Oleh: Barsihannor
Ketika saya ingin membayar sebuah tas yang dibeli di sebuah toko di kawasan Chiba Jepang, kasir toko tersebut memeriksa barang yang akan saya beli. Setelah memeriksa tas tersebut, dia memberi tahu bahwa barang tersebut cacat, karena di dalamnya terdapat goresan. Dia pun menanyakan kembali, apakah saya yakin mau membeli barang tersebut? Setelah berpikir akhirnya saya membatalkan membeli tas tersebut dan mencari tas yang lain.
Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang sangat jujur, bersih dan disiplin. Beberapa sahabat saya yang pernah ke Jepang berkata sambil bercanda mengatakan, sekiranya bangsa Jepang sudah bersyahadat, mungkin mereka lebih dahulu masuk surga dari pada kita.
Jepang adalah sebuah negara yang relatif kecil jika dibanding dengan negara Indonesia. Dilihat dari sisi sumber daya alam, Jepang bukanlah negara yang subur, sebab dari semua wilayahnya, hanya 20% daratan yang dapat ditumbuhi dengan tanam-tamaman, sementara 80% sisanya adalah pegunungan yang sulit dijadikan sebagai lahan pertanian atau tanaman.
Jepang juga termasuk sebuah negara yang paling sering digoncang gempa bumi, karena wilayahnya dikelilingi oleh lempengan cincin api pasifik, sebuah zona berbentuk tapal kuda yang sangat rawan dengan gempa tektonik. Namun dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada yang membantah Jepang merupakan raksasa dunia di bidang teknologi. Ini bisa dibuktikan dengan melihat produk-produk teknologi mereka yang bertebaran di sekiling kita, dari bumbu dapur, teknologi informasi hingga produk teknologi otomotif.
Terlepas dari kondisi geografis negara ini, beberapa hari terakhir ini Jepang juga sempat menjadi perhatian dunia dalam ajang bergengsi sepak bola dunia. Aksi heroik para “samurai biru” di atas lapangan hijau membuat decak kagum para penikmat dan penggila bola dunia. Jepang adalah satu-satunya perwakilan Asia yang bisa lolos ke babak 16 besar setelah wakil Asia lainnya, Korea Selatan tersingkir.
Saat Jepang menghadapi Belgia, sebenarnya asa untuk lolos ke babak 8 besar sudah di depan mata. Heroisme Honda dan kawan-kawan mampu mengungguli Belgia hingga skor 2-0 pada 45 menit babak pertama. Namun petaka terjadi di saat Belgia mampu membalikkan keadaan dimana gol penentu kemenangan Belgia justru terjadi di menit-menit terakhir babak kedua. Dramatis, skor akhirnya 3-2 untuk kemenangan Belgia.
Rasa sedih dan duka para pemain dan juga suporter Jepang tampak menghiasi wajah karena mereka belum mampu mewujudkan harapan bangsa Jepang, dan Asia untuk menjadi yang terbaik di pentas akbar ini. Meski Jepang kalah dan harus pulang, namun Jepang tidak kalah secara kualitatif. Jepang hanya kalah dalam pentas kompetisi untuk meraih predikat juara dunia. Jepang pada hakikatnya menjadi pemenang pada sisi moralitas dan karakterisk bangsanya.
Lihat saja bagaimana suporter Jepang setelah mengetahui tim kesayangannya mengalami kekalahan secara dramatis. Mereka tidak langsung meninggalkan stadion sepak bola, apalagi menciptakan kegaduhan atau huru-hara seperti yang biasa terjadi di negara kita. Suporter Jepang justru bersama-sama membersihkan sampah-sampah yang berserakan di dalam stadion, bahkan sampah yang ditinggalkan oleh pendukung tim nasional Belgia. Para suporter ini bahu-membahu memungut setiap sampah yang mereka temukan di gedung. Bahkan mereka adalah suporter terakhir yang keluar dari stadion karena kepeduliannya terhadap lingkungan.
Dalam konteks ini, Jepang pada hakikatnya memenangkan sebuah reputasi dan harga diri personal dan nasional. Jepang telah memberikan pendidikan dan pembelajaran moral kepada dunia. Kekalahan, tidak harus menjadi sebuah penyesalan berkepanjangan apalagi sampai emosional lalu meluapkan kemarahan dengan bentuk anarkisme. Bangsa Jepang telah mengajarkan kita tentang kemampuan mengendalikan diri, dan upaya membangun relasi humanis antara diri dan lingkungan.
Bola dan Pilkada
Pilkada telah usai. KPU telah menetapkan sosok yang keluar sebagai pemenang di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Belajar dari perhelatan akbar Piala Dunia dan perilaku supoter Jepang, sejatinya kita bisa belajar dari penyelenggaraan ini, bahwa kalah dan menang itu adalah sebuah sunnatullah. Bagi yang belum beruntung dalam pilkada, kekalahan itu tidak mesti membuat sedih tertunduk, atau sebaliknya meluapkan emosi berlebihan dengan tindakan anarkisme. Tetapi kekalahan harus dijadikan sebagai bahan kontemplasi untuk menatap masa depan yang lebih baik, dengan menghadirkan kebaikan-kebaikan dalam setiap aktivitas kehidupan.
Demikian pula bagi pemenang, hakikat kemenangan bukanlah ketika dia mampu memenangkan sebuah pertarungan atau pertandingan, tetapi kemampuan untuk mempertahankan prestasi, kerja-kerja nyata, dan menjaga integritas dirinya setelah pertarungan usai.
Dalam konteks keindonesiaan, ketika pilkada sudah usai, maka setiap kontestan harus saling merangkul, saling mendukung untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera. Pemerintah dan rakyat harus bersatu membangun bangsa ini. Hanya dengan kebersamaan, persaudaraan, persatuan dan kerja keras, bangsa ini akan bangkit. Dalam konteks demokrasi, pilkada damai ini memberikan pendidikan dan contoh demokrasi yang sangat baik kepada masyarakat Indonesia dan dunia umumnya. Indonesia mampu membuktikan diri sebagai juara demokrasi, sebab dengan tingkat kerumitan dan kerawanan sosial yang cukup tinggi, masyarakat mampu melewati tahapan-tahapan pemilu dengan baik.
(Barsihannor, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar)