JAKARTA,MENARA62.COM— Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta berbagai pihak menaruh perhatian besar pada masalah hukum pengguna dan pecandu narkotika. Bagi ICJR, pilihan Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk mengupayakan remisi yang menyasar kasus narkotika sudah tepat. Setidaknya kebijakan ini akan menyasar langsung 28.624 penghuni pengguna dan pecandu narkotika di lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam keterangan tertulisnya kepada Menara62, syarat pidana penjara minimal 5 tahun dalam Pasal 34 A ayat (2) Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 telah mengakibatkan kesalahan dalam mengidentifikasi pengguna dan pecandu narkotika. Ketentuan ini mengakibatkan banyak pecandu dan pengguna narkotika yang terkena ancaman pidana dengan pasal “bandar” sehingga diancam dengan pidana 5 tahun.
Aturan hukum narkotika di Indonesia, memiliki masalah besar dalam pengkualifikasian antara pengguna narkotika dengan “bandar”. Dalam catatan ICJR, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, label bandar dan pengguna hanya dipisahkan oleh pasal-pasal penguasaan dalam narkotika yang terkenal karet, sehingga, banyak pengguna dan pecandu narkotika yang dikategorikan sebagai “bandar”.
Dengan kata lain, jumlah pengguna dan pecandu narkotika secara faktual dan empiris lebih banyak dari data resmi yang dikeluarkan pemerintah. Sekali lagi, karena UU Narkotika gagal untuk secara tegas mengidentifikasi dikotomi antara bandar dan pengguna atau pecandu.
Data penelitian tahun 2016, di PN Surabaya yang dilakukan oleh ICJR, Rumah Cemara dan Yayasan Orbit di Surabaya, misalnya, dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna dan pecandu narkotika adalah pasal-pasal dengan label “bandar”.
Temuan ICJR, 61% dakwaan yang diajukan Jaksa pada pengguna dan pecandu narkotika mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika, pasal-Pasal ini adalah pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pengguna dan pecandu narkotika dengan ancaman pidana yang sangat tinggi, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun.
Pasal-pasal ini juga secara otomatis mengategorikan seorang pengguna dan pecandu sebagai “bandar”, dengan kata lain, pada mereka, tidak dapat diberikan Remisi. Masalahnya, sejalan dengan penggunaan pasal “bandar” tersebut, 94% pengguna dan pecandu narkotika, dijatuhi pidana penjara dan otomatis tidak mendapatkan remisi.
ICJR menaruh perhatian besar pada para pengguna dan pecandu narkotika yang ada dalam Lapas. Buruknya keadaan Lapas menambah buruk penanganan pengguna dan pecandu narkotika, salah satu sumber dari masalah ini adalah penghuni berlebih dalam Lapas di Indonesia. Lebih dari itu, penanganan khusus pengguna dan pecandu narkotika dengan prinsip pengurangan dampak buruk juga tidak berjalan baik, salah satunya penyediaan pusat rehabilitasi dan obat-obatan yang sangat minim.
ICJR juga mempertimbangkan posisi BNN yang telah disampaikan oleh Kepala Bagian Humas BNN Kombes Pol Sulistiandriatmoko. BNN memilih inovasi lapas dan klasifikasi kategori terpidana narkoba untuk mencegah lapas kelebihan kapasitas. ICJR, apresiasi dengan rekomendasi BNN.
Masalahnya dalam kondisi saat ini, jangankan untuk melakukan Inovasi, karena Rutan dan Lapas yang ada sudah mengalami kelebihan beban untuk menampung para narapidana. Kapasitas yang tersedia hanya 121.790 orang, namun jumlah penghuni Rutan dan lapas saat ini adalah 217.957 orang per Maret 2017.
Fasilitas lapas juga tidak memadai, apalagi untuk mendukung program rehabilitasi bagi pengguna dan pecandu narkotika, sehingga tidak heran apabila peredaran gelap narkotika marak di dalam Lapas, sebab selain pengguna dan pecandu minim pengobatan mereka juga hidup dalam situasi yang minim.
Selain itu, masalah klasifikasi antara pengguna dan pengedar narkotika sudah pasti sulit dilakukan, sebab bahkan UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika gagal untuk memuat pengaturan rinci untuk membedakan pengguna dan Bandar narkotika, hasilnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak para pengguna dan pecandu narkotika yang justru dilebeli sebagai Bandar, dan bukan sebaliknya.
Revisi PP 99 oleh Pemerintah tentu saja akan memberikan angin segar bagi penanganan pengguna dan pecandu narkotika, meskipun target yang disasar masih sangat rendah yaitu hanya persoalan kelebihan beban Lapas.
Untuk itu rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah yakni:
Pertama, Pemerintah perlu merevisi PP 99 khususnya untuk kasus-kasus narkotika, khususnya bagi terpidana yang didakwa dengan pasal pengguna dan pecandu narkotika.
Kedua, memastikan berjalannya program-program pengurangan dampak buruk bagi pengguna dan pecandu narkotika. Untuk saat ini, program rehabilitasi harus tersedia di seluruh Lapas di Indonesia, tidak hanya itu, program rehabilitasi yang dimaksud harus dilakukan berdasarkan kebutuhan masing-masing pengguna dan pecandu narkotika.
Ketiga, segera melakukan revisi pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika yaitu memastikan tidak ada pidana penjara bagi pengguna dan pecandu narkorika. Selain itu, memastikan pengaturan pidana penjara tidak akan menyasar korban pengguna dan pecandu narkotika.