JAKARTA, MENARA62.COM—Media abal-abal, akun anonim, buzzer, dan hoax adalah hasil gerakan politik bawah tanah termasuk terorisme, untuk mencari dukungan, membelokkan persepsi dan opini publik, hingga mendorong gerakan politik. Demikian dikemukakan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga Prof Dr Hendry Subiakto, SH MA dalam acara Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang bertema Media Sosial dan Fikih Informasi, di Jakarta, pada Jumat (3/1).
Hendry melanjutkan, dalam perkembangannya media abal-abal ini ternyata memiliki pasar dan menjadi bisnis baru yang menghasilkan materi ekonomi bagi pelakunya. Ironisnya, masyarakat banyak yang tidak bisa membedakan media abal-abal, akun anonim, buzzer, dan hoax. “Disinyalir ada 700 ribu situs sebarkan hoax secara konsisten dan terus menerus,” ungkap Hendry. Mengapa begitu banyak?
“Karena ada yang beternak media abal-abal. Marketnya dan usernya ternyata besar. Situasi politik yang panas membawa keuntungan tersendiri. Mereka dapat iklan dari google dan iklan koneksi politik,” kata Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi ini.
Jelas menguntungkan bisnis media abal-abal itu karena pendirian dan cara kerjanya mudah. Media abal-abal mengabaikan hukum dan etika bahkan berpotensi melanggar hukum seperti melanggar UU Pers, UU ITE, UU Hak Cipta, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Bentuk-bentuk hoax yang disebarkan, untuk menarik keuntungan agar dibaca banyak orang dan menjadi viral sejatinya didominasi oleh isu-isu politik. Antara lain, berita dusta dari sebuah situs, pesan berantai, dan meme–meme yang menyesatkan.
Amat disayangkan, para pelaku hoax ini menggunakan kreativitasnya untuk hal negatif, seperti mencantumkan link berita benar atau copy paste dari media berkredibilitas, tapi diberi pengantar yang menipu, menyesatkan. Berbeda dengan isinya kalau di-klik.
Isu-isu yang laris manis dan konsisten menjadi perdebatan, di antaranya, isu jati diri Presiden Jokowi, isu tenaga kerja asing China menyerbu Indonesia, isu bangkitnya komunisme, isu kebhinekaan, isu penguasaan Indonesia oleh asing dan aseng, isu ummat Islam didzholimi, dan lainnya. Isu-isu ini diolah menjadi hoax dan disebarluaskan oleh media abal-abal melalui media sosial. Celakanya, orang yang membacanya mudah tersulut, terprovokasi tanpa cek dan ricek kebenaran berita atau informasinya lagi langsung turut memviralkan dengan repost, reshare, dan posting up-date status.
Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, MSi, warga atau netizen harus berhati-hati dan bertanggung-jawab dalam menggunakan media sosial. “Pakai hati nurani. Jangan pakai emosi saat menggunakan media sosial. Karena menyebarkan hoax atau berita bohong dapat kena azab. Semestinya media sosial digunakan untuk hal-hal yang positif dan konstruktif seperti menjalin silaturahim, dakwah, dan berbagi informasi atau berita yang benar dan bermanfaat bagi banyak orang,” kata Dadang. Jangan menggunakan media sosial untuk kejahatan, menyesatkan, dan mencelakakan orang.