Oleh : Mukhaer Pakkanna
Di penghujung Ramadhan 1438 H (2017 M) ini, kaum Muslim di seluruh dunia bersiap-siap merayakan Idul Fitri. Perayaan Idul Fitri ini disimboliskan sebagai hari kemenangan umat Islam, setelah sebulan penuh menunaikan puasa. Kemenangan ini bermakna imperatif, yakni upaya liberatif umat Islam dalam melepaskan diri dari cengkraman hawa nafsu dan pelbagai ihwal yang membatalkan puasa. Dengan kemenangan, berarti umat Islam kembali ke fitrahnya, dalam aura kesucian.
Substansi puasa adalah jihad untuk melepaskan diri dari pelbagai basil (bakteri) dunia yang kerap mengkontaminasi eksistensi kefitrian manusia. Karena itu, setiap Ramadhan dijadikan momen simbolis agar pelbagai jenis basil itu harus dienyahkan. Namun, karena manusia kerap beririsan langsung dengan lakon profanistik (keduniaan), maka sifat-sifat materialistik kerap lebih dominan dibanding lakon eskatologis.
Tidak mengherankan, jika pada setiap Ramadhan, cara pandang sebagian orang memperlakukan Ramadhan yang sudah teredusir makna sakralitasnya. Dimensi penetrasi “industri dan pasar” pun mulai menyelinap masuk. Cilakannya, pemilik modal (produsen dan pemasok) “membajak” Ramadhan dari sudut pandang kapitalistik dan meresponsnya sebagai business opportunity. Karena itu, dengan mudahnya para pemilik modal dapat memanfaatkan ruang Ramadhan untuk meraih keuntungan maksimal dari sisi supply side.
Di sudut lain, demand side selama bulan Ramadhan grafiknya terdongkrak naik, yang diindikasikan tergenjotnya pola konsumsi masyarakat, sehingga peluang kegiatan industri dan pasar pada bulan Ramadhan terjebak dalam pola selebrasi. Terjadi persinggungan titik antara grafik konsumsi yang naik, dan pada tingkat produksi dan pasokan tertentu, grafik kegiatan industri menanjak guna merespons irisan permintaan pasar.
Di sinilah, oleh seorang ekonom klasik, John Baptiste Say (1767 – 1832) dalam bukunya Traite d’Economie Politique (1903), menyebutnya supply creates its own demand. Namun sayang sekali, para ekonom klasik itu tidak pernah menyinggung pasar distortif yang penuh moral hazard dalam penguasaan rantai pasokan dan distribusi oleh pihak tertentu dalam mendeterminasi harga di tingkat supply side.
Kegiatan industri pada dasarnya adalah kegiatan tata kelola barang atau jasa dari input, proses dan output. Istilah industri juga digunakan bagi suatu bagian produksi ekonomi yang terfokus pada proses manufakturisasi tertentu yang harus memiliki permodalan yang besar sebelum bisa meraih keuntungan (Wie, 1995).
Dalam kasus ini sebenarnya lebih tepat disebut industri besar.Sebelum melakukan proses fabrikasi dan produksi, kegiatan industri lebih awal melakukan analisis peta potensi pasar. Maka, dalam bulan Ramadhan, respons pelaku industri terhadap pasar dilihat dari sisi daya beli (purchasing power) dan daya serap pasar (market absorption) terhadap produk barang dan jasa. Tidak mengherankan, jika pada bulan Ramadhan, pelaku industri mengamati tren fenomena keberagamaan umat Islam yang cenderung berperilaku konsumtif dan materialistik.
Bahkan skenario Badan Pusat Statistik (BPS: 2015) melaporkan, demand push inflation setiap bulan Ramadhan tiba, gerak grafik inflasi terdongkrak kisaran 1 – 2 persen. Oleh karena lakon konsumtivisme umat Islam seperti itu, pelbagai paket produk industri dikemas dalam nuansa religiusitas.
Di pelbagai tempat, misalnya, pasar tradisional, pasar modern, mall, pengajian, perkantoran, dan tempat-tempat kegiatan umat Islam, kemasan produk industri ”religius” dipasarkan. Agar nuansa spritualitas Ramadhan semakin melekat, maka simbol-simbol Ramadhan di pelbagai sudut dipertontonkan agar tampak cantik, menarik, dan diklaim Islami. Dalam bulan Ramadhan itulah, betul-betul menjadi ”lahan basah” yang sangat sexy bagi pemilik modal, terutama pelaku industri. Dengan dukungan industri televisi, radio, koran, sosmed dan media out door lainnya, industrialisasi Ramadhan telah menawarkan surga belanja bagi kaum muslim.
Tentu, pelaku industri mengeluarkan milyaran, bahkan triliunan juta rupiah biaya iklan untuk menghipnotis konsumen. Untuk menguatkan perannya sebagai pelaku industri Ramadhan, maka para pelaku industri dan media semakin tampil “islami”, mulai dari simbol berpakaian hingga simbol-simbol kalimat marketing, yang terasa lebih spritualistik.
Budaya belanja terutama jelang Idul Fitri, telah menggeser nilai-nilai kekhidmatan Ramadhan menjadi terkesan glamour dan kapitalistik. Apalagi di tengah-tengah masuknya industri dan supermarket asing yang mengglobal, lambat laun akan menggeser roh Ramadhan menjadi sekadar ritualistik-fenomenal tahunan, yang elan vital-nya makin pupus.
Perlu Ketegasan Industriliasasi Ramadhan menjadi budaya dan berkembang pesat tentu dilatari banyak faktor. Setidaknya, pertama, cara pandang terhadap bulan Ramadhan. Karena dianggap sebagai “bulan berbagi”, terutama terhadap kaum miskin/papa, kegiatan buka puasa bersama (Bukber) menjadi tren bagi pejabat-pejabat tinggi dan pemilik uang.
Namun sayang, kerap acara Bukber, justru kurang menghadirkan kaum papa untuk berbagi, tapi yang hadir sejawat pejabat tinggi/pengusaha dengan menu yang luar biasa mahalnya. Bahkan, Bukber juga dimanfaatkan untuk kepentingan lobi bisnis dan politik bagi pihak tertentu.Karena pejabat tinggi/pengusaha melakukan open house bagi sejawatnya, tingkat konsumsi pun meningkat. Harga barang terpicu naik. Tidak heran, inflasi di bulan Ramadhan terkerek tinggi.
Dalam kaitan itu, semua pihak harus mengontrol diri Bukber secara demonstratif.Kedua, sosialisasi para juru dakwah terhadap perilaku konsumtivisme di bulan Ramadhan masih kurang. Perilaku kesucian tidak diukur dengan pakaian baru, rumah baru, perabot baru, dan lainnya, tapi diukur sejaumana kesucian hati dan kebeningan nurani memasuki hari Idul Fitri. Karena itu, peran juru dakwah harus terus mengingatkan, dan bahkan mengerem laju konsumtivisme jamaahnya. (Mukhaer Pakkanna, Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta)
(Tangerang 23 Juni 2017)