JAKARTA, MENARA62.COM — Industri manufaktur melemah tertekan rendahnya permintaan terhadap barang produksi dalam negeri. Manufaktur Indonesia menunjukkan tren turunnya permintaan tersebut.
Koordinasi antar kementerian menjadi salah satu pemicu de-industrialisasi. Sehingga, industri manufaktur menjadi melemah.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Ajib Hamdani mencontohkan, kebijakan mengenai harga gas khusus industri yang lamban diimplementasikan karena koordinasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian yang rendah. Sehingga, kurangnya dukungan pemerintah terhadap pembiayaan industri manufaktur di Indonesia.
“Dalam konteks industri tekstil misalnya, hampir 30 persen mesin produksi tekstil sudah berumur lebih dari 30 tahun,” ujar Ajib, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Dia melanjutkan, mesin-mesin tua tersebut menghambat daya saing. Di sisi lain, banyak pengusaha kesulitan membeli alat baru yang mahal di tengah permintaan yang menurun dan banjirnya produk impor murah di pasar.
“Para pengusaha perlu lebih antisipatif terhadap risiko permintaan dari luar negeri,” ucapnya.
Ajib mengatakan, selain membantu negosiasi pembukaan pasar baru, pemerintah perlu membenahi sistem pengupahan dengan berfokus pada upah produktif. Masalah tingginya upah pekerja menjadi salah satu hambatan terbesar di dalam negeri.
“Selain itu, infrastruktur logistik masih perlu ditambah untuk mempermudah distribusi barang. Harga energi seperti listrik dan gas pun perlu dikaji kembali agar lebih kompetitif, sehingga bisa mengurangi biaya produksi,” ungkapnya.
Dia menambahkan, kontraksi pada aktivitas manufaktur di dalam negeri terus berlanjut hingga awal 2020. Di sisi lain, kondisi aktivitas manufaktur yang lesu juga disebabkan oleh faktor domestik.
“Masih diperlukan banyak perbaikan dalam iklim usaha dan investasi yang pada saat ini tengah diupayakan melalui wacana omnibus law,” tambah Ketua HIPMI Tax Center itu. (*)