32.9 C
Jakarta

Jalan Panjang Perdamaian dan Masa Depan Palestina

Baca Juga:

YOGYAKARTA, MENARA62.COM– “Kita mencoba menyoroti bagaimana persoalan peta politik yang ada di konflik Israel dan Palestina serta sangat perlu dan penting untuk melihat aspek pemenuhan hak kostitusi atau hak pemenuhan kebutuhan perempuan dan anak akibat persoalan konflik yang ada.” Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Alimatul Qibtiyah saat membuka ‘Diskusi Masa Depan Palestina’ pada Sabtu, 29 Mei 2021.

Dalam diskusi yang dilaksanakan secara daring yang mengangkat sub tema ‘Jalan Panjang Perdamaian, Hak Perempuan dan Anak, dan Keberpihakan media ini Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang diwakili oleh Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Susilaningsih Kuntowijoyo menyampaikan bahwa harus ada usaha perdamaian terus-menerus, tuntutan kemerdekaan terhadap Palestina harus terus diperjuangkan. “70 tahun lebih Palestina berada pada situasi perang yang sangat merugikan.”

Susi menambahkan bahwa perang asimetris antara Palestina dan Israel merupakan peristiwa kemanusiaan yang mengerikan. Perang asimetris yang terjadi selama 11 hari antara Palestina dengan Israel telah menewaskan sedikitnya 232 warga Palestina, termasuk di antaranya adalah 65 anak-anak.

Hajyriyanto Y Thohari, Duta Besar RI untuk Libanon menyampaikan bahwa apa yang terjadi antara Palestina dan Israel bukanlah konflik, tetapi penjajahan. “Israel berada di pihak penjajah, sedangkan Palestina di pihak terjajah.” Hajriyanto menegaskan bahwa apa yang dilakukan Israel adalah proyek kolonialisasi yang melibatkan negara-negara adidaya, seperti Amerika dan Inggris.

Keterlibatan Amerika di Timur Tengah, disampaikan Hajriyanto didasarkan atas lima motif utama yakni pengamanan akses terhadap minyak, dukungan dan proteksi atas Israel, pengamanan basis-basis dan pangkalan militer AS di Timur Tengah, mempertahankan rezim-rezim yang berkuasa di negara-negara Arab sehingga tetap menjadi aliansi setia AS, dan membendung gerakan ‘radikalisme’ dan ‘teroris’ Islam. Hajriyanto mengistilahkan kelima motif ini sebagai ‘Pancasila’ politik luar negeri AS di Timur Tengah.

Situasi yang tidak menguntungkan di Palestina semakin buruk dengan sikap beberapa negara Arab yang saat ini tidak lagi menjadikan isu Palestina sebagai perhatian utama. Oleh karena itu ia menyebut bahwa nasib Palestina saat ini tidak lagi berada di tangan negara-negara Arab akan tetapi dapat dibilang berada di pundak Amerika. “Kemerdekaan Palestina, nasib Palestina sekarang ini bukan di pundak negara Arab dan dunia Islam, tetapi sebagian besar ada di pundak Amerika, sayangnya Amerika selalu bertindak unilateral tanpa mengajak diskusi negara Islam dan selalu mengambil langkah yang hanya memperhatikan kepentingan Israel.”

Siti Ruhaini Dzuhayatin selaku Ketua Komisi Hak Asasai Manusia OKI serta dari Kantor Staf Kepresidenan RI juga menyampaikan bahwa apa yang terjadi antara Palestina dan Israel bukanlah konflik, tapi kolonialisasi atau penjajahan. Menurutnya, Israel telah melakukan genosida dan ekosida secara sistematik terhadap Palestina. Tidak hanya melakukan pemusnahan manusia, Israel juga memusnahkan lingkungan hidup Palestina. “Warga Palestina dikurung dalam sebuah penjara hidup, direnggut hak asasi kemanusiaannya, dimusnahkan vertilitas tanahnya, dan dibatasi aksesnya atas berbagai hal, tidak ada hak asasi yang tidak dilanggar oleh Israel”.

Ruhaini menyampaikan bahwa siklus pelanggaran HAM dari seluruh HAM yang dicanangkan oleh PBB itu berpengaruh kepada perempuan juga kepada anak-anak. Menurut Ruhaini, perempuan Palestina mengalami beragam persoalan, mulai dari fisik, ekonomi, dan seksual. Sementara anak-anak Palestina sejak di kandungan hingga lahir dan besar terpapar situasi perang yang terus menerus.

Dengan kondisi itu, maka dukungan Indonesia dan dunia internasional kepada Palestina menjadi sangat penting. Dukungan tersebut, menurutnya, harus didasarkan pada mandat konstitusi Indonesia dan-atau nilai kemanusiaan. Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk memisahkan situasi di Palestina dengan isu keagamaan. Karena hal tersebut akan menimbulkan hilangnya dukungan masyarakat sipil dunia yang bukan beragama Islam, padahal dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk memberikan kebebasan bagi Palestina. Menurutnya solidaritas berbasis eksklusifitas agama, akan meng-erosi solidaritas di dan untuk Palestina.

Dari sisi pemberitaan konflik Israel-Palestina ini, pengamat media sekaligus dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Robby Habiba Abror menyampaikan bahwa telah terjadi kekacauan bahasa atau semantik yang menimpa masyarakat luas. Hal ini terjadi karena realitas bahasa kebenaran disampaikan dengan samar-samar atau diperhalus. “Jika bahasa perdamaian sudah menjadi langka, maka bahasa kekerasan yang akan muncul, diwajarkan, dilumrahi, dan dianggap biasa,” ujarnya.

Ia menyoroti bahwa Israel tidak sekadar menggunakan strategi perang senjata berat, tetapi juga strategi media. Israel melakukan provokasi dan memanipulasi sudut pandang sehingga seolah-olah mereka melakukan penyerangan setelah terlebih dahulu diserang karena itu tindakan Israel sering disebut sebagai suatu upaya perlindungan diri. Padahal menurutnya, telah jelas bahwa Israel merupakan pihak yang menjajah dan menguasai, sedangkan Palestina adalah pihak terjajah dan serba menderita.

Strategi media yang dilakukan Israel ini menurut Abror telah menggiring alam berpikir sebagian masyarakat sehingga mereka mempercayai bahwa apa yang dilakukan Israel adalah tindakan yang benar. Pertarungan wacana di media, menurutnya, sementara ini dimenangkan Israel.

Dengan situasi tersebut, ia menegaskan bahwa harus ada kesatuan kemanusiaan untuk memenangkan kebenaran atas ketidakadilan terhadap warga Palestina. “Dunia tidak boleh berdiam diri atas persoalan ini. Keadilan dan kebenaran harus disuarakan dengan lantang.” (Suri)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!