26.7 C
Jakarta

Kaderisasi Mandeg Ajeg

Tanda-tanda Zaman Munculnya Oligarki?

Baca Juga:

Kaderisasi Mandeg Ajeg. Menjadi kelanjutan dari tulisan seri kritik kritis pada Muhammadiyah yang kali ini ingin melihat kaderisasi di persyarikatan. Tesisnya, kaderisasi itu berjalan amat lambat, namun kalau lebih lugas bisa dikatakan gagal. Paling tidak dilihat dari dua hal.

Pertama, prosedur proses pergiliran kepemimpinan di tingkat pimpinan pusat hingga struktur organisasi paling bawah, memang terjadi. Meskipun mungkin banyak pihak di Muhammadiyah akan langsung menyangkal hal ini, namun tidak sedikit juga kader di persyarikatan ini, yang akan bisa melihat hal ini. Kedua,

Proses itu hanya menampilkan sedikit perubahan atau pergiliran pada orang-orang yang duduk di struktur organisasi, maupun dalam Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Mungkin, bisa dikatakan tidak ada pergiliran. Ini sekