Rabu dini hari, burung-burung masih terlelap. Angin sepoi berembus membawa malam pada pagi. Dan Lahat masih terlelap dalam gelap malam saat tim ekspedisi tiba di tempat bermalam dan istirahat.
Pagi telah terenggut oleh malam. Tim ekspedisi telah siap melanjutkan perjalanannya ke beberapa kabupaten dan kota sekitar Lahat. Kami keluar dari kamar dan menikmati kopi khas Lahat di restoran tempat menginap. Semua tim telah siap melanjutkan ekspedisinya pagi itu setelah semalam lelah dan lelap karena perjalanan panjang dan berliku, tapi sangat menyenangkan dan mengesankan.
Rabu (19/07/2017), sekitar pukul 08.00 WIB dua mobil oranye bertuliskan “Ekspedisi Ahmad Dahlan Menara62.Com” telah siap menemani kami berekspedisi. Tempat yang akan kami kunjungi pagi itu adalah Kabupaten Empat Lawang berdekatan atau berbatasan dengan Lahat. Kami begitu santai pagi itu karena kami mengira perjalanan akan ditempuh hanya dalam waktu yang tidak lama. Namun, perjalanan menuju Empat Lawang begitu lama dan begitu berliku.
Medi Suhendra, sang tuan rumah juga pemgemudi salah satu mobil oranye selama ekspedisi membawa kami dengan kecepatan yang sungguh menakjubkan. Jalanan berkelok juga terdapat beberapa tanjakan ringan telah benar-benar dihapal olehnya. Kami yang jarang melewati jalur seperti di atas hanya menikmati alam indah di kanan-kiri jalan guna menghilangkan rasa pusing dan mual karena jalanan yang berkelok dan berliku.
Setelah lebih dua jam kami menikmati jalan panjang dan berliku antara Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, kami pun tiba dengan rasa dan hati yang lega. Pukul 11.00 WIB, Empat Lawang menyambut tim ekspedisi dengan sedikit terik tapi juga sejuk. Di tengah kota, kami hanya melintas sejenak, sebab tujuan perjalanan kami bukan di tengah-tengah kota itu, tapi di tempat salah seorang Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Empat Lawang, yaitu di Sungai Gelegah, Desa Ulak Dabuk, Kecamatan Talang Dadang, Empat Lawang.
Pertemuan Gelegah dan Musi
Matahari tidak telalu terik, siang hanya terbuai oleh daun-daun di tepi sungai Gelegah. Kami tiba di sebuah rumah apung yang teduh. Di belakangnya terdapat perkebunan beragam pangan yang segar dan sejuk. Dari rumah itu, deras sungai Gelegah terdengar seperti angin yang tidak telalu kencang. Kami disambut oleh salah seorang anggota PDM Empat Lawang yang juga pemilik rumah apung tersebut. Rumah apung tersebut juga dikenal sebagai rumah makan apung yang menawarkan beragam menu segar dan lezat, seperti ikan bakar yang berasal dari budi daya sendiri.
Kami melihat jam tepat pukul 11.00 WIB, namun begitu sejuk dan nyaman. Matahari menyambut kami di balik daun-daun hijau. Angin pun melebur dengan deras air sungai Gelegah yang bening. Kami disambut ramah oleh tuan rumah apung dan diajak melihat kebun di belakangnya dan di sepanjang tepi sungai. Kami pun menyusuri tepi sungai itu.
Siang itu, meski matahari tidak teralalu terik, deras air sungai Gelegah yang bening mengajak sebagian dari kami untuk merasakannya. Beberapa di antara kami pun melebur dalam derasnya dan beningnya bersama beberapa anak di desa itu. Deras dan bening Gelegah benar-benar membuat kami betah dan ingin berlama-lama di sana. Sedang beberapa di antara kami sibuk mendokumentasikan dan mengobrol dengan pemilik rumah apung sekaligus kebun budi dayanya.
Usai merasakan deras dan beningnya sungai Gelegah, kami pun disuguhi menu-menu khas rumah makan apung yang begitu lezat. Kami pun larut dalam kelezatan menu-menu tersebut dan melanjutkan obrolan dengan beberapa anggota PDM Empat Lawang.
Rumah makan apung itu terdapat beberapa bangunan terbuka dan terpisah seperti saung dan di tengah-tengahnya terdapat kolam ikan. Pada salah satu bangunan tersebut, kami memilih untuk dijdikan tempat berbagi lewat wawancara yang direkam oleh kami. Mereka pun duduk bersila dan memulai obrolan dan ceritanya pada tim ekspedisi. Banyak cerita yang disampaikan oleh mereka dan kami merekam dan mendokumentasikannya.
Sore mulai tiba saat obrolan di salah satu rumah apung itu baru saja selesai. Kami berpamitan dan siap melanjutkan perjalanan berikutnya. Namun, sebelum kami benar-benar pamit, kami menyusuri sungai Gelegah hingga muara yang mempertemukannya dengan sungai Musi. Di muara itu, terdapat dua pemandangan berbeda, yaitu pertemuan dua air yang berbeda warna. Sungai Gelegah dengan air beningnya dan sungai Musi sebaliknya. Muara itu menjadi pemandangan yang tidak lepas dari bidikan kamera kami juga bebatuan yang unik menjadi pelengkap keindahan pemandangan sungai itu.
Sore itu, kami melanjutkan perjalanan berikutnya menuju Kota Lubuklinggau. Jalan berkelok pun akan menjadi adrenalin baru. Kami tiba di Kota Lubuklinggau ketika senja memamirkan merah saganya dan matahari meninggalkan jejaknya.