Oleh: Imam Shamsi Ali*
MENARA62.COM– Ibrahim AS meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di kota baru yang Allah tetapkan. Kota itulah yang belakangan dikenal sebagai kota suci yang mulia (Al-Quds as-Sharif).
Dengan segala keberkahan kota ini dan sekitarnya Ibrahim ternyata dari hari ke hari mengalami kegelisahan. Kegelisahan itu disebabkan oleh penungguan pelanjut perjuangan dakwah (anak) yang tak kunjung tiba. Allah menguji kesabaran dan imannya dengan terlambatnya karunia anak itu.
Pada akhirnya Allah menentukan baginya untuk menikahi Hajar sebagai isterinya. Dan dari Hajar inilah Allah kemudian karuniai dengan seorang anak yang dinamai Ismail. Seorang putra mungil yang dinanti sedemikian lama.
Ternyata Allah punya rencana besar bagi Ibrahim AS. Dengan lahirnya anak yang lama diimpikan itu ujian besar untuk Ibrahim dan keluarganya mulai dihadirkan. Ujian-ujian demi ujian ini ternyata cara Allah untuk mempersiapkan Ibrahim sebagai pemimpin global masa depan.
Dalam Al-Quran kepemimpinan global itu diistilahkan dengan “imaaman linnaas” (Pemimpin bagi manusia). Dan ternyata jalan menuju ke posisi itu bukan muda. Tapi jalan yang rintangan dan ujian. Itulah memang sunnatullah dalam kehidupan.
Segera setelah sang anak terlahir Ibrahim diperintah oleh Allah untuk membawa anak dan isterinya ke sebuah lembah yang tiada tumbuh-tumbuhan. Dalam bahasa Al-Qurannya “bi waadin ghaeri dzi zar’in”. Lembah itu terletak di sisi rumah suci yang mulia (Ka’bah).
Tanpa mempertanyakan sedikit pun dan dengan penuh keyakinan Ibrahim melaksanakan perintah Allah. Segera anak dan isterinya tercinta dibawa ke gurun yang tiada tumbuhan. Artinya sebuah tempat yang tidak berair. Yang pastinya jika tiada air maka tiada pula sumber kehidupan makhluk.
Singkat kisah, setelah beberapa hari menemani keluarganya di tempat yang tanpa manusia itu, Ibrahim pun harus kembali ke Jerusalem dan meninggalkan mereka berdua. Ibrahim harus kembali ke Jerusalem karena memang tempat dakwahnya hanya di kota itu. Setiap nabi/rasul diutus pada kaum dan masanya masing-masing. Terkecuali Rasulullah SAW untuk seluruh tempat dan masa.
Di momen itulah keimanannya kembali teruji. Tidak saja keimanan Ibrahim AS. Tapi juga Iman isterinya Hajar AS. Di saat Ibrahim akan meninggalkan mereka, terjadi dialog antara Hajar dan suaminya seperti berikut:
Hajar: “Kenapa engkau lakukan kepada kami (tinggalkan kami) di tempat ini, wahai Ibrahim?”
Ibrahim:…..(hanya menunduk. Tak mampu berkata apapun).
Hajar: (untuk kedua kalinya), “Kenapa Engkau lakukan ini kepada kami?”
Ibrahim: (hanya mampu menunduk. Lidahnya bagaikan membeku tak mampu mengeluarkan sepatah kata).
Hajar: “Apakah Allah menyuruhmu untuk melakukan ini?”
Ibrahim: (kembali tidak berkata apapun. Hanya menganggukkan kepala).
Hajar: “Kalau memang Allah yang memerintahkanmu, pergilah. Saya lebih percaya kepada penjagaan Allah untuk kami daripada penjagaanmu.
Demikian kedahsyatan iman Ibu Hajar, isteri dari seorang nabi (Ibrahim) sekaligus ibu dari seorang nabi (Ismail). Sebuah karakter yang akan menundukkan semua tantangan hidupnya pada hari-hari mendatang.
Ibrahim pun dengan hati berat dan sedih bertolak meninggalkan mereka. Namun setelah melalui sebuah gunung di balik rumah suci itu, Ibrahim berhenti sejenak. Bukan karena kelelahan. Tapi karena dalam dirinya ada kepedulian. Kepedulian kepada keluarga. Sekaligus kepedulian kepada generasi masa depan.
Di balik gunung itu Ibrahim merendah diri (khudhu’) kepadanya Rabbnya, mengangkat tangan ke langit, bermunajat kepada Pencipta langit dan bumi. KepadaNya semata Ibrahim menaruh harapan, tidak saja untuk keselamatan anak dan isterinya. Tapi keselamatan masa depan generasi dan peradaban dunia.
Di antara doa-doa yang dipinta oleh Ibrahim AS itu adalah meminta agar Allah menjadikan hati sebagian manusia cenderung (cinta) kepada kota suci itu. “Waj’al af-idatan minan naas tahwii ialihim”.
Doa seorang nabi tentunya tidak tertolak. Beberapa masa kemudian Allah membuka jalan untuk sekelompok saudagar dari kalangan suku Jurhum di Yaman melewati dan menemukan kota yang nyaman dan diidamkan itu.
Sejak doa itu kota yang kemudian disebut dengan Kota Makkah atau “Bakkah Mubarokah” dalam bahasa Al-Quran menjadi impian banyak orang untuk berziarah, baik itu untuk haji maupun untuk Umrah. Dan pastinya hal ini akan berlangsung hingga akhir zaman. Itu sekaligus satu makna dari kata “fi’l mudhori’” (kata kerja masa kini dan mendatang) yang dipakai oleh Al-Quran.
Dari doa tersebut sesungguhnya juga dipahami bahwa Ibrahim memiliki visi besar masa depan. Dan visi itu adalah terbentuknya Komunitas (masyarakat) atau Umat besar di kemudian hari.
Lalu apa yang terjadi dengan Hajar sendiri? Bagaimana cara Allah menjaganya dari ancaman alam yang buas dan dahsyat? Bersambung…..
* Presiden Nusantara Foundation