JAKARTA, MENARA62.COM – Guna mengakhiri polemik terkait perbedaan penetapan waktu shalat Subuh dan Isya, Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) mengajak Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama untuk duduk bersama mencari solusi yang tepat. Persoalan tersebut harus segera diselesaikan mengingat shalat adalah ibadah yang harus dilakukan sesuai waktu yang ditentukan.
“Kami sudah melakukan riset dan rekaman data di beberapa titik sejak 2016. Hasilnya, sudah stabil dan highly reliable,” kata Ketua ISRN UHAMKA, Prof. Dr. Tono Saksono, didampingi Kepala Biro Humas dan Kerjasama UHAMKA Deni Akbari, Sabtu (25/5).
Karena hasilnya sudah stabil dan highly reliabel, Prof Tono menilai bahwa riset ini bisa diandalkan dan dipertanggungjawabkan untuk mengoreksi jadwal waktu shalat Subuh dan Isya. dimana saat ini waktu Subuh ditetapkan 20 menit lebih cepat dibanding seharurnya. pun demikian dengan shalat Isya, jadwal shalat yang ditetapkan pemerintah terlalu malam.
Ia mengungkapkan kehadiran sinar fajar untuk menentukan jadwal shalat Subuh seperti yang digunakan pemerintah ternyata 80 menit sebelum matahari terbit (dip-20 derajat). Penetapan ini harus segera dikoreksi karena sebenarnya sinar matahari pagi baru terdeteksi 53 menit sebelum matahari terbit (dip-13,3 derajat.
BACA JUGA:
- Menyoal Awal Waktu Subuh dan Isya di Indonesia
- ISRN Koreksi Keterlambatan Waktu Shalat Isya di Indonesia
Tetapi sebaliknya, untuk awal waktu shalat Isya, ketetapan pemerintah bahwa menghilangnya sinar syafaq baru terjadi sekitar 72 menit setelah maghrib (dip -18 derajat) harus dikoreksi juga karena sinar syafaq sebetulnya telah habis sekitar 52 menit setelah maghrib (dip -13,2 derajat).
“Ini berarti, awal subuh kita rupanya sekitar 26 menit terlalu awal, sedangkan awal isya kita sekitar 19 menit terlalu lambat,” lanjutnya.
Hasil riset itu sendiri sudah pernah disampaikan kepada Kementerian Agama. Tetapi sayangnya, riset tersebut ditolak oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) Kemenag dengan alasan bahwa data yang digunakan ISRN adalah data astronomi di Pulau Jawa yang sudah terpolusi berat, baik udara maupun sinar.
“Kami mengambil data tidak hanya di Pulau Jawa. Tetapi hampir semua titik di Indonesia, mulai dari ujung Sumatera, Labuan Bajo, Sulawesi hingga Papua. Dari barat ke timur, utara dan selatan. sedangkan BHR hanya mengambil data di Labuan Bajo dan bertahan pada dip -19,5 derajat,” jelas Prof Tono.
Menurut Tono, justeru data yang diambil BHR Kemenag merupakan data yang cacat, bias, dan terlalu subjektif, karena perubahan tren kehadiran fajar sukar terdeteksi akibat pola systematic trend dengan perubahan stokastik data yang terekam masih sukar dibedakan.
Tono juga mengatakan, bahwa penetapan waktu Subuh dan Isya di dunia pun masih kacau, tidak didasarkan hasil riset yang seharusnya. Sementara untuk waktu Dzuhur, Ashar dan Maghrib, ia tidak mempermasalahkannya karena tidak dalam perhitungan kritis.
ISRN, ujar dia, sudah diminta menyampaikan pandangannya di Malaysia, karena negara-negara di Asia Tenggara selama ini juga masih menggunakan standar dip minus 20 derajat seperti halnya Indonesia.
“Hasil riset kami di Indonesia sudah final dan kami sedang menjajaki riset di sejumlah negara lain. Lembaga di Inggris juga sudah mengajak kerja sama dalam soal ini,” tutup Prof Tono.