ALLAAHU akbar allaahu akbar allaahu akbar. laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil-hamd. Mendengar kalimat takbir mengagungkan kebesaran Allah SWT membuat penulis bergetar seiring dengan kegelisahan melihat situasi kebangsaan pascapemilu yang baru saja dilaksanakan. Tak pelak sebagai pemerhati dan praktisi PAUD, miris melihat realita yang terjadi saling serang, sindiran, hinaan baik secara lisan di media sosial maupun saat masa kampaye di tengah massa yang beberapa kali terpantau terdapat oknum melibatkan anak- anak dalam kampaye. Bisa dibayangkan anak- anak yang masih polos, belum mampu berfikir abstrak menyerap, meniru segala bentuk ucapan, perilaku yang dilihat dari orang dewasa di lingkungannya.
Status Quo Kebangsaan Pascapemilu
Masyarakat Indonesia telah melaksanakan pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 17 April lalu, namun kondisi Indonesia masih jauh dari tenang. Ketegangan seputar hasil Pilpres 2019 terus berlangsung serta memicu terjadinya kerusuhan 22 Mei yang berdarah. Darah para demonstran banyak tertumpah ketika sekian ribu pendukung Capres 02 Prabowo Subianto turun ke jalanan di Ibu Kota Indonesia, Jakarta pekan lalu setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menyatakan Presiden petahana Jokowi memenangkan Pilpres 2019 dengan unggul perolehan suara sebesar 55,5 persen.
Kerusuhan yang terjadi menyebabkan beberapa tokoh membuat pernyataan saling membenarkan tindakan masing-masing. Kerusuhan yang terjadi merupakan puncak pesta demokrasi yang berakhir tragis. Dikutip dari David Pierson (Los Angeles Times) setelah dilantik kembali, Presiden Jokowi kemungkinan akan memimpin Indonesia yang terpecah karena identitas politik. Konstelasi politik ini terjadi saat umat muslim mempersiapkan perayaan idulfitri.
Momentum Idulfitri Sebagai Sarana Pendidikan Karakter
Ketika kampaye masih berlangsung beberapa keluarga terpecah dengan adanya perbedaan pilihan presiden. Suami istri bercerei karena memiliki perbedaan pandangan politik. Selain itu dapat kita saksikan saat masa pemilu terdapat anak yang dilibatkan dalam kegiatan kampanye. Sesuai aturan Pemilu dan Perlindungan Anak, jelas anak tidak boleh dilibatkan. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 15 disebutkan: setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan; dan f. kejahatan seksual.
Keluarga sebagai pendidik utama bagi anak memiliki peran sentral dalam pendidikan karakter anak. Idulfitri merupakan salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan orang tua untuk mengajarkan anak untuk saling memaafkan dan menerima perbedaan dalam keluarga. Hal ini jika dilatih terus menerus akan membekas dan menyerap di ingatan anak sehingga terbentuk pribadi yang toleran. Usia anak yang bersifat seperti spons, memiliki daya serap luar biasa untuk mengingat dan menyerap stimulasi dari luar dirinya. Idulfitri merupakan perayaan yang disenangi oleh anak karena meriah dan menyenangkan. Pada hari yang fitri orang tua mengajak anak untuk bersilaturahim kepada sanak keluarga dan saling memaafkan.
Namun, apalah artinya stimulasi yang dilakukan oleh orangtua jika anak-anak yang masih lugu terpapar justru dari lingkungan yang tidak harmonis disebabkan perbedaan pandangan politik. Seharusnya keluarga menyediakan lingkungan kondusif untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Hal ini seperti pendapat Piaget, seorang psikolog Swiss bahwa anak membangun pengetahuan dengan belajar melalui bermain dengan cara mengeksplorasi lingkungan sekitarnya termasuk lingkungan keluarga. Pendapat ini diperkuat oleh Kolhberg dan Lickona bahwa anak mengembangkan nilai-nilai moral dan agama serta karakter dengan cara berinteraksi dengan teman- teman seusianya. Bisa dibayangkan jika lingkungan dan teman sosial interaksi anak dipenuhi dengan orangtua dan orang dewasa lainnya yang saling mencaci, menjatuhkan, bermusuhan karena perbedaan pandangan politik, tanpa mengindahkan kepentingan anak.
Hanya ada dua pertanyaan besar yang pertama bagaimana kualitas generasi mendatang yang akan memimpin Bangsa Indonesia di masa datang?. Kedua apakah orang tua, tokoh politik, pemimpin negeri ini termasuk penulis ikut memiliki tanggung jawab moral dalam memberikan kontribusi ketidakadilan pada anak anak dalam tumbuh kembangnya?.
Seperti penggalan puisi karya Dorothy Law Nolte bahwa Children Learn What They Live, anak dibesarkan oleh lingkungannya. Jika anak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk melawan, Jika anak-anak hidup dengan kebaikan dan pertimbangan, mereka belajar menghormati, Jika anak-anak hidup dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk hidup.
Peran Orangtua sebagai Role Model
Idulfitri merupakan momen refleksi diri. Saling memafkan atas apa yang telah terjadi, berbesar jiwa menerima realitas. Orang tua sepatutnya memberikan contoh yang terbaik bagi anak karena orangtua, orang dewasa termasuk para Pemimpin Bangsa merupakan role model bagi anak dalam berucap ataupun berperilaku.
Allah SWT berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami Jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(Al-Hujurat 13).
Karena itu, mari jadikan perayaan Idulfitri ini sebagai momentum nasional untuk saling memaafkan baik individu sebagai mahluk social ataupun individu sebagai negarawan. Dalam mendidik anak, sudah saatnya orangtua menjadikan perbedaan sebagai materi yang mulai diajarkan pada anak sejak dini melalui momentum idulfitri. Hal ini bertujuan untuk membentuk pribadi anak yang inklusif di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Penulis: Susianty Selaras Ndari, Dosen FKIP/PG PAUD Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA)