JAKARTA, MENARA62.COM – Keluarga besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merasa tidak nyaman dengan pemberitaan terkait pemecatan Mantan Ketua Umum PB IDI Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis. Berita yang ditulis oleh sejumlah media beberapa waktu lalu diakui Ketua Umum PB IDI Dr. Daeng M Fakih berpotensi merusak harmoni antara IDI dengan pemerintah.
“Karena itu kami mengundang Prof Marsis untuk memberikan klarifikasi, karena kami tidak ingin media salah informasi,” kata Daeng, Rabu (15/1/2020).
Sejumlah media daring dan televisi beberapa waktu lalu menuliskan berita terkait pemecatan Prof. Marsis dari jabatannya sebagai Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Bahkan secara tendensius, kasus yang masih bergulir di PTUN tersebut disebutnya sebagai perbuatan ‘melawan’ presiden.
Dalam penjelasannya kepada media, Prof. Marsis menolak anggapan melawan presiden atas kasus permohonan pengajuan kasasi terkait pemberhentiannya dari KKI. Pemberitaan tersebut dinilai sebagai upaya pembunuhan karakter.
Bahkan Prof. Marsis menolak pemberitaan yang menyatakan bahwa dirinya dipecat. Sebab faktanya dalam Keputusan Presiden Nomor 8/M tahun 2018 adalah dia diberhentikan dengan hormat. Kata pemberhentian dengan hormat dinilai sebagai penghargaan pemerintah atas kinerja dan jasanya sebagai anggota KKI.
Senada juga dikatakan kuasa hukum Prof. Marsis, Muhammad Joni. Ia mengatakan bahwa pernyataan tersebut tidak benar dan tidak berdasar sama sekali.
“Yang benar adalah Prof. Marsis menggunakan hak hukum yang dibolehkan sistem hukum nasional untuk menguji alasan-alasan yang dipergunakan (mantan) Menteri Kesehatan yang telah memasuki wilayah wewenang KKI dalam pengaturan pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan KKI, sesuai Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (Perkonsil) Nomor 1 Tahun 2011,” kata Joni.
Joni sendiri heran mengapa ada pemberitaan yang menimbulkan konotasi Prof Marsis dipecat dari KKI dan mencoba melawan presiden dengan mengajukan kasasi. Seolah pemberitaan sudah membaca hasil permusyawaratan hakim kasasi.
“Padahal hingga kini secara hukum belum ada putusan perkara yang kami terima baik dari Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta,Joni.
Dengan demikian, tidak atau belum dapat mengonfirmasi pemberitaan yang terkesan sudah membaca apa isi hasil permusyawaratan hakim Kasasi, hal mana tidak mungkin diakses dan dipercayai kecuali dengan membaca salinan resmi putusan perkara tersebut.
Kasus yang dihadapi Prof Marsis bermula dari terbitnya Kepres nomor 8/M tahun 2018 tentang Pemberhantian Anggota KKI. Dalam surat tersebut Presiden memberhentikan dengan hormat Prof Marsis dari keanggotaan KKI. Hal ini cukup aneh dan mengejutkan mengingat hanya tinggal beberapa bulan lagi KKI mengakhiri jabatannya.
Atas kesepakatan rapat pleno PB IDI, Prof. Marsis mengajukan gugatan terhadap Kepres no 8/M 2018 dan PTUN Jakarta memutuskan membatalkan Keppres tersebut karena keputusan hukum tidak berlaku surut. Proses hukum berlanjut karena presiden memerintahkan untuk proses banding.
Meski harus mengalami proses hukum, Prof. Marsis tetap taat terhadap Keppres dengan tidak melakukan aktivitas di KKI.
“Tapi saya sadar dirilah. Artinya saya menarik diri dari kegiatan KKI. Karena saya bisa melihat, kalau saya hadir di sana, mereka mengatakan, saya khawatir kawan-kawan yang lain akan ‘tercemar’ dengan saya,” tutup Prof. Marsis.