“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.”
— Q.S. Al-Balad: 12-17
Jika untuk mencapai kesuksesan di dunia yang bersifat sementara saja, kita harus membayarnya dengan kerja keras, ketekunan, kesabaran, semangat pantang menyerah, serta perjuangan tak kenal lelah, maka lebih-lebih jika kita bercita-cita untuk dapat mencapai kesuksesan di akhirat yang bersifat kekal-abadi. Tentu, usaha yang kita lakukan harus jauh melebihi usaha yang kita lakukan untuk mencapai kesuksesan di dunia.
Jika kita rela berlelah-lelah demi meraih sukses duniawi, maka sudah sepatutnya kita lebih rela berlelah-lelah demi mencapai sukses ukhrawi. Ya, jalan menuju sukses itu memang tidak mudah, terjal dan mendaki, kadang juga berliku dan licin.
Sukses duniawi hanya akan diperoleh ketika kita mampu menaklukkan jalan terjal dan mendaki itu, pun demikian dengan sukses ukhrawi. Ia hanya bisa didapatkan dengan perjuangan (jihad) yang luar biasa. Perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah), dengan mengerahkan seluruh daya dan upaya, mengeluarkan kemampuan terbaik yang kita miliki, disertai kesabaran, keikhlasan serta kepasrahan (tawakkal) yang total kepada Allah SWT.
Jalan itu memang mendaki dan sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? Di dalam Q.S. Al-Balad ayat 13-17 dijelaskan bahwa jalan yang mendaki dan sukar itu adalah sebagai berikut: Pertama, melepaskan budak dari perbudakan; Kedua, Memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Dari keterangan ayat di atas, dapat dipahami bahwa jalan terjal yang mendaki dan sukar itu adalah jalan Tuhan (Ilahi) yang termanifestasi pada nilai-nilai kemanusiaan (insani). Membebaskan budak dari perbudakan (pada masa jahiliyah dulu), artinya membebaskan manusia dari diskriminasi strata sosial. Karena, pada hakekatnya setiap manusia sama di hadapan Allah, hanya tingkat ketakwaan yang membedakan mereka. Dengan demikian, membebaskan budak artinya mengakui eksistensi setiap manusia. Tidak ada superioritas ataupun inferioritas, yang ada adalah kesetaraan, kesejajaran dan kebersamaan.
Memberi makan kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat. Artinya berusaha mengurangi beban penderitaan yang dialami dan dirasakan oleh anak-anak. Mereka masih sangat membutuhkan belaian kasih sayang orang tua. Tetapi takdir berkehendak lain, yaitu salah satu orang tuanya, yakni ayahnya sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Ddengan memberikan kebutuhan pokok untuk anak yatim, dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa yang lebih diutamakan adalah anak yatim yang masih ada hubungan kekerabatan atau persaudaraan. Hal ini dimaksudkan, agar tali persaudaraan sedarah semakin erat dan kuat. Jika hubungan persaudaraan terjalin erat, maka akan menghadirkan keharmonisan dalam keluarga.
Memberi makan kepada orang miskin yang sangat fakir, artinya meringankan beban hidup mereka dengan memberikan santunan berupa makanan agar bisa tetap bertahan hidup. Setelah itu, diharapkan orang miskin kemudian mampu berusaha menghidupi diri mereka sendiri.
Mereka termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Jalan mendaki itu memang sukar dan melelahkan. Tetapi, ketika jalan itu mampu kita lewati, maka kebahagiaan akan kita dapatkan. Lihatlah, betapa payah dan kelelahannya para pendaki gunung itu. Tetapi, ketika mereka sampai di puncak gunung, setelah melewati beragam hambatan dan rintangan, kebahagiaan dan kepuasan batin pun mereka rasakan. Sirna sudah segala lelah. Hilang sudah segenap penat. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan menikmati indahnya pemandangan alam dari puncak gunung.
Demikian juga halnya ketika kita mampu melewati segala aral yang melintang, ujian dan cobaan yang menghadang perjalanan kita menuju kebahagiaan ukhrawi. Kelak, setelah kita berlelah-lelah di dunia fana ini dengan segenap perjuangan mengalahkan keinginan duniawi, kita akan dapati nikmatnya kebahagiaan ukhrawi yang tiada henti.
Ya, jalan terjal itu harus kita daki, hingga akhirnya kita berjumpa dengan Sang Ilahi.
Penulis: Didi Junaedi