JAKARTA, MENARA62.COM – Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mendukung penuh langkah Kementerian PUPR membuat standarisasi (SNI) untuk industri baja di Indonesia ditengah derasnya impor baja ringan masuk ke Indonesia.
“Nanti SNI untuk bisa memberikan penetapan terhadap industri-industri baja yang berbasiskan impor tetapi memberikan space kelonggaran berdasarkan SNI untuk produk baja dalam negeri,” ungkap Herman dalam FGD Kaleidoskop Ketahanan Industri Baja Nasional Dalam Mendukung Pembangunan Infrastruktur dan Industri Manufaktur, yang diselenggarakan Forum Wartawan PUPR di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Herman mengatakan meningkatnya konsumsi baja ringan menjadi penyumbang tertinggi impor baja di Indonesia. Menurutnya, ini disebabkan masih banyak pabrik di Indonesia yang tidak memproduksi baja ringan. Menurutnya, sampai dengan saat ini Indonesia mengonsumsi baja impor hingga 35-40%, terbesar di negara-negara G20.
“Sekarang yang impor seperti kacang goreng itu baja ringan. Itu baja ringan impornya banyak sekali. Dengan alasan kapasitas produksi baja dalam negeri tidak spesifik memenuhi terhadap seluruh kebutuhan di baja ringan,” ujar Herman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah baja yang diimpor Indonesia sepanjang Januari hingga Mei 2022 mencapai 5,37 juta ton. Berdasarkan asalnya, impor besi dan baja paling banyak dari China sepanjang 2021, yakni US$2,74 miliar.
Sementara Direktur Keberlanjutan Konstruksi, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kimron Manik mengatakan tingginya impor baja ringan disebabkan belum semua produk baja konstruksi memiliki SNI. Padahal telah banyak digunakan di pekerjaan konstruksi maupun infrastruktur.
Pemerintah lantas mendorong, pelaku usaha termasuk UMKM segera mengajukan SNI produk baja yang diproduksi. “SNI Wajib untuk seluruh material konstruksi dalam rangka menjamin mutu/kualitas produk dan mewujudkan persaingan usaha yang sehat”, tegas Kimron.
Menurut Kimron total konsumsi baja konstruksi di Indonesia sebesar 1.387.979 ton di tahun 2023 dan produksi baja dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan itu. Akan tetapi hal ini dipengaruhi salah satunya oleh ketidakpastian pasar.
“Kita sebenarnya memiliki kemampuan, pabrik-pabrik kita. Tetapi, karena tidak ada kepastian pasar dan sebagainya. Mereka hanya bisa memproduksi 55,26% dari kapasitasnya,” kata Kimron.
Kimron mengungkapkan pasokan suplai baja nasional Tahun 2021 sebesar 11,59 juta ton. Sedangkan, konsumsi baja nasional sebesar 15,46 juta ton, dari jumlah tersebut 78% diantaranya untuk sektor konstruksi
“Dengan melihat data tersebut, rata-rata utilisasi produksi industri baja nasional saat ini berada di level 50%. Dimana angka itu masih jauh dari growth utilitation sebesar 80%. Sebagaimana yang telah ditentukan oleh negara-negara produsen baja dunia,” tuturnya.
Ia mengatakan kapasitas industri nasional sangat berlebih. Namun, utilitas produksi baja dalam negeri menjadi tidak optimal. “Hal ini disebabkan banyak penggunaan baja konstruksi impor baik berupa bahan baku atau barang jadi dengan harga yang lebih murah,” ungkap Kimron.
Terkait membanjirnya impor baja ini, Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron mendorong pemerintah mengawasi masuknya baja impor melalui Batam.
“Melakukan pengawasan terhadap masuknya baja impor ke kawasan bebas Batam, agar tidak keluar dan dijual di wilayah Indonesia. Ini juga bahaya, karena begitu masuk Batam dan dioper ke pasar dalam negeri. Sehingga produk impor seolah-olah menjadi produk dalam negeri dengan kemudian menekan tingkat harga yang kompetitif di dalam negeri,” jelas Herman.
Sehingga pada akhirnya, menurut Herman, arus derasnya masuk dari kawasan bebas, kemudian pada sisi lain industri baja yang memenuhi kriteria dan persyaratan termasuk SNI, pada akhirnya tidak mampu untuk berkompetisi.
Selain Herman Khaeron dan Kimron Manik, juga hadir sebagai pembicara lainnya dalam FGD ini, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Halim dan Rizky Aditya, Koordinator Subdit Industri Logam Besi Kementerian Perindustrian.