23.1 C
Jakarta

ICJR : Hak Terpidana Mati Tidak Boleh Dikesampingkan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM—Saat ini, Pemerintah lewat Jaksa Agung berencana mengeksekusi mati terpidana mati kasus narkoba yang telah divonis oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam laporan kinerja 2016, dinyatakan MA telah menjatuhkan hukuman mati terhadap 25 terpidana dan hukuman seumur hidup terhadap 45 terpidana.

Presiden Joko Widodo sebelumnya juga telah menegaskan, bahwa eksekusi mati perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Hukum positif di Indonesia masih menganut hukuman mati. Oleh karena itu, selama sudah diputus pengadilan dan grasi telah ditolak, eksekusi dapat dijalankan.

Sebelumnya, pada tahun 2016, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi empat orang dari 14 terpidana mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat tanggal 29 Juni 2016 dini hari pukul 00.45 WIB. Keempat terpidana yang dieksekusi itu terdiri dari seorang warga negara Indonesia dan tiga warga negara asing yakni Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria), Seck Osmane (Senegal), Freddy Budiman (Indonesia) dan Michael Titus Igweh (Nigeria) Sedangkan 10 terpidana mati yang eksekusinya ditunda terdiri atas Merri Utami (Indonesia), Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria), Obina Nwajagu (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), Eugene Ape (Nigeria), Pujo Lestari (Indonesia), dan Agus Hadi (Indonesia).

Direktur Eksekutif Institute for  Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengingatkan pemerintah, bahwa hak-hak terpidana mati tidak boleh dikesampingkan. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, maka terpidana mati bisa kapan saja mengajukan grasi tanpa batasan waktu. Sebelum grasi hanya bisa diajukan sekali dan batas waktunya setahun setelah perkara dinyatakan berkekuatan hukum tetap.

Setelah adanya putusan MK, pengajuan grasi dibatasi satu tahun setelah keputusan tetap. Namun setelah ada putusan MK, maka pelaksanaan eksekusi mati haruslah memenuhi persyaratan dan hak-hak terpidana seperti mengajukan grasi dan upaya hukum lainnya. Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 Juni 2016 jelas menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK memutuskan bahwa permohonan grasi merupakan hak prerogatif presiden yang tidak dibatasi waktu pengajuannya karena menghilangkan hak konstitusional terpidana. Putusan MK ini menganulir adanya jangka waktu (pembatasan) pengajuan grasi oleh terpidana

Menurut ICJR, jika pun Kejaksaan Agung akan meminta fatwa ke Mahkamah Agung, fatwa Mahkamah Agung tidak bisa dijadikan patokan untuk meminta eksekusi mati. Pernyataan Jaksa Agung secara sepihak yang menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan mengenai pembatasan waktu pengajuan grasi adalah tidak berlaku surut, adalah tidak tepat.

Bahwa dalam peraturan sebelumnya, dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 (UU Grasi sebelum perubahan), permohonan grasi tidak dibatasi tenggat waktu. Lalu kemudian berdasarkan UU No. 5 Tahun 2010 (UU Grasi Perubahan) pasal ini kemudian direvisi dengan memasukkan tenggat waktu. pembatasan UU No. 5 Tahun 2010, inilah yang kemudian dianulir oleh MK. Dengan adanya Putusan MK tersebut justru tidak ada lagi tenggat waktu yang mengikat, sehingga berlaku ketentuan bahwa aturan yang paling menguntungkan terpidana mati yang digunakan sebagaimana asas dasar perundang-undangan dalam ranah pidana.

Masih menurut  ICJR, meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan sikap kejaksaan Agung yang berada dalam situasi bingung atau ragu-ragu namun di satu sisi masih memaksa keinginan untuk melakukan eksekusi mati.

ICJR merekomendasikan jika dalam konsisi ragu, maka eksekusi mati sebaiknya dimoratorium. Hal  ini senada dengan rancangan KUHP yang akan selesai dalam tahun  (2017) ini, yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat diganti dengan jenis hukuman berat lainnya, seperti hukuman seumur hidup. Lagi pula Bentuk Fatwa MA berupa pendapat hukum MA yang tidak mengikat. Fatwa MA bukanlah suatu keputusan maupun peraturan. Fatwa MA hanya berisi pendapat hukum MA yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Fatwa MA bukan juga putusan pengadilan, sebab itu kekuatan hukumnya bersifat etik semata-mata.

“Seharusnya Jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi atau setelah jaksa selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan mengajukan permohonan grasi,” demikian ungkap Supriyadi dalam siaran pers yang dikirimkan kepada Menara62.

Pernyataan Pertimbangan MK ini  jelas tidak mempersoalkan mengenai jangka waktu pengajuan. Disamping itu, tuduhan dari Jaksa Agung bahwa para terpidana sengaja mengulur-ulur waktu dalam mengajukan upaya hukum setelah pengadilan menjatuhkan vonis harus dikritik.

ICJR menyebutkan, grasi merupakan salah satu upaya yang dapat diajukan oleh terpidana mati kepada Presiden untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden supaya terhindar dari pelaksanaan hukuman mati. Dengan kata lain grasi adalah upaya bagi terpidana mati untuk mempertahankan hidupnya. Intinya fungsi pemberian grasi juga dipandang sebagai instrumen untuk meniadakan hukuman pidana mati di Indonesia. Jika terpidana yang dijatuhi hukuman mati telah melakukan upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa, namun mengalami kebuntuan, maka upaya grasi merupakan upaya hukum istimewa dan menjadi jalan terakhir untuk meminta pengampunan yang dapat mengubah putusan mati tersebut.

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!