JAKARTA, MENARA62.COM – Sebagai salah satu industri prioritas nasional (sesuai Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035), industri pulp dan kertas Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2023, total ekspor sektor ini mencapai USD8,37 miliar dan menyumbang hingga 4,03% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan nonmigas. Selain itu, industri ini juga menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 275 ribu tenaga kerja langsung dan 1,2 juta tenaga kerja tidak langsung.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menyampaikan, industri pulp dan kertas Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif yaitu ketersediaan bahan baku kayu yang tumbuh relatif lebih cepat dari Hutan Tanaman Industri.
“Beberapa dekade lalu, negara-negara NORSCAN (North America and Scandinavia) menjadi pemasok utama produk pulp dan kertas dunia, namun, sekarang mulai terjadi pergeseran yang signifikan ke arah Asia, khususnya Indonesia dan negara-negara di Asia Timur. Ini adalah peluang besar bagi kita, sebuah kesempatan Indonesia untuk menjadi raja industri pulp,” ujar Dirjen Industri Agro di Jakarta, Sabtu (18/1).
Lebih lanjut, Putu menyebut bahwa konsumsi kertas per kapita di Indonesia baru mencapai 32 kg per tahun, yang berarti pasar pulp dan kertas masih memiliki potensi besar untuk berkembang. Selain itu, adanya tren green lifestyle yang semakin populer mendorong penggunaan kertas sebagai material kemasan ramah lingkungan menggantikan plastik. Hal ini juga membuka peluang untuk Indonesia meraih pasar baru, baik di dalam negeri maupun global.
Seiring dengan berkembangnya industri pulp dan kertas, Dirjen Industri Agro juga menyampaikan terjadinya peningkatan yang signifikan dalam kapasitas produksi. “Dari 103 unit usaha pada tahun 2021, kini menjadi 113 unit usaha pada tahun 2024. Kapasitas terpasang pulp meningkat dari 10 juta ton per tahun menjadi 12,3 juta ton per tahun, sementara kapasitas produksi kertas meningkat dari 18,2 juta ton menjadi 20,86 juta ton per tahun pada periode yang sama,” ungkap Putu.
Namun, meski Indonesia kini menempati peringkat ke-7 dunia dalam industri pulp dan peringkat ke-6 dunia dalam industri kertas, masih terdapat beberapa tantangan besar yang harus dihadapi, seperti ketersediaan bahan baku kertas daur ulang (KDU), jaminan pasokan bahan baku dari impor yaitu kebijakan EUWSR (European Union Waste Shipment Regulation) yang akan membatasi impor KDU dari Uni Eropa.
Selain itu, tantangan lainnya adalah pemberlakuan beberapa konvensi internasional yang rentan mendisrupsi pasar kertas produk dalam negeri, antara lain kerjasama kemitraan RCEP (Regional Comprehesive Economic Partnership) dan kebijakan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) untuk produk-produk kertas yang dipasarkan di Uni Eropa.
Terkait dengan permasalahan KDU, Putu mengatakan ketersediaan dalam negeri nyatanya belum mencukupi kebutuhan industri kertas, dan bahan baku KDU yang masih membutuhkan peningkatan kualitas dalam hal penurunan impuritasnya. Oleh karena itu, Kemenperin telah merumuskan langkah berupa penguatan tata kelola bahan baku khususnya KDU baik dari dalam negeri atau impor dan peningkatan daya saing produk lokal melalui hilirisasi dan transfer teknologi.
Langkah-langkah lainnya yaitu penerapan ekonomi sirkular dan keberlanjutan, termasuk peningkatan recovery rate dalam negeri, serta perluasan pasar ekspor dalam bentuk penguatan perjanjian kerjasama kemitraan akses produk industri internasional. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menjaga operasional industri dan bermuara pada dukungan penciptaan daya saing industri pulp dan kertas nasional.
“Kami juga mendukung upaya peningkatan akses bahan baku KDU yang di-recover di dalam negeri melalui pembinaan standar spesifikasi sektor KDU sebagai bahan baku industri, benchmarking teknologi pengelolaan impuritas secara mandiri sesuai profil industri pengguna KDU, dan menyiapkan Rencana Kebutuhan Industri untuk KDU pada neraca komoditas,” jelas Putu.(*)