JAKARTA – Pendidikan bermutu adalah kunci bagi kemajuan bangsa. Karena dengan pendidikan, berbagai persoalan yang dihadapi sebuah bangsa bisa diselesaikan.
Tetapi memasuki 100 tahun Indonesia merdeka, berbagai persoalan mendera bangsa ini. Jika ditelusuri lebih jauh, salah satu sebab utamanya karena foundasi pendidikan, kebijakan, dan pelaksanaan pendidikan masih jauh dari harapan.
“Ya, kita menghadapi persoalan-persoalan besar terkait dengan kesiapan sumber daya manusia, riset dan teknologi. Dimana capaian kesemuanya itu boleh dikatakan kalah dengan bangsa-bangsa lain. Mutu pendidikan yang masih rendah, guru yang tidak berdaya baik dari kualitas, kesejahteraan, kekurangan guru, dan perlindungan,” kata Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, Senin (30/4).
Karena itu, Unifah menilai saat ini Indonesia memasuki darurat pendidikan. Dan itu harus menjadi bahasan penting memasuki era disrupsi.
PGRI lanjut Unifah, menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya khususnya kepada Kemdikbud dan Kemristekdikti dalam penyelenggaraan pendidikan mulai dari PAUD hingga pendidikan tinggi. Apresiasi terhadap perluasan akses, manfaat KIP mencegah anak putus sekolah, dan keterbukaan Kemdikbud terhadap data dan informasi, pengangkatan guru honorer bertahap, UN tidak dijadikan patokan kelulusan dan penyelenggaraan UNBK, dan keinginan menata keruwetan administrati tata kelola guru.
“Apresiasi kepada Kemristekdikti atas kenaikan posisi Indonesia dalam jurnal internasional, cepat tanggap respon kementrian menghadapi gelombang revolusi industri 4.0 dan mendorong kampus baik perguruan tinggi negeri maupun swasta meraih keunggulan melalui akreditas dan sejumalh indikator lain yang memungkinakan PTN/PTS sama-sama bersaing ataupun sama-sama berkolaborasi,” lanjut Unifah.
Catatan penting PGRI
Meski memuji capaian pembangunan bidang pendidikan, PGRI menjelang Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2018 juga menyampaikan sejumlah catatan penting yang perlu dicermati pemerintah. Beberapa catatan tersebut adalah pertama perlunya cetak biru Pendidikan Nasional. Hingga saat ini cetak biru pendidikan belum terlihat. Renstra belum jelas sampai habis masa pemerintahan, bahkan belum merespon kebutuhan revolusi industri 4.0. Tidak heran pendidikan karakter juga jalan di tempat karena bentuk, model, dan strateginya belum jelas.
Kedua, Platform SDM Indonesia yang berkualitas, terbuka terhadap ide-ide baru, kreatif, memiliki ketrampilan hard and soft skill, visioner sesuai dengan tuntutan revolusi industri 4.0.
Catatan ketiga terkait adanya praktik kurikulum yang masih mendua, antara kurikulum 2013 dan 2006 yang berbeda sustansi dan pendekatannya.
“Kurikulum yang satu menekankan HOTS yang satu belum. Sehingga menimbulkan protes. HOTS itu bukan soal sulit tapi soal yang menuntut penalaran dan logika berpikir tingkat tinggi, bersfat abstraksi. Proses pendidikan belum kearah sana sehinga tidak heran menimbulkan rekasi ketika UNBK,” tukas Unifah .
Keempat adalah masalah proses pembelajaran di kelas yang harus diperbaiki. Lemahnya skor dalam PISA dan TIMMS menurut Unifah mengindikasikan ada permasalahan dalam kelas. Sebab mutu pendidikan sejatinya bermuara pada proses di kelas.
Itu sebabnya PGRI berperan aktif tidak menunggu tapi berkontribusi melakukan akselerasi dalam peningkatan mutu guru dan siswa melalui PGRI Smart Learning Center yang dipimpin oleh Prof. Eko Indrajit, seorang pakar teknologi informasi.
Unifah mengakui, UNBK yang prosentase pesertanya semakin meningkat jumlahnya, harus diapresiasi sebagai bentuk terobosan. Metode ini menghilangkan contek mencontek sebagai tradisi asal lulus.
“Tetapi penyelenggaraanya harus dievaluasi dari tahun ke tahun. Bentuk soalnyapun harus diperbaiki,” tegasnya.
Catatan yang tak kalah pentingnya adalah masalah pelatihan guru yang dinilai masih sangat kurang. Padahal inti dari kualitas guru bukan pada pelaksanaan sertifikasi guru. Yang utama pada pengembangan keprofesian berkelanjutan yang hampir tidak tersentuh.
Program SIM PKB adalah kebijakan pejabat sebelumnya yang sarat dengan kamuflase karena guru bukan dilatih tapi diberi soal yang harus diisi setiap hari dan kalau jawabannya jelek diberi rapor merah, bukan diperbaiki kekurangan dan dilatih.
Bagi Unifah, pendekatan pelatihan masih diperlukan dalam kluster-kluster. Guru-guru yang sudah sangat maju dapat menajdi tutor sebaya. Jadi intinya, jangan menggantungkan semua pelatihan guru dengan online dan diserahkan kepada guru sendiri seperti dalam SIM PKB. Sebab model pelatihan seperti ini bisa menjerumuskan.
Unifah mengingatkan darurat guru memberikan dampak berentetan terhadap darurat pendidikan. Efeknya seperti bola salju mulai dari kekurangan guru, ketidakmampuan guru merespon perkembangan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pusingnya guru menghadapi beragam tugas-tugas administrasi.
Tiadanya pelatihan, lemahnya perlindungan, kenaikan pangkat, tunjangan profesi yang aturannya tidak kunjung turun, impasing, sertifikasi guru, intervensi pihak lain dalam kelas, masalah guru swasta, kenaikan pangkat, dan Dapodik, adalah masalah klasik.
Untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut menurut Unifah sebenarnya sederhana, yaitu kemauan mengubah regulasi /juknis yang tidak dilaksanakan hingga saat ini. Hal-hal yang membuat guru tidak merdeka dan tidak berdaulat sehingga menghasilkan proses pendidikan yang tidak berkualitas harus dibenahi.
“Darurat pendidikan melebihi dari darurat guru tapi darurat guru memberikan sumbangan besar pada darurat pendidikan,” tutup Unifah.