Seperti tahun-tahun politik sebelumnya, Muhammadiyah konsisten untuk tetap menjadi organisasi dakwah dan sosial. Riuhnya politik membuat organisasi ini bergeming. Bagi Muhammadiyah, politik hanya jalan kecil dari luasnya peran dakwah. Deklarasi capres yang menghebohkan tidak mengusik sedikitpun para pimpinan Muhammadiyah. Mereka lebih sibuk meresmikan lembaga amal usaha di berbagai daerah, dalam dan luar negeri. Sembari mempersiapkan Muktamar yang perhelatannya tidak lama lagi.
Bagi Muhammadiyah, politik hanya sarana amar ma’ruf nahyi mungkar agar peta jalan bangsa dan negara tetap di atas koridor kesepakatan founding fathers. Politik praktis dan bagi-bagi jabatan yang kini marak hanya dilihat sebagai upaya mengerdilkan kelompok dan diri sendiri. Tentu, Muhammadiyah sebagai ormas besar tidak akan melakukan itu. Sebab, bagi mereka, politik hanya menjadi sebuah wasilah dari lebar dan majemuknya jalan dakwah dan sosial.
Meski tidak berpolitik praktis, Syafi’i Ma’arif menyebut Muhammadiyah tidak kaku dalam menjaga hubungan politik dengan pihak manapun. Bahkan, tokoh-tokoh Muhammadiyah memprakarsai kelahiran sejumlah partai dalam sejarah politik Indonesia, seperti PII, Masyumi, Parmusi dan PAN.
Menjaga jarak dengan politik bukan berarti apolitis. H. Agus Salim pernah menggagas agar Muhammadiyah menjadi partai politik pada 1918. Namun, usulan itu dipatahkan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan pertimbangan pada saat itu pembentukan partai politik tidak sesuai dengan Islam yang ditawarkan Muhammadiyah. Selain, pertimbangan lainnya sebagian besar umat pada saat itu belum memadai.
Muhammadiyah tetap pada sikap keberagaman yang multikultural dengan tetap berakar pada tradisi teks (nash) Islam. Setidaknya ini bisa kita lihat dari yang dilakukan Din Syamsuddin. Ketika elit-elit tokoh nasional wara wiri membangun koalisi, Din lebih memilih sibuk dengan World Peace Forum (WPF) yang sedianya lebih dibutuhkan dunia saat ini. Apakah Din tidak berpolitik? Tidak juga. Justru dengan WPF, Din ingin menunjukkan kepada dunia bahwa bumi yang kita pijak ini harus diisi dengan kedamaian, keharmonisan, keselarasan di seluruh aspek kehidupan manusia. Politik adalah salah satunya.
Di tengah ancaman perang nuklir, tentunya kita lebih butuh networking global yang berbicara tentang perdamaian ketimbang gontok-gontokan antarpendukung capres. Dan sekali lagi, itu yang dilakukan elit Muhammadiyah di kancah internasional.
Proses Rekayasa Sosial
Dakwah yang diusung Muhammadiyah sejatinya adalah proses panjang rekayasa sosial. Ini tentu lebih besar dibandingkan dengan politik praktis yang hanya berlangsung lima tahun sekali. Konsekuensi dari sikap demikian membuat dakwah seperti teralienasi dan menjadi jalan sunyi di tengah gegap gempitanya politik. Secara sosiologis, dakwah Muhammadiyah merupakan salah satu pranata yang tidak bisa dipisahkan dari realita masyarakat kita yang mayoritas Muslim.
Haedar Nasir memiliki pandangan menarik tentang dakwah Muhammadiyah. Menurutnya, dakwah Muhammadiyah adalah bagaimana negara mengakomodasi dan menjadikan agama sebagai sumber nilai kehidupan yang luhur dalam berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, Indonesia tidak menjadi negara sekular meskipun bukan menjadi negara agama.
Politik yang disampaikan Haedar sejatinya cerminan dari politik kebangsaan adiluhung. Sebuah cara pandang (worldview) yang mencakup seluruh elemen kehidupan manusia Indonesia. Bukan cara pandang parsial kelompok politik tertentu.
Agama bagi kehidupan bangsa Indonesia harus menjadi sumber nilai pedoman hidup, panduan moral dan etos kemajuan. Agama dan umat beragama sungguh berperan penting dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia. Karenanya, agama dan institusi keagamaan jangan direduksi oleh satu atribut dan golongan primordial tertentu. Apalagi di tahun-tahun politik, agama menjadi “mainan” kelompok politik tertentu untuk menggaet massa.
Khittah Denpasar 2002
Garis perjuangan politik Muhammadiyah pernah ditetapkan melalui Khittah Denpasar 2002. Di dalamnya memuat nilai dan orientasi yang menjadi acuan bagi warga persyarikatan. Secara garis besar sembilan pedoman garis perjuangan mengajarkan umat untuk melihat politik sebagai urusan keduniaan (al-umur al-dunyawiyaat). Oleh sebab itu, dibutuhkan sikap dan moral positif dalam menjalani kehidupan politik demi tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Politik Muhammadiyah ditegakkan dengan jujur dalam menunaikan amanah. Jauh dari bohong, khianat dan senantiasa menegakkan keadilan, hukum dan kebenaran berdasarkan perintah Allah dan RasulNya seperti tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Perjuangan yang diusung melalui pembinaan dan pemberdayaan guna terwujudnya masyarakat madani berdasarkan ajaran Islam. Terkait kebijakan kenegaraan, dilakukan melalui pendekatan tepat dan bijaksana. Muhammadiyah tetap mengedepankan sikap kritis terhadap partai politik dan lembaga formal kenegaraan dengan penuh keadaban. Hal itu untuk terciptanya sistem politik demokratis dan berkeadaban. Perjuangan politik harus mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama yang terkandung dalam proklamasi kemerdekaan RI 1945.
Peran politik Muhammadiyah sebagai wujud dakwah amar ma’ruf nahyi munkar dengan proses dan kebijakan negara tetap berjalan sesuai konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat, damai dan berkeadaban.
Kedewasaan organisasi ini terlihat dari sikap politik Muhammadiyah yang memberi kebebasan terhadap warganya untuk menggunakan hak pilih sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tentunya dengan penuh tanggung jawab, kritis, rasional dan sejalan dengan misi dan kepentingan dan kemaslahatan bangsa dan negara. Meski Muhammadiyah memilih jalan sunyi, namun tetap kritis terhadap realitas sosial masyarakat, khususnya politik nasional. Aktivitas politik Muhammadiyah membawa misi amar ma’ruf nahyi munkar. (*)