“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.S. Al-A’raf: 172)
Kita semua, ketika pertama kali melihat alam dunia ini, ketika baru saja keluar dari perut ibu kita masing-masing, tidak ada satu pun yang membawa harta kekayaan, jabatan, kedudukan, popularitas atau yang lainnya. Bahkan, sehelai benang pun tidak kita miliki. Kita semua terlahir dalam kondisi telanjang, tidak membawa bekal apa pun berupa materi. Satu hal yang kita bawa adalah perjanjian yang telah kita sepakati dengan Allah ketika kita masih di alam rahim, yaitu janji tauhid.
Ayat yang penulis kutip di awal tulisan ini menegaskan bahwa hanya janji tauhid yang kita bawa ke dunia ini ketika kita dilahirkan oleh ibu kita. Tidak ada bekal berupa pengetahuan, harta, kekayaan dan bekal-bekal lain selain janji tauhid tadi.
Setelah seseorang dewasa, kemudian dia dapat menjalani kehidupan secara layak dengan bekerja keras, berjuang sekuat tenaga mengerahkan segala potensi yang dimilikinya, maka kemudian kesuksesan pun dia raih.
Pada saat seperti inilah, ketika kesuksesan hidup sudah dicapainya, akan terlihat jelas siapa yang tetap memegang teguh janji tauhid yang dibawanya, dan siapa yang melupakan janji tersebut.
Ketika kesuksesan telah ada digenggaman, kemudian seseorang merasa bahwa apa yang kini didapatkannya adalah murni hasil kerja kerasnya, dengan menafikan peran serta dan ijin Allah, maka sesungguhnya dia telah mengingkari janjinya kepada Allah. Dia tidak menyadari bahwa semua fasilitas kehidupan yang dia nikmati saat ini adalah karunia Allah. Dan, jika dia terlena dalam kesombongannya tersebut, maka sangat mungkin Allah akan mencabut semua nikmatnya tersebut secara tiba-tiba. Dan dia akan menyesal.
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Q.S. Al-An’am : 44)
Menurut ayat tersebut, ketika kita melupakan peringatan Allah, melalaikan ayat-ayat Allah, mula-mula Allah justru akan membukakan pintu-pintu kesenangan kepada kita. Allah menguji apakah kita akan kembali sadar dan kembali kepada-Nya, ataukah justru tenggelam dalam pelukan nafsu duniawi dan semakin melupakan Allah. Jika kita tetap melalaikan peringatan Allah, semakin menjauhi-Nya, maka di saat kita tengah menikmati puncak kesuksesan, bergelimang dengan kenikmatan dunia, Allah akan mencabut nikmat tersebut secara tiba-tiba.
Dalam keterangan lain disebutkan, Allah akan menyiksa kita secara tiba-tiba. Dan, ketika itu kita akan menyesal, terdiam dan putus asa. Na’udzu billahi min dzalika.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah menyatakan, “…Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku…”
Janji Allah dalam hadis qudsi di atas menyiratkan bahwa dalam kondisi apa pun, senang atau sedih, suka atau duka, bahagia atau sengsara, kaya atau miskin, jika seorang hamba selalu mengingat Allah, maka Allah pun akan selalu mengingatnya.
Selalu mengingat Allah berarti meyakini kehadiran-Nya kapan pun dan di mana pun kita berada. Selalu mengingat Allah juga menunjukkan kesadaran bahwa kita semua milik-Nya, dan akan kembali kepada-Nya. Merasakan kehadiran Allah dalam setiap desah nafas, serta setiap gerak langkah kita akan membuat kita lebih tenang menjalani hidup, karena kita yakin apa pun yang menimpa kita tidak akan pernah luput dari perhatian Allah. “Hanya dengan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah, hati menjadi tenang.”
Ruang Inspirasi, Ahad, (24/11/2019)