SOLO, MENARA62.COM — Sebuah majelis ilmu di kawasan Laweyan, Surakarta, pada hari itu berlangsung dengan suasana yang begitu tertib dan penuh kesungguhan. Para jamaah duduk teratur, menyimak setiap uraian para kiai yang membahas beragam persoalan fikih. Keheningan yang hadir mencerminkan kuatnya tradisi intelektual keagamaan di tengah masyarakat Laweyan.
Dalam sesi dialog, seorang jamaah menyampaikan permasalahan yang ternyata cukup umum terjadi. Ia menjelaskan bahwa di masjid tempat dirinya beribadah, iqamah tidak merujuk pada jadwal digital yang sudah ditetapkan, namun dikumandangkan segera setelah imam tiba. Alhasil, banyak jamaah kehilangan kesempatan untuk menunaikan shalat sunnah qobliyah sebelum dimulainya shalat wajib.
Dengan penuh hormat ia bertanya, “Bagaimana hukumnya shalat qobliyah jika dikerjakan setelah shalat fardhu karena tidak sempat sebelumnya? Dan apakah hal tersebut sah dilakukan untuk qobliyah Subuh atau Ashar, sementara terdapat larangan shalat sunnah pada dua waktu tersebut?”
Pertanyaan itu langsung dijawab oleh KH. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, Ketua Fatwa MUI Surakarta dan Pembina Lembaga Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al-Muayyad. Dengan gaya penjelasan yang lugas dan argumentatif, beliau menguraikan dasar hukum terkait persoalan tersebut.
KH. Mustain menjelaskan bahwa waktu pelaksanaan shalat qobliyah pada hakikatnya sudah dimulai sejak masuknya waktu shalat fardhu, dan waktu ini terus berlangsung hingga berakhirnya waktu shalat tersebut. Karena itu, shalat qobliyah yang terlewat sebelum pelaksanaan shalat wajib masih diperbolehkan untuk dikerjakan setelahnya, selama waktu fardhu belum habis. Beliau menegaskan bahwa shalat tersebut tetap dihukumi ada’ (shalat pada waktunya) dan bukan qadha’.
Untuk memperkuat hal ini, KH. Mustain Nasoha membacakan dalil-dalil dari beberapa kitab ulama berikut:
Kitab Najmu al-Wahhāj bi Syarḥ al-Minhāj – Juz 2, Halaman 305, Imam Kamaluddin Abu Al-Baqo’ Muhammad bin Musa bin ‘Isa Ad-Damiri mengatakan :
وَيَدْخُلُ وَقْتُ الرَّوَاتِبِ قَبْلَ الفَرْضِ بِدُخُولِ وَقْتِ الفَرْضِ، وَبَعْدَهُ بِفِعْلِهِ، هٰذَا لَا خِلَافَ فِيهِ.
Artinya
“Dan masuk waktu shalat-shalat rawatib bagian qobliyah dengan masuknya waktu shalat fardhu, dan (masuknya waktu rawatib ba‘diyah) setelah melakukannya. Ini tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di dalamnya.”
2. Kitab I‘ānatuth Thālibīn, Juz 1, Halaman 287, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha al-Dimyathi al-Bakri mengatakan :
تَنْبِيهٌ : يَجُوزُ تَأْخِيرُ الرَّوَاتِبِ الْقَبْلِيَّةِ عَنِ الْفَرْضِ وَتَكُونُ أَدَاءً .وَقَدْ يُسَنُّ كَأَنْ حَضَرَ وَالصَّلَاةُ تُقَامُ، أَوْ قَرُبَتْ إِقَامَتُهَا، بِحَيْثُ لَوِ اشْتَغَلَ بِهَا يَفُوتُهُ تَحْرِيمُ الإِمَامِ، فَيُكْرَهُ الشُّرُوعُ فِيهَا .لَا تَقْدِيمُ الْبَعْدِيَّةِ عَلَيْهِ لِعَدَمِ دُخُولِ وَقْتِهَا، وَكَذَا بَعْدَ خُرُوجِ الْوَقْتِ عَلَى الأَوْجَهِ.
