanyalah “ittaba’a hawaahu”, yakni mengikuti dan mematuhi keinginan (hawa) nafsunya.
Lebih lanjut, Al-Sa’di menegaskan bahwa makna “ittaba’a hawaahu” adalah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan (ilah)-nya. Setiap apa yang diinginkannya akan dilakukannya dan diusahakan untuk mendapatkannya. Meskipun ia tahu, bahwa dalam keinginannya tersebut ada kerusakan dan kerugian. Inilah makna hati yang lalai dalam ayat tersebut menurut Al-Sa’di.
Sekarang mari kita lihat ke dalam diri kita masing-masing. Mana yang lebih sering kita lakukan, mengingat atau melupakan Allah? Mana yang lebih sering kita ikuti, keinginan (hawa nafsu) ataukah bisikan hati nurani untuk berbuat baik?
Jawaban atas dua pertanyaan di atas sudah bisa menjadi indikasi, apakah kita termasuk orang yang hatinya lalai ataukah yang hatinya selalu mengingat Allah.
Disadari atau tidak, sebagian besar dari kita lebih banyak melalaikan Allah daripada mengingatnya. Kita lebih sering menuruti keinginan nafsu daripada bisikan nurani yang suci.
Secara jujur harus penulis akui, penulis lebih sering melupakan Allah daripada mengingatnya. Penulis lebih sering mengikuti keinginan (hawa nafsu) daripada menuruti hati nurani. Semoga pembaca tidak demikian.
Melalaikan Allah disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk tetap dan terus istikamah menghadirkan Allah dalam hatinya. Allah hanya ditempatkan di hati saat berada di Masjid, Mushalla, majelis taklim, serta tempat-tempat ibadah lainnya. Sementara ketika berada di luar zona tempat ibadah, seperti di kantor, di pasar, di jalan, dan di pelbagai tempat lainnya, seringkali Allah tidak dihadirkan di hati, bahkan ditempatkan jauh dari diri seseorang. Imbas dari kondisi ini adalah, seseorang begitu mudah tergoda dan terbuai oleh bujuk rayu nafsu yang dihembuskan oleh sang durjana, Iblis laknatullah ‘alaihi.
Hati yang lalai ini harus segera disadarkan dengan kembali mengingat apa sebenarnya tujuan hidup ini? Hati yang lalai ini harus segera dibangunkan dengan menyadarkan diri bahwa Allah selalu hadir dan menyertai di mana pun dan kapan pun kita berada. Karena, jika dibiarkan dalam kelalaian, maka tidak menutup kemungkinan hati itu akan mengidap penyakit, dan lambat laun akan menjadi hati yang mati. Na’udzu billahi min dzalika.
Ruang Inspirasi, Sabtu, 30 November 2019