Minggu besok demo besar-besaran lagi di Hongkong. Demo hari ke-37. Masih topik yang sama: agar RUU ekstradisi dicabut.
Saya pun tiba di Tiongkok lagi. Dari Amerika. Tidak mampir Hongkong.
Kemarin saya shalat Jumat di kota Hangzhou. Di masjid besar. Dan megah. Yang baru selesai dibangun tiga tahun lalu. Menggantikan masjid lama yang kecil. Yang kalau Jumat mengganggu lalu-lintas. Meluber ke jalan raya.
Pemerintah Tiongkok membangunkan masjid baru itu. Tiga lantai. Di pusat kota. Dengan arsitektur seperti masjid di Indonesia.
Ini agak aneh. Di wilayah Tiongkok Barat, pemerintah lagi sewot. Mengapa masjid-masjid menggunakan arsitektur Arab. Kurang mengedepankan arsitektur lokal. Sampai ada masjid yang harus dibongkar. Dianggap terlalu kearab-araban. Diganti dengan arsitektur lokal. Seperti masjid tua di Beijing. Atau seperti masjid Chengho di Surabaya.
Di Hangzhou ini pun saya melihat perkembangan baru: banyak anak muda ke masjid. Seperti juga yang saya lihat di masjid Ningxia. Atau di Qinghai. Atau di Gansu.
Beda dengan 15 atau 20 tahun lalu. Yang masjid hanya diisi orang-orang tua.
Sudah lebih sebulan, saya selalu shalat Jumat dengan orang kulit hitam. Di berbagai belahan Amerika Serikat. Hanya sekali saya melihat orang kulit putih. Saat shalat Jumat di masjid Fargo, North Dakota. Disini, 90 persen jamaahnya orang asal Somalia. Saya dekati yang kulit putih itu. Setelah selesai shalat Jumat.
“Asli Amerika?” tanya saya.
“Bosnia,” jawabnya.
Beda dengan di Hangzhou ini. Hanya beberapa wajah Arab atau Pakistan yang terlihat. Yang 90 persen orang asli Tiongkok. Umumnya suku Hui. Yang kebanyakan memakai topi putih itu.
Jam 12.00 saya sudah tiba di masjid. Ternyata Jumatan di Hangzhou baru dimulai pukul 13.30. Itu pun diisi ceramah agama dulu dalam bahasa Mandarin. Selama 10 menit.
Setelah itu barulah azan. Pengeras suaranya merdu. Hanya untuk di dalam masjid. Akustiknya sempurna.
Setelah ceramah itu, barulah azan. Lalu masing-masih shalat sunnah. Ada yang dua rakaat. Ada yang empat. Barulah khotbah. Selama 10 menit dalam bahasa Arab dan Mandarin.
Saya perkirakan, 1.500 orang memenuhi masjid Hangzhou ini. Saya hitung barisannya: mencapai 20. Tiap baris berisi 80 orang.
Pantas kalau masjid lama tidak cukup lagi.
Saya lupa membawa paspor. Tertinggal di kantor. Padahal di halaman masjid itu ada pos pemeriksaan. Tas harus masuk scanner. Dan kartu identitas harus diperiksa. Harus bawa KTP (penduduk lokal) atau paspor (orang asing).
“Paspor saya ketinggalan di kantor,” kata saya.
Lalu saya keluarkan SIM yang ada di dompet. Mereka memeriksa SIM itu. Lama sekali. Huruf-hurufnya terlalu kecil.
Lalu saya ingat: foto paspor saya ada di HP. Saya buka HP. Saya cari-cari: ketemu.
Beres. Mereka tidak harus melihat aslinya. Alat mereka tersambung dengan big data. Begitu nomor paspor diinput, keluarlah paspor saya.
Petugas pemeriksanya ada enam orang. Lengkap dengan komputer. Tidak sampai antre. Mereka memasang tenda sementara di halaman masjid.
Saya pun bertanya kepada anak muda asal Pakistan yang sudah 12 tahun bekerja di Hangzhou.
“Apakah pemeriksaan ini Anda anggap aneh?”
“Sama sekali tidak. Malah lebih bagus. Tidak akan terjadi apa-apa. Kita kan orang baik-baik,” katanya.
Begitu selesai shalat Jumat, halaman itu sudah bersih. Tidak ada lagi tenda dan alat pemeriksaan itu.
Saya juga menemui orang Arab yang mengaku sebagai orang Yaman. Dari Kota Hadramaut. Namanya Abdul Aziz. Sudah 7 tahun mondar-mandir ke Tiongkok. Dagang alat-alat listrik. Ia lahir di Mekah. Seumur hidupnya baru sekali ke Yaman.
“Ini hanya untuk shalat Jumat. Kalau shalat lima waktu tidak ada pemeriksaan,” katanya.
Saya sudah sering ke Hangzhou. Satu jam naik kereta cepat dari Shanghai. Di kota inilah Alibaba berpusat. Pabrik mobil Geely. Pabrik mobil BYD. Pabrik kamera terbesar di dunia. Asal teh longqing. Lokasi legenda ular putih. Danau Xihu. Dan Asian Games tahun depan.
Tentu saya ingin menginap di hotel Flyzoo. Milik Alibaba. Hotek yang konon serba komputer itu. Tidak pakai sumpah.
Penulis:Â Dahlan Iskan