JAKARTA,MENARA62.COM – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, Indonesia bisa belajar tentang pengelolaan sampah rumah tangga dari masyarakat Belanda. Di negara kincir angin tersebut, sulit orang menemukan sampah.
“Belanda cukup advance dalam hal teknologi. Temasuk yang sedang dibahas sekarang yaitu sirkular ekonomi. Karena kalau kita lihat ke Belanda, tidak ada sampah rasanya,” kata Siti Nurbaya Bakar seusai tampil sebagai keynote speaker di acara Holland Alumni Reception 2018 yang digelar di Wisma Antara, Jumat malam (9/11/2018).
Acara ini dihadiri Duta Besar Belanda di Indonesia, Atase Pendidikan Indonesia Kedutaan Besar RI di Belanda, puluhan profesor dari perguruan tinggi di Belanda, dan ratusan warga Indonesia alumni perguruan tinggi di Belanda.
Siti yang merupakan alumni International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC), Enschede, Belanda, mengatakan, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman selama belajar di Belanda. Misalnya kebiasaan masyarakat Belanda dalam mengelola sampah rumah tangga. Yakni, botol minuman apabila sudah habis isinya maka konsumen yang membeli produk botolan tersebut harus mengembalikan botol kosong tersebut ke tempat pada saat dia beli.
“Misalnya kalau kita belanja barang dalam satu keranjang troli atau apapun maka kita harus kembalikan semua sampah dari produk yang sudah kita beli. Karena pada waktu kita ambil kita masukan 1 koin senilai 1 gulden. Kemudian waktu kita menaruh kembali botol bekasnya maka koin itu akan kembali ke kita,” cerita Siti.
Menurut Siti, mekanisme tata kelola yang dengan melibatkan partisipasi masyarakat sangat banyak diterapkan di Belanda. Dan mekanisme tata kelola demikian sebenarnya bisa diterapkan di Indonesia.
“Saya pikir Indonesia juga pasti bisa. Lihat saja dinamika masyarakat Indonesia juga bagus, partisipasi masyarakat bagus. Selanjutnya tinggal bagaimana mekanisme dan sistemnya dikembangkan oleh pemerintah. Jadi itu yang bisa kita pelajari,” lanjutnya.
Menurut Siti, banyak hal lain yang bisa dipelajari di perguruan tinggi yang ada di Belanda. Salah satunya bila ingin mempelajari sejarah Indonesia dan dokumen-dokumen lainnya maka bisa dilihat di Universitas Leiden dan Universitas Utrecht.
“Di dua kampus itu, data tentang Indonesia, dimulai dari tahun 1800 sudah ada di situ,” ujar Siti.
Waktu belajar di Belanda, Siti melakukan analisis curah hujan setiap harinya. Ternyata di Belanda, penelitian soal curah hujan sudah dilakukan sejak tahun 1.800. “Jadi kita mau belajar curah hujan dalam waktu 100 tahun sampai 200 tahun melakukan analisis itu, datanya lengkap di Utrecht,” kata dia.
Sedangkan kalau di Universitas Leiden, lebih banyak pengetahuan dan sejarah tentang pemerintah daerah. Karenanya tak heran jika di Belanda ditemukan stempel tanda pemerintah Indonesia zaman dahulu.
Satu hal yang dirasakan paling penting adalah sejak 1985, Belanda ternyata sudah menerapkan teknologi remote sensing. Kebetulan saat itu dirinya belajarnya tentang remote sensing, sistem geografi untuk plan ecology.
“Saat itu Belanda sudah bisa menghitung produksi pangan menggunakan satelit, dilihat dari setiap fase pertumbuhan. Yakni usia gandung 1 bulan, usia gandum 2 bulang dan seterusnya, sehingga proyeksi produksinya akurat,” kata Siti.
Jadi, kata Siti, sebetulnya untuk Indonesia yang areal pertaniannya sangat luas itu sangat bagus kalau menerapkan teknologi remote sensing ini. “Bayangkan Belanda itu luasnya kira-kira 40.000 square kilometer sudah bisa menghasilkan pertanian yang produktif dan berkualitas. Padahal luas wilayah Belanda itu kira-kira provinsi Lampung dan Jawa Barat digabung jadi satu,” kata Siti.
Siti mengatakan, teknologi remote sensing bisa saja diterapkan di Indonesia untuk bisa menghasilkan produksi pertanian yang efektif. Hal itu bisa dilakukan dalam aspek perencanaan.