JAKARTA – Industri syariah kini telah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Sejumlah negara mulai menyadari dan mengembangkan ekonomi syariah. Bahkan negara-negara yang bukan ‘berbendera’ muslim seperti Jepang, Korea dan China.
“Negara-negara tersebut menyadari bahwa potensi ekonomi industri syariah sangat besar, sehingga kemudian mereka mulai mengembangkan,” kata Jardine A Husman, dari Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia di sela acara Academia Forum, bertema Kekuatan Ekonomi Syariah.
Kegiatan digelar Kementerian Komunikasi dan Informasi bekerjasama dengan UIN Syarief Hidayatullah tersebut dalam rangka menyambut Annual Meeting International Monetary Fund- World Bank 2018 yang akan berlangsung di Bali 8-14 Oktober 2018.
Sebut saja Korea yang kini mulai mengembangkan wisata halal, Jepang yang mulai menyediakan tempat shalat di bandara dan ruang publik serta China yang sejak lama memproduksi barang-barang yang bersentuhan dengan muslim.
Berbeda dengan Indonesia, dimana muslim menggunakan produk halal sebagai bagian dari ketaatan beragama, maka negara-negara tersebut mengembangkan industri halal karena urusan bisnis. Sebab sejatinya prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam industri syariah sangat menguntungkan.
Sayangnya, meski memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, pertumbuhan industri syariah di Indonesia masih belum menggembirakan. Sebut saja dalam hal industri perbankan, pertumbuhan bank konvensional jauh lebih tinggi dibanding bank syariah.
Belum menggembirakannya pertumbuhan bank syariah salah satunya bisa dilihat dari kepesertaan dalam hal pembelian SUKUK negara yang sudah diterbitkan pemerintah sejak 10 tahun lalu. Dwi Iriani Hadiningdyah, Kepala Subdit Pengembangan Pasar SBSN Direktorat Pembiayaan Syariah Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mengatakan dari 1000 lembar SUKUK, kepesertaan bank syariah hanya 11 persen, jauh dibawah bank konvensional yang mencapai 33 persen.
“Mengapa partisipasi bank syariah pada pembelian SUKUK negara rendah, karena memang dana masyarakat yang masuk ke bank syariah masih kecil. Sebagian besar masyarakat lebih tertarik menabung di bank konvensional dengan berbagai alasan,” jelas Dwi.
Menurutnya bank syariah bisa menjadi bank syariah menjadi harapan baru bagi ketahanan nasional. Sebab dengan potensi bank syariah yang sedemikian besar, maka negara akan memiliki sumber keuangan yang jauh lebih aman untuk melaksanakan proses pembangunan.
Dwi mengingatkan bagaimana Indonesia masuk dalam cengkeraman IMF pada 1998. Dalam situasi tidak memiliki modal, keuangan negara yang minus, maka IMF Indonesia tidak bisa menolak saat IMF menawarkan pinjaman. Meski pinjaman IMF tersebut harus dibayar mahal oleh Indonesia, dengan ditutupnya PT IPTN (Dirgantara Indonesia) saat itu.
“Akan berbeda jika bank syariah tumbuh, masyarakat bisa berpartisipasi mendukung keuangan negara. Maka negara memiliki uang cukup sehingga tidak perlu jatuh ke tangan IMF dan kaum kapitalis lainnya,” lanjut Dwi.
Sementara itu Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemkominfo Niken Widiastuti dalam sambutan terulisnya mengatakan Annual Meeting IMF-WB merupakan sebuah momentum penting untuk menunjukkan kemajuan ekonomi, kepemimpinan dan komitmen Indonesia ditataran global. Dengan delegasi sebanyak 15 ribu peserta terdiri atas Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan dari 189 negara, sektor privat, NGOs, akademisi, dan media, banyak hal bisa diperoleh Indonesia.
“Dalam jangka pendek akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan potensi penerimaan devisa. Diperkirakan total pengeluaran (spending) dapat mencapai USD 100 juta. Manfaat lainnya adalah Indonesia dapat melakukan promosi berbagai hal di media internasional selama pertemuan tersebut,” kata Niken.
Dalam jangka panjang, perhelatan IMF-WB AM 2018 ini dapat dimanfaatkan untuk menarik perhatian dunia dan kehadirian para pelaku utama sektor keuangan dunia ke Indonesia tentang beberapa hal, antara lain kepemimpinan Indonesia dalam pembahasan isu global (infrastruktur, stabilitas sistem keuangan), isu invetasi dan perdagangan, promosi pariwisata dan MICE, dan knowledge transfer.
Mulai 2019, IMF-WB akan menambahkan ekonomi syariah ke dalam penilaian sektor keuangan negara-negara tertentu. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan regulasi di sektor yang saat ini sedang tumbuh.
Terkait dengan perkembangan ekonomi dan keuangan syariah, menurut Niken ada peluang dan tantangan sekaligus yang perlu dibarengi dengan komitmen untuk memperbaiki kondisi Indonesia secara berkesinambungan dan bersinergi dengan segenap stakeholders.
“Masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang ekonomi syariah menjadi tantangan seluruh pemangku kebijakan ekonomi syariah ke depan. Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan dapat bekerja sama dengan seluruh pihak untuk menyosialisasikan pentingnya nilai-nilai serta keuntungan perekonomian syariah bagi masyarakat,” tandas Niken.
Forum Academia tersebut juga dihadiri Rektor UIN Syarieh Hidayatullah Dede Rosyada dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Arief Mufraini.