Oleh: Imam Shamsi Ali*
MENARA62.COM– Di musim haji dan di musim korban saat ini kita diingatkan tiga hal dalam Islam yang tidak terpisahkan. Haji itu sendiri, korban (udhiyah) dan sosok seorang nabi bernama Ibrahim AS. Ketiga hal ini dalam tatanan ajaran Islam saling terkait, bahkan secara historis saling mengikat.
Hampir semua amalan haji, dari ihram, tawaf, sa’i, wujuf, jamarat, hingga ke korban semuanya merujuk kepada Ibrahim. Bahkan korban yang kita peringati (rayakan) tahunan juga merupakan amalan yang ditinggalkan Ibrahim AS untuk kita.
Esensi keterkaitan dan keterikatan ketiganya sesungguhnya ada pada kenyataan bahwa Islam yang Allah turunkan kepada Umat ini adalah tuntunan atau “jalan hidup yang sempurna”. Sehingga Islam yang “kaamil” (sempurna) dan berislam secara “kaafah” (menyeluruh) menjadi tuntutan bagi Umat ini.
Allah SWT berpesan: “wahai orang-orang yang beriman. Masuklah kalian ke dalam agama ini secara sempurna. Dan jangan ikuti jalan-jalan syetan. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Al-Quran).
Singkatnya haji itu simbolisasi kesempurnaan amalan Islam. Di haji terdapat sholat, zakat, puasa, dan semua ritual dzikir, tasbih, dan seterusnya. Sementara Ibrahim adalah sosok yang telah “menyempurnakan” perintah-perintah Tuhannya. Dan korbanlah yang menjadi pengikat kesempurnaan Islam. Bahwa tidak akan sempurna keislaman seseorang tanpa semangat juang (dikenal dalam Islam dengan jihad). Dan jihad pastinya menuntut pengorbanan.
Menauladani Ibrahim AS
Dalam perspektif Islam Ibrahim AS memang sosok panutan. Allah SWT dalam beberapa tempat di Al-Quran menegaskan, bahkan memerintahkan umat ini untuk menjadikan Ibrahim sebagai “uswah” (role model) atau panutan.
“Sesungguhnya ada ketauladanan untuk kalian pada Ibrahim dan mereka yang mengukutinya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian” (Al-Quran).
“Dan ikutlah kepada millah Ibrahim” (Al-Quran).
Tentu kalau berbicara tentang Ibrahim AS begitu banyak ketauladanan yang perlu dan harus kita tauladani. Dari soliditas iman, intelektualitas, kemampuan komunikasi, komitmen dakwah, perhatian kepada keluarga dan generasi, hingga semangat juang dan pengorbanan yang tiada banding.
Ibrahim AS dan Komunitas
Selain dikenal sebagai Bapak para nabi (abul ambiya), Ibrahim juga dikenal dalam agama Islam sebagai representasi Umat. “Kaana ummatan qaanitho” dalam bahasa Al-Quran.
Ini menunjukkan bahwa dari sekian banyak ketauladanan yang harus kita tauladani, salah satunya yang penting adalah menauladani Ibrahim dalam membangun komunitas atau Umat. Dimulai dari kehidupan keluarga, anak dan generasi, hingga kepada pembentukan peradaban terefleksi (terpancar) dari perjalanan sejarah hidup Ibrahim AS.
Dalam proses membangun komunitas (masyarakat) atau peradaban itu Ibrahim memulai dengan membangun “fondasi” yang sangat kuat. Fondasi komunitas dan peradaban itulah yang dalam agama kita kenal dengan iman.
Dari awal hidupnya Ibrahim memilih karakter keimanan yang luar biasa (extraordinary). Beliau dilahirkan dalam sebuah lingkungan yang paradoks dengan ketauhidan (masyarakat musyrik). Tapi Ibrahim kokoh dalam mempertahankan kecenderungan fitriyahnya. Tendensi ini lebih dikenal dengan istilah “haniif” (lurus atau bersih).
Sebuah pelajaran penting bahwa Iman itu ketika berada dalam sebuah lingkungan atau masyarakat dengan warna atau keadaan apapun, tidak akan terwarnai. Sebaliknya imanlah yang kemudian mewarnai masyarakat atau lingkungan itu.
Dalam proses tumbuh sebagai remaja, akal pikiran Ibrahim juga mengalami tingkatan kuriositas yang sangat tinggi. Keingin tahuan Ibrahim yang tinggi itu mengantarkannya kepada wawasan pemikiran yang tajam tapi terkontrol.
Bagaimana beliau berproses dalam menuju kepada kebenaran mutlak Ilahi. Dari bintang-bintang ke bulan dan matahari, pada akhirnya kepada sebuah kesimpulan bahwa “Sesungguhnya Tuhan itu adalah yang mencipta langit dan bumi yang tiada sekutu baginya”. Ibrahim pun membangun kesadaran dan komitmen “menghadapkan wajah hanya padaNya seraya berserah dan tidak akan menyekutukanNya”.
Keyakinan yang unshakable (kokoh) ini menjadikannya terdorong untuk menjadi agen perubahan (agent of change) dalam masyarakat. Diapun mulai mengajak masyarakat, bahkan ayahnya sendiri untuk merubah kesyirikan itu kepada Tauhid.
Pelajaran dari penggalan sejarah ini adalah bahwa proses pembentukan masyarakat atau Umat tidak bisa terlepas dari perjuangan dakwah. Realita ini merupakan sunnatullah yang kita ambil dari sejarah panjang para nabi dan rasul. Bahwa Umat dan peradaban tidak akan terwujud kecuali dengan komitmen perjuangan dalam dakwah. Dakwahlah yang menjadi pintu terbentuknya Umat dan peradaban.
Demikianlah Ibrahim AS terus melangkah dalam mendakwahkan tauhid di masanya. Dan sebagaimana tabiat Dakwah itu sendiri, resistensi demi resistensi juga semakin menguat. Dari sesama pemuda, masyarakat umum, hingga ke raja bahkan ayahnya sendiri menentang ajakan Ibrahim untuk mengimani “laa ilaaha illa Allah”.
Hingga suatu ketika Ibrahim dengan darah mudanya, diam-diam menghancurkan berhala-berhala yang ada di rumah ibadah masyarakatnya. Dan itu dilakukan di saat raja dan sebagian masyarakat sedang keluar daerah untuk pelasiran. Ibrahim menghancurkan semua patung itu kecuali yang terbesar. Kampak yang dipakai pun digantungkan ke pundak patung besar itu.
Sekembali dari pelasiran sang raja bergegas ke rumah ibadah untuk melakukan ritual ibadah. Ternyata patung-patung mereka telah hancur kecuali patung terbesar. Sang raja marah besar dan meminta agar yang melakukan pengrusakan itu ditangkap.
Singkat cerita Ibrahim pun ditangkap dan dihadirkan ke hadapan sang raja. Di sìnilah terjadi dialog yang menegangkan, tapi sangat menarik untuk disimak:
Raja: “wahai Ibrahim, kamukah yang merusak tuhan-tuhan kami”?
Ibrahim: “justeru yang besar ini telah melakukannya maka tanya dia kalau dia bisa berbicara”.
Di saat itulah sang raja dan pengikutnya tersadarkan. Sadar akan kezholiman (kesyirikan) yang mereka lakukan itu salah. Seburuk apapun manusia nurani atau sinar fitrahnya akan memancar. Di saat itulah manusia sadar akan kezholiman yang dilakukannya.
Di sisi lain Ibrahim menemukan pintu masuk untuk berdakwah. Dia berkata kepada sang raja dan rakyatnya: “kenapa kalian menyembah sesuatu yang tidak paham dan tidak berbicara”?
Pelajaran penting dari penggalan sejarah ini adalah bahwa Dakwah itu memerlukan intelijensia yang tinggi. Selain intelijensia Dakwah juga memerlukan kemampuan komunikasi (commmunication skill) yang handal. Dan Ibrahim adalah sosok yang pintar dan memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa.
Wawasan dan pemikiran yang luas dalam dakwah, didukung oleh skill komunikasi yang handal menjadikan pesan-pesan keislaman akan lebih efektif dan bermakna. Sayang memang seringkali Dakwah yang kita lakukan berwawasan sempit. Apalagi Dakwah itu memakai “komunikasi bolduzer” yang menyeramkan. Dakwah jadinya bukan ajakan. Justeru berbalik menjadi pengusiran.
Lalu apa yang terjadi kepada Ibrahim selanjutnya? (Bersambung….).
NYC Subway, 23 Juli 2021
* Presiden Nusantara Foundation