JAKARTA, MENARA62.COM – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) merekomendasikan dibukanya identitas pasien COVID-19 ke ranah publik. Tindakan tersebut menurut Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih tidak melanggar kode etik Praktik Kedokteran.
“Untuk kasus COVID-19, penting pemerintah membuka identitas pasien dengan tujuan untuk kewaspadaan masyarakat luas,” kata Daeng, Senin (16/3/2020).
Menurutnya para pengurus PB IDI sudah melakukan diskusi dan membahas terkait transparansi data pasien COVID-19. Dengan mempertimbangkan berbagai hal terutama kemudahan melacak kontak pasien, maka membuka data pasien COVID-19 ke ranah public sangat disarankan.
“Dalam kondisi seperti sekarang undang-undang membolehkan dokter membuka data pasien, jadi tidak ada aturan yang dilanggar,” tambah Daeng.
Selain transparansi data pasien COVID-19, PB IDI juga merekomendasikan beberapa langkah penting untuk dilaksanakan oleh Gugus Tugas Penanggulangan Bencana COVID-19. Diantaranya memperluas laboratorium pemeriksaan pasien, memperluas rumah sakit yang menangani pasien, dan memenuhi kekurangan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis yang menangani pasien COVID-19.
“APD ini penting agar tenaga medis terlindungi dari COVID-19. Karena kalau terkena COVID-19 jelas akan mengganggu pelayanan kepada pasien lain,” tukas Daeng.
Sementara itu M Nasser, Dewan Pakar PB IDI menjelaskan kerahasiaan medik pasien telah diatur dalam UU Lex Spesialis. Bahkan tidak tanggung-tanggung pasal kerahasiaan medic diatur dalam 4 UU yakni pasal 48 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal 57 UU No 36/2009 tentang Kesehatan, pasal 38 UU no 44/2009 tentang Rumah Sakit dan pasal 73 UU no 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Secara materiil isi pasal-pasal tersebut tidak berbeda jauh atau berulang satu sama lainnya.
“Dengan adanya empat undang-undang tersebut maka kita memegang azas hukum Lex specialis derogate lex generalis. Sehingga tidak ada alasan untuk menggunakan ayat 1 pasal 322 KUHP,” jelas Nasser.
Lebih lanjut Nasser mengatakan berbeda dengan penyakit lain, maka COVID-19 tidak menimbulkan stigma di tengah masyarakat. Sebab COVID-19 bukanlah penyakit yang berhubungan dengan perilaku menyimpang seperti HIV/AIDS atau penyakit infeksi seksual dan penyakit menular yang ekstrem.
“Membuka data pasien COVID-19 sekaligus memudahkan pemerintah melakukan contact tracing dengan kata lain meningkatkan efektivitas dan efisiensi upaya penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia,” tutup Nasser.