“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-An’am: 153)
Suatu ketika Rasulullah Saw. menggariskan suatu garis lalu bersabda: Inilah jalan Allah, kemudian menggariskan beberapa garis di sebelah kanan dan di sebelah kirinya lalu bersabda: Inilah jalan-jalan yang pada setiap jalan ada syaitan yang menyeru kepada jalan tersebut. Kemudian membacakan ayat: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا …. Demikian diriwayat oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Hakim dalam Mustadraknya.
Dari keterangan hadis di atas dapat dipahami bahwa jalan menuju Tuhan itu satu, yaitu al-shirat al-mustaqim, jalan yang lurus, yang Rasululullah ilustrasikan dengan satu garis tersebut. Sedangkan jalan menuju kesesatan yang akan menjerumuskan manusia itu beragam jumlahnya.
Jalan Tuhan (sabil Allah) adalah jalan yang akan mengantarkan manusia pada kebenaran (al-haqq), kebaikan (al-khair) dan kebahagiaan (al-sa’adah, al-falah). Sedangkan jalan-jalan lain selain jalan Tuhan akan mengantarkan manusia pada kebatilan (al-bathil), keburukan (al-syarr), dan penderitaan (al-syaqawah).
Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita, bahwa jalan menuju Tuhan, jalan kebaikan yang mengantarkan seseorang menuju surga itu dipenuhi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan (makarih). Sedangkan jalan-jalan kesesatan yang akan mengantarkan seseorang menuju neraka itu diliputi oleh sesuatu yang menyenangkan (syahawat).
Mari kita cermati fenomena keseharian yang terjadi dalam kehidupan kita. Rangkaian ibadah mahdlah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji adalah jalan Tuhan yang akan membawa kita pada kebaikan dan kebahagiaan. Bagaimana fenomena yang terjadi pada umumnya terkait ibadah-ibadah tersebut? Jika tidak didasari oleh keimanan yang kuat, maka pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut terasa berat.
Betapa tidak, di tengah aktivitas sehari-hari yang kita lakukan, kita diperintahkan untuk menyisihkan waktu beberapa saat untuk melaksanakan shalat lima waktu. Di saat terik matahari begitu menyengat, di saat aktivitas begitu padat menguras tenaga, kita diperintahkan untuk berpuasa di bulan suci Ramadhan.
Harta yang telah kita dapatkan dengan susah payah, bekerja siang malam, peras keringat banting tulang, kita diperintahkan untuk menunaikan zakat dan sedekah. Jika harta kita sudah cukup dan kesehatan memenuhi syarat, juga perjalanannya aman, kita diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji. Beberapa hal inilah, juga ibadah-ibadah lain yang diperintahkan oleh Allah yang disebut dalam hadis tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan (al-makarih).
Sedangkan jalan-jalan lain selain jalan Tuhan diliputi oleh sesuatu yang menyenangkan. Menumpuk harta tanpa peduli terhadap perintah Allah untuk berbagi dengan orang lain. Menjalani hidup penuh foya-foya, membelanjakan harta sesuai keinginan tanpa peduli manfaat dan mudharat (bahaya)nya. Menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa ikatan yang sah. Menghabiskan malam di tempat-tempat hiburan. Menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk kepentingan pribadi. Bergosip ria membicarakan aib orang lain. Kesemua hal tersebut adalah sesuatu yang ‘menyenangkan’. Inilah yang disebut dalam hadis tersebut dengan sesuatu yang menyenangkan (al-syahawat).
Pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan memilih jalan Tuhan yang diliputi oleh sesuatu yang ‘tidak menyenangkan’, tetapi berujung pada kebahagiaan (al-sa’adah, al-falah). Ataukah kita justru akan menempuh jalan-jalan lain selain jalan Tuhan, yang diliputi oleh kesenangan dan kenikmatan duniawi, tetapi berakhir dengan kesengsaraan dan penderitaan (al-syaqawah)?
Ruang Inspirasi, Sabtu, 11 Januari 2020.