JAKARTA,MENARA62.COM—Pemerintah telah memberikan keterangan terkait Judicial Review (JR) Pasal Makar dalam KUHP yang diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini Selasa (9/5). Dalam Perkara No. 7/PUU-XV/2017 itu, Pemerintah memberikan beberapa respons dan penekanan terhadap permohonan yang diajukan ICJR yang pada intinya meminta MK untuk memperjelas defenisi dan pemaknaan dari Makar dalam KUHP.
Dalam Jawabannya, Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta MK untuk menolak permohonan yang diajukan ICJR. Dasar argumen Pemerintah pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua hal utama.
Pertama, Pemerintah menilai bahwa pasal-pasal Makar merupakan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang akan mengancam keamanan negara, sehingga apabila makar diartikan hanya dengan serangan, maka risiko yang ditimbulkan terhadap negara akan lebih besar. Kedua, Pemerintah menyatakan bahwa Makar tidak bisa dimaknai sebagai serangan, melainkan harus dimaknai sebagai norma hukum sesuai kebutuhan dari tujuan yang hendak dicapai.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mendorong pihak Pemerintah agar membaca dan memahami secara lebih komprehensif permohonan ICJR.
Pertama, pada dasarnya ICJR menganggap Pasal-pasal Makar masih diperlukan dalam hukum di Indonesia. Itulah sebabnya, dalam petitum, ICJR hanya meminta pemaknaan dari Makar dikembalikan ke makna asalnya yaitu aanslag atau serangan, bukan menghapus atau mencabut pasal-pasal Makar tersebut.
Kedua, ICJR menganggap bahwa Pemerintah juga kebingungan dalam memaknai dan mencari pengertian dari Makar. Dalam keterangan Pemerintah tersebut tidak ditemukan satupun argumen yang menjelaskan apa sesungguhnya pengertian dari “makar”. Argumen dari Pemerintah terlihat lemah karena Pemerintah justru mengakui Makar merupakan terjemahan dari serangan atau aanslag dalam bahasa belanda.
ICJR sesungguhnya sepakat terhadap pandangan Pemerintah yang menyatakan bahwa Makar harus dilihat sebagai “norma hukum pidana” yang memiliki tujuan yang hendak dicapai. Justru karena makar harus dimaknai sebagai norma hukum lah maka harus ada pengertian yang presisi dan pasti terkait makar. Dalam KUHP versi Belanda, makar jelas dimaknai sebagai serangan, bukan sebagai suatu niat belaka yang selama ini dipraktikkan dalam berbagai dakwaan dan putusan di Indonesia.
Sesat pemahaman tentang Makar ini menurut ICJR bahkan tertular pada Rancangan KUHP yang secara keliru mendefenisikan makar sebagai “niat untuk melakukan suatu perbuatan”. Seharusnya, makar didefinisikan sebagai serangan. Serangan dalam konteks makar tidak perlu sebagai “perbuatan selesai”, karena KUHP telah menjelaskan bahwa serangan sudah dianggap dilakukan apabila niat untuk melakukan perbuatan-perbuatan makar telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan.
Ketika sudah ada permulaan pelaksaan untuk melakukan serangan atau makar, maka disitulah pidana sudah mulai bekerja, serangan tidak perlu sampai selesai. Dengan begitu, pengaturan tindak pidana makar dapat memberikan rasa aman dalam penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, tanpa harus melanggar hak asasi warga Negara.
Atas dasar itu, maka ICJR meminta agar Pemerintah lebih teliti dan kembali mengkaji persoalan tindak pidana makar yang telah bergeser dari pemahaman awalnya sebagai serangan. ICJR juga meminta Hakim MK agar secara seksama mendalami permohonan oleh ICJR terkait makar ini, karena akan berdampak pada tatanan hukum pidana Indonesia , terlebih pada hak konstitusional warga Negara Indonesia dan pemohon sebagai organisasi.