TANGERANG SELATAN, MENARA62.COM — IULI siapkan pemimpin era 4.0. Pemimpin jaman sekarang harus mengerti konektivitas yang dihadapi dengan segala tantangannya. Hal ini dikemukakan Dr Ing Ilham A Habibie MBA pendiri dan pimpinan International University Liason Indonesia (IULI) pada acara IULI Open House, Sabtu (24/11/2018).
Kegiatan yang mengangkat tema Preparing Future Leaders 4.0, di Kampus IULI, di Tangerang Selatan itu, mengajak orangtua dan masyarakat untuk menyiapkan pemimpin yang siap diera sekarang dan masa depan.
Menjadi pemimpin, menurut Ilham Habibie, bukan hanya political leader, tetapi menjadi pemimpin pada bidang-bidang. Lalu apa arti kata kunci 4.0 sebetulnya? Bicara mengenai industri, jika dulu masih dilakukan secara perorangan atau manual kemudian kini sudah dilakukan secara massal dengan adanya mekanisasi, maka mekanisasi adalah dasar industri 1.0.
Menurut Ilham, untuk mekanisasi industri itu diperlukan energi. Jika ada elektrifikasi (sebelumnya tidak menggunakan listrik kemudian menggunakan listrik) dari mekanisasi industri tersebut, maka ini yang dikatakan 2.0. Setelah mengalami elektrifikasi, lalu ada komputerisasi, maka dikatakan 3.0. Kemudian jika semua mekanisasi industri sudah menggunakan komputer dan tersambungkan sehingga diperoleh data maka itulah 4.0.
“Orang mengatakan data is a new oil. Kalau dulu sepuluh perusahaan terbesar di dunia di bidang oil and gas, sekarang perusahaan terbesar adalah perusahaan yang berkaitan dengan data, seperti Appel dan Amazon,” ujarnya.
Jadi, lanjut Ilham, sebagai orang yang hidup di jaman 4.0 maka bicara tentang adanya tools, yang ada dalam genggaman dan digunakan sesuai keinginan dan keperluan. Inilah yang membedakan leaders 4.0.
“Banyak sekali alat yang digunakan dalam cakupan yang sangat luas. Maka, bicara leaders 4.0 sekarang ini, tidak harus political leaders tapi bisa juga scientific atau engineering leaders. Bahwasanya, data harus menjadi kebiasaan bagi leaders dalam membuat keputusan, bicara atau diskusi mengenai sesuatu semua harus berdasarkan data, tidak cukup hanya dengan perkiraan, kesan, ataupun perasaan,” ujarnya.
Sebetulnya, menurut Ilham, untuk memeroleh data relatif mudah, namun memang Indonesia belum excellent dari segi mempunyai data berkualitas. Adakalanya di pemerintahan, setiap kementerian memiliki data, namun kadang tidak selaras atau tidak ada harmonisasi data tersebut, sehingga kadang membingungkan. “Harapan ke depannya, kita bersama-sama membiasakan dengan menggunakan data,” ujarnya.
Menurut Ilham, adakalanya data tidak sepenuhnya benar bisa juga salah, maka itu harus dilakukan cek dan ricek. Ia mengatakan, untuk menghasilkan data perlu suatu model/program yang dibuat untuk dimasukkan ke komputer. Kesalahannya bukan pada komputernya tapi pada manusianya juga. “Apakah asumsi atau interpretasi ataukah model/program dari suatu teori yang dimasukkan salah sehingga data yang dihasilkannya pun salah,” ujarnya.
Berkaitan dengan upaya menyiapkan pemimpin 4.0 yang harus mengerti konektivitas, yang harus dihadapi dengan segala tantangannya, menurut Ilham, IULI juga mengembangkan jaringan dengan rekan di luar negeri. Hal ini menjadi asset karena kita merupakan International University Liason Indonesia. Jadi, aspek internasionalitas itu harus dikembangkan bersama.
“Tahun ini ada beberapa mahasiswa IULI di luar negeri yang sesuai bidangnya. Ada di Jerman seperti di Ilmenau, Erfurt, di Melborne, Oman dan lainnya,” ujarnya.
Ilham mengajak bersama-sama membuat jaringan ini menjadi lebih luas dan bermanfaat bagi anak-anak. “Adanya pengalaman bekerja di industri atau magang dan pelatihan di luar negeri pada semester 7 dan 8 ini, membuat mereka dapat menyempurnakan pengetahuannya dan mendapatkan pendidikan yang lebih berarti,” ujarnya.
Pengalaman yang mereka dapatkan, menurut Ilham, tidak hanya jago teori tapi mengerti bagaimana dalam dunia nyata harus berbuat dan memproduksi sesuatu.
Ilham pun mengingatkan, Indonesia negaranya besar maka tantangannya pun besar. “Apa gunanya kalau kita punya negara yang kaya, tapi dari segi pendapatan domestik bruto tidak merata. Kita tidak boleh merasa puas. Untuk mengurangi kesenjangan, hanya bisa dicapai jika kita menyediakan pekerjaan, memberikan peluang untuk mereka berkarya dan bekerja. Ini sekaligus juga menumbuhkembangkan harga diri mereka, bahwa mereka mampu dan mempunyai kemampuan,” ujarnya.