28.4 C
Jakarta

Hukum Pengumuman Kematian Lewat Pengeras Suara

Baca Juga:

SOLO, MENARA62.COM – Beragam persoalan keagamaan kerap muncul di tengah masyarakat, mulai dari hukum pengumuman kematian melalui pengeras suara masjid hingga pelaksanaan salat jamak dan qasar ketika safar. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tentang orang-orang yang tidak mengikuti ketentuan Allah. Situasi ini mendorong perlunya pemahaman agama yang benar, agar umat Islam tidak terjebak pada praktik yang keliru atau sekadar mengikuti tradisi tanpa dasar syariat.

 

Menjawab hal tersebut, Kajian Tarjih Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali digelar pada Selasa (1/7) dengan menghadirkan narasumber Dr. Imron Rosyadi, M.Ag. Kajian ini membahas secara mendalam persoalan-persoalan fiqih kontemporer berdasarkan fatwa dan kajian resmi Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

 

Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah hukum pengumuman kabar kematian menggunakan speaker atau pengeras suara masjid. Imron menjelaskan, pengumuman seperti itu diperbolehkan selama tidak disertai ratapan berlebihan sebagaimana tradisi jahiliyah. Bahkan, dalam hadis riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mengumumkan wafatnya Raja Najasyi dan mengajak kaum Muslimin untuk melakukan salat jenazah secara gaib.

 

“Fungsi masjid tidak hanya terbatas sebagai tempat ibadah, dzikir, dan membaca Al-Qur’an, tetapi juga dapat digunakan untuk kegiatan sosial, selama tidak mengganggu fungsi utamanya,” terang Imron Rosyadi yang juga menjabat sebagai Kepala Lembaga Pengembangan Pondok Islam dan Kemuhammadiyahan UMS.

 

Penggunaan pengeras suara masjid, lanjutnya, termasuk untuk menyampaikan kabar kematian atau informasi penting lainnya, masuk dalam kategori muamalah yang dibolehkan sebagai sarana penyebaran informasi.

 

Topik lain yang dibahas adalah tentang salat jamak dan qasar bagi musafir. Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, kebolehan menjamak dan mengqasar salat bukan didasarkan pada kesulitan (masyaqqah) perjalanan, melainkan karena zat safar itu sendiri. Artinya, siapa pun yang sedang dalam perjalanan jauh, meski tanpa mengalami kesulitan berarti, tetap diperbolehkan menjamak atau mengqasar salat.

 

Tak hanya itu, Imron juga mengupas tafsir surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47 yang sering dikaitkan dengan orang-orang yang tidak berhukum pada ketentuan Allah. Dalam pandangan Muhammadiyah, ayat tersebut ditujukan kepada kaum kafir. Sementara umat Islam yang lalai menegakkan hukum Allah termasuk kategori fasik, bukan kafir secara mutlak.

 

Kajian ini juga menegaskan bahwa hukum Allah tidak hanya berkaitan dengan aspek pidana seperti hudud, tetapi juga mencakup seluruh ajaran Islam, mulai dari akidah, ibadah, akhlak, hingga muamalah. Oleh karena itu, implementasi nilai keadilan dalam peraturan seperti UU Perkawinan, Peradilan Agama, dan Pengelolaan Zakat di Indonesia menjadi bagian dari upaya menegakkan syariat Islam secara kontekstual.

 

Kajian Tarjih digelar secara daring oleh Biro Pengembangan Sumber Daya manusia (BPSDM) UMS melalui platform Zoom Meeting. Kegiatan ini menjadi agenda rutin kampus dalam memberikan pencerahan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dosen, tendik, karyawan, dan civitas academica UMS. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!