Artinya :
“Peringatan: Boleh mengakhirkan shalat-shalat rawatib bagian qobliyah dari shalat fardhu dan (shalat itu) menjadi ada’. Dan terkadang disunnahkan, seperti ketika seseorang hadir dan shalat ditegakkan, atau mendekati ditegakkannya, di mana jika ia menyibukkan diri dengannya akan luput takbiratul ihram imam, maka dimakruhkan memulai shalat tersebut. Tidak boleh mendahulukan ba‘diyah atasnya karena belum masuk waktunya, dan demikian pula setelah keluarnya waktu menurut pendapat yang lebih kuat.”
3. Kitab Fatḥul Jawād ‘ala Syarh al-Irshad , Juz 1, Halaman 246, Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
وَقَدْ يُنْدَبُ كَأَنْ حَضَرَ وَالصَّلَاةُ تُقَامُ، أَوْ قَرُبَتْ إِقَامَتُهَا، سَوَاءٌ الصُّبْحُ وَغَيْرُهَا، وَتَكُونُ أَدَاءً لِبَقَاءِ وَقْتِهَا مَا بَقِيَ وَقْتُ مَتْبُوعِهَا.
Artinya :
“Dan terkadang disunnahkan, seperti ketika seseorang hadir dan shalat ditegakkan, atau mendekati ditegakkannya baik Subuh maupun selainnya dan (shalat qobliyah itu) menjadi ada’ karena tetapnya waktunya selama masih tersisa waktu shalat yang diikutinya.”
4. Kitab Ifadatus Sadah Syarah Nadhom Zubad, Halaman 224, Imam Muhammad bin Ahmad Abdul Bari Al Ahdal mengatakan :
وَقَوْلُهُ: تَأْخِيرُ مُقَدَّمٍ … بِأَنْ تُصَلِّيَ سُنَّةَ الصُّبْحِ بَعْدَ فِعْلِهَا
Artinya :
“Dan perkataannya: ‘mengakhirkan sesuatu yang mestinya didahulukan’ … yaitu dengan engkau melaksanakan sunnah Subuh setelah melaksanakannya (shalat Subuh).”
5. Kitab Nihāyatu az-Zain, Halaman 116, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani mengatakan :
A. Tentang memulai sunnah saat iqamah
وَيُكْرَهُ ابْتِدَاءُ مُطْلَقِ النَّفْلِ كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ فِي وَقْتِ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ…
Artinya :
“Dan dimakruhkan memulai shalat sunnah mutlak secara makruh tanzih pada waktu ditegakkannya shalat…”
B. Tentang shalat sunnah bersebab
أَمَّا الْفَرْضُ وَالنَّفْلُ الْمُؤَقَّتُ أَوْ ذُو السَّبَبِ الْمُتَقَدِّمِ فَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْهَا فِي هٰذِهِ الْأَوْقَاتِ.
Artinya :
“Adapun shalat fardhu, dan shalat sunnah yang terikat waktu, atau yang memiliki sebab terdahulu, maka tidak dimakruhkan sedikit pun darinya pada waktu-waktu ini.”
Setelah memaparkan seluruh dalil, KH. Mustain Nasoha menjelaskan beberapa poin penting sebagai berikut:
Shalat qobliyah yang tertunda tetap boleh dikerjakan setelah shalat fardhu. Selama waktu shalat fardhu tersebut belum habis, qobliyah yang dikerjakan setelahnya tetap dihukumi ada’, bukan qadha’. Artinya, shalat itu masih dianggap tepat waktu.
Qobliyah Subuh dan Qobliyah Ashar juga boleh dikerjakan setelah fardhunya. Kedua shalat ini tidak termasuk dalam larangan shalat setelah Subuh atau setelah Ashar, karena qobliyah merupakan shalat sunnah yang punya sebab sebelumnya, yaitu masuknya waktu shalat fardhu.
Larangan shalat setelah Subuh dan Ashar hanya berlaku untuk shalat sunnah tanpa sebab. Contohnya shalat sunnah mutlak, shalat istikharah, dan yang sejenis.
Qobliyah tidak termasuk dalam larangan itu, karena sebabnya datang lebih dulu.
Penjelasan KH. Mustain malam itu memberikan ketenangan bagi para jamaah. Dalil yang jelas, uraian yang runtut, dan penyampaian yang lembut membuat mereka memahami bahwa syariat selalu memberi ruang kemudahan. Masalah qobliyah yang tertunda pun akhirnya menemukan jawabannya dengan terang dan menenteramkan. (*)


