JAKARTA, MENARA62.COM – Jejak digital aktif bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perekrutan calon pegawai atau karyawan sebuah perusahaan, lembaga pemerintahan, calon penerima beasiswa, promosi jabatan dan sebagainya.
Bahkan jejak digital menciptakan dan menggambarkan kepribadian kita di mata orang lain, melalui apa yang kita posting dan komentari pada media sosial. saat ini, sebagian besar orang mengganggap apa yang terjadi pada seseorang di media sosial merupakan jati diri mereka sebenarnya.
Hal itu dikatakan Dr. Harry Nenobais, Akademisi Universitas Moestopo dalam Webinar Ngobrol Bareng Legislator dengan tema waspada Jejak Digital dan Karier Masa Depanmu, Jumat, 20 Mei 2022. Hadir sebagai Pembicara Anggota Komisi I DPR RI Dede Indra Permana, Dirjen Aptika Kemkominfo Semual Abrijadi Pangerapan dan Praktisi Komunikasi dan Akademisi Institut Stiami Wulan Furie.
Dia menjelaskan berdasarkan data tahun 2021, sebanyak 70% perusahaan melakukan penelitian online saat merekrut pegawai dan 66 % melihat jejak digital di Facebook. Kemudian 70% manajer menolak kandidat berdasarkan informasi yang didapatkan dari online.
“Sebanyak 85% manajer dipengaruhi jejak digita positif saat mengambil keputusan. Di dunia Pendidikan, sekitar 38% jejak digital negatif tutup peluang masuk perguruan tinggi pilihan, dan 33% perguruan tinggi meneliti jejak digital calon mahasiswa,” katanya.
Dia menjelaskan saat ini, pengguna internet di Indonesia saat ini sekitar 202 juta orang yang berarti 73,7 % dari jumlah penduduk Indonesia yang 270-an juta dengan jumlah generasi Z (1997-2012) atau generasi digital mencapai 27,94% dari total penduduk Indonesia. “Di masa pandemi covid-19, pekerjaan, berinetraksi dan pelayanan lebih banyak dilakukan secara online,” katanya.
Akademisi Institut Stiami Wulan Furie mengatakan adanya tantangan budaya di era digital yakni berkurangnya nilai-nilai budaya Indonesia karena media digital menjadi panggung seolah olah budaya asing.
Selain itu, katanya, adanya kecenderungan terhadap kebebasan berekspresi yang kebablasan juga seringkali berdampak pada berkurangnya toleransi dan penghargaan pada perbedaan. Bahkan maraknya pelanggaran hak cipta dan karya intelektual.
“Termasuk meningkatnya provokasi yang dapat memecah belahkan bangsa, hanya dengan satu unggahan., meningkatnya kejatahatan seksual online,” kata presenter kondang ini.
Dia mengingatkan pentingnya membangun image positif melalui media sosial antara lain dengan menggunakan nama dan foto asli, unggah prestasi dan karyamu, follow akun-akun inspiratif dan perluas jaringan dan aktif berinteraksi.
Pada kesempatan yang sama, Dede Indra Permana SH, Anggota Komisi I DPR RI menjelaskan sebaiknya dalam memilah dan memilih untuk berkegiatan di media sosial, harus menggunakan tata nilai yang baik.
Jangan sampai kita sering merekam yang kurang baik. Jangan asal mengeshare berita yang belum tentu benar karena harus dicek dulu kebenaranya. “Apakah itu berita hoaks atau bukan, atau berita propaganda atau tidak. Jangan sampai percaya dengan berit tersebut,” katanya.