27.8 C
Jakarta

Hindari Diri dari Bermuka Masam

Baca Juga:

Oleh: Ashari, SIP *

Pernahkah kita bermuka masam atau menunjukkan sikap yang tidak bersahabat ketika datang seorang teman atau tamu yang di mata kita kedudukannya secara materi lebih rendah? Kalau iya, maka segeralah kita istighfar, mohon ampunan kepada Allah Swt. Karena pada galibnya Allah tidak pernah melihat kita dari sisi materi ini, tetapi lebih dari kualitas taqwa kita masing-masing. Justru ini sebagai bentuk keadilan Allah Swt. Sebab kalau Allah ‘memandang’ dari sisi materi, tentu  kasihan mereka yang kebetulan tidak berharta benda dan berkedudukan.

Rasululllah Saw sendiri, pernah melalukan kesalahan dalam hal ini.  Seperti yang dimuat dalam awal-awal Surat ‘Abasa (Ia bermuka masam). Surat ke-80 Juz 30 ini mengisahkan bagaimana Rasul Muhammad bermuka masam dan berpaling karena telah datang  seorang buta kepadanya. Padahal tahukah engkau barangkali ia akan membersihkan diri dari dosa dan dia ingin mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu bermanfaat baginya, Adapun kepada orang-orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu  melayaninya.

Teguran Allah  ini menyadarkan kepada kita untuk tidak suka meremehkan orang lain. Sebab pada hikmahnya, setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing, satu dengan  yang lain saling melengkapi. Kita disebut kaya, karena ada yang miskin, disebut pintar karena ada yang bodoh. Kita bisa berhasil, bisa jadi karena pertolongan dan do’a orang-orang miskin dan teraniaya. Tak ada kesuksesan mutlak karena usaha pribadi.

Sikap merendahkan orang lain, muncul karena kita ini merasa lebih hebat. Hal ini sebenarnya dapat menimpa  siapa saja, terutama memang mereka yang mempunyai  posisi atau kedudukan tertentu, sangat gampang terkena syndrom kesombongan ini. Padahal Rasulllah Saw, panutan kita, pernah berpesan agar kita hati-hati  dengan sifat sombong dan takabur yang merupakan embrio lahirnya kemungkaran.

Kita tentu ingat bagaimana kisah Raja Fir’aun atau Namrudz yang sudah sangat kelewatan sombongnya, sampai-sampai mereka mengaku Tuhan yang berhak disembah. Mereka mengaku dapat menentukan nasib kaumnya. Dan Allah murka maka mereka diazab-nya.

Seorang ustadz, kiai  belum tentu lepas dari godaan ini. Malah, bisa jadi lebih berat. Maka adanya pelajaran-pelajaran  yang seringkali kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang kita alami sendiri atau orang lain, hendaknya menjadi hikmah. Jangan sampai kita seperti yang disindir oleh Allah dalam surat Al Baqarah ayat 6-7 bagaimana Allah menggambarkan kondisi orang-orang kafir, kataNya: Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka  tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang berat. Naudzubillah.

Atau dalam ayat yang lain, Allah memberikan pelajaran kepada kita agar kita tidak suka mengolok-olok orang lain, sebab bisa saja yang kita olok-olok itu lebih baik dari kita sendiri.

‘Abasa Watawalla. Bermuka masam. Secara psikologis sesungguhnya sikap ini justru kontra produktif, karena orang akan menjauh darinya. Kebanyakan kita tidak suka berteman atau bersahabat kepada orang yang bermuka masam. Karena ‘makan hati’. Ia merasa paling pintar, paling benar, paling kaya dan paling-paling lainnya – sehingga membuat jarak dalam berkomunikasi.

Secara kasat mata, bermuka masam, juga membuat wajah kita tidak bagus. Bandingkan kalau kita sedang tersenyum. Energi yang dikeluarkan untuk bermuka masam-pun konon lebih banyak. Maka marilah  suka menghargai orang lain. Dengan demikian maka kita akan menempatkan orang lain sejajar, bahkan lebih tinggi dari kita. Ingat, orang yang haus untuk dihargai, sesungguhnya karena  mereka sedang krisis  harga diri. Allahu Akbar.

Bagaimana caranya agar kita  tidak suka merendahkan orang lain, baik dengan sikap atau bahkan pandangan mata sekalipun?

Pertama – Kita menyadari bahwa  kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. Nabi Adam As yang ditempatkan oleh Allah di surga-Nya merasa kurang lengkap dan tidak nyaman karena hanya hidup seorang diri. Padahal segala fasilitas kehidupan tersedia. Maka Adam mohon kepada Allah agar diberikan teman, muncullah Hama. Hingga melahirkan umat manusia sampai akhir jaman.

Kedua – Sesungguhnya kita manusia lemah. Hanya dijadikan dari tetes air mani. Kotor dan menjijikan.  tidak laku. Kemana-mana bawa kotoran. Kalau sudah demikian apa yang pantas untuk kita sombongkan. Yang berhak sombong hanyalah Allah swt.

Ketiga – Ingat kematian konon juga menyadarkan kita bahwa apa yang kita lakukan akan dimintai tanggungjawab di hadapan Hakim yang Maha Adil.  Dengan demikian maka kita senantiasa berhati-hati. Tak suka memandang rendah kepada orang lain.

Mulai sekarang mari kita jauhkan diri sikap takabur. Karena semuanya tidak akan pernah membawa  keuntungan sedikitpun. Sekian

* Penulis. Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman. Opini pribadi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!