Disclaimer
Tulisan ini bukan makalah akademik atau kajian fikih resmi, melainkan sebentuk renungan pribadi—atau mungkin kegelisahan kolektif—yang lahir dari diskusi panjang di Cangkrukan, tentang peliknya penyatuan kalender Islam yang hingga kini belum kunjung jelas arahnya. Ia bukan jawaban akhir, hanya upaya merenung: bagaimana jika waktu yang kita hitung selama ini punya cerita lain yang belum selesai?
Oleh: Budiawan, Cangkrukan
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi.”
QS At-Taubah (9): 36
Saya membayangkan dunia tanpa kalender Masehi. Tak ada Januari, tak ada Desember. Semua tanggal, musim, bahkan tahun baru ditentukan bukan oleh revolusi bumi mengelilingi matahari, tetapi oleh peredaran bulan di langit malam. Hari-hari dalam tahun ditandai oleh hilal yang muncul, menghilang, dan muncul kembali. Ini bukan sekadar imajinasi historis, tapi pertanyaan filosofis dan ilmiah: apa jadinya dunia jika kalender Syamsiah tidak pernah ada, dan seluruh umat manusia bersepakat memakai sistem Qomariah (lunar calendar)?
Dunia Islam Pernah Hidup dengan Kalender Bulan
Rasulullah ď·ş dan para sahabat tidak pernah mengenal kalender berbasis matahari. Hidup mereka, ibadah, ekonomi, bahkan diplomasi dijalankan dengan patokan hilal. Kalender Qomariah menjadi standar dalam menentukan waktu zakat, puasa, haji, akad perjanjian, masa iddah, hingga peristiwa-peristiwa penting kenegaraan. Bahkan hingga kini, sebagian masyarakat Muslim tradisional masih menetapkan akad jual beli, tanam panen, atau pernikahan berdasarkan bulan Qomariah.
Menurut David A. King dalam Astronomy in the Service of Islam (2004), umat Islam di zaman Abbasiyah sudah memiliki sistem observasi bulan yang canggih, menggunakan astrolabe dan observatorium untuk memverifikasi posisi hilal. Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa kalender bulan bersifat tidak pasti atau mustahil dihitung secara ilmiah.
Masalah Musiman: Titik Lemah Kalender Qomariah?
Meski demikian, kalender Qomariah punya satu “kekurangan” utama: tidak sinkron dengan musim. Sebuah tahun Qomariah hanya 354 hari—lebih pendek 11 hari dari tahun Syamsiah (365). Itu berarti, bulan-bulan dalam kalender Qomariah akan “bergeser” terhadap musim dari tahun ke tahun. Misalnya, Ramadhan bisa jatuh saat musim dingin di satu dekade, dan saat musim panas di dekade berikutnya.
Masalah ini tidak terlalu terasa di Semenanjung Arab yang beriklim gurun dan tidak punya perubahan musim yang signifikan. Tapi bagi masyarakat agraris seperti di Eropa, Cina, dan Asia Tenggara, musim adalah penentu utama aktivitas hidup: bertani, beternak, berdagang lintas laut, bahkan perang.
Inilah sebab utama mengapa kalender Syamsiah lebih disukai untuk keperluan pertanian, administrasi kerajaan, perpajakan, dan pencatatan sejarah. Kalender Julian (lalu Gregorian) dari Romawi dengan basis matahari memungkinkan sistematisasi panen dan pajak secara stabil, sesuai musim.
Kalender Qomariah Bisa Diakuratkan? Tentu Saja!
Salah satu mitos yang kerap beredar adalah bahwa kalender bulan “tidak ilmiah” karena tergantung rukyat atau pengamatan langsung. Padahal, sejak abad ke-9, ilmuwan Muslim seperti Al-Battani dan Al-Farghani telah membuat tabel astronomi untuk menghitung posisi bulan secara matematis, memungkinkan penentuan awal bulan tanpa harus melihat hilal.
Dalam modernitas, teknologi ephemeris bulan bisa menentukan posisi bulan secara akurat hingga detik. Maka, persoalannya bukan soal sains, tapi soal otoritas syariat: apakah hilal harus dilihat langsung seperti zaman Nabi, atau boleh dihitung secara hisab?
Jika seluruh dunia mengadopsi kalender Qomariah dan menyepakati sistem hisab global, maka penanggalan lunar bisa digunakan untuk administrasi ekonomi, hukum, bahkan musim tanam—asal ditambah kalender bantu yang mencocokkan data astronomi dengan musim setempat.
Apakah Kekalahan Politik Islam Menghentikan Kalender Qomariah Global?
Ada argumen menarik dari para sejarawan bahwa kalender Qomariah tidak berkembang menjadi sistem dunia karena Islam secara politik kalah. Sejak keruntuhan Khilafah Abbasiyah oleh Mongol (1258) dan kemudian dominasi kolonial Eropa atas dunia Muslim, sistem penanggalan Islam hanya dipertahankan untuk ibadah ritual, bukan untuk sistem pemerintahan atau ekonomi.
Sebaliknya, Eropa membawa kalender Gregorian ke seluruh dunia melalui kolonialisme. Kalender ini menjadi standar global karena diasosiasikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan Barat, eksplorasi, dan sistem kapitalisme modern. Di sinilah kalender Qomariah secara politik dan institusional mengalami “pengkerdilan.”
Bisakah Dunia Qomariah Diwujudkan Hari Ini?
Bisa saja—dengan satu syarat: adanya kesepakatan global. Bahkan United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pernah mengusulkan sistem kalender global berbasis bulan-matahari (lunisolar) yang lebih inklusif secara budaya dan ilmiah.
Kita bisa membayangkan sistem kalender dual-mode: Kalender Qomariah untuk kehidupan spiritual dan budaya Islam, serta kalender sinkronisasi musiman berbasis astronomi bulan dan matahari untuk pertanian dan perdagangan. Bukankah ini lebih adil daripada menstandarkan seluruh dunia dengan kalender barat saja?
Penutup: Membaca Waktu, Membaca Arah Hidup
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia menetapkan tempat-tempatnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
QS Yunus (10): 5
Ayat ini mengisyaratkan bahwa baik bulan maupun matahari adalah alat perhitungan yang sah dan ilahi. Dunia mungkin tak bisa menghapus kalender Syamsiah sepenuhnya, tapi dunia juga tak seharusnya mengabaikan kearifan kalender Qomariah yang telah diwariskan oleh Nabi ď·ş dan digunakan oleh jutaan manusia selama lebih dari seribu tahun.
Seandainya kalender Syamsiah tak pernah ada, kita tetap akan punya ritme hidup: mengikuti lengkung cahaya bulan, berjalan bersama waktu yang disaksikan langit.
—
Referensi
1. King, D. A. (2004). *Astronomy in the Service of Islam*. Variorum.
2. Nasr, S. H. (2006). *Science and Civilization in Islam*. Harvard University Press.
3. Saliba, G. (2007). *Islamic Science and the Making of the European Renaissance*. MIT Press.
4. Zerubavel, E. (1985). *The Seven Day Circle: The History and Meaning of the Week*. University of Chicago Press.
5. Eade, J. C. (1998). *The Calendars of Ancient Egypt*. Liverpool University Press.
—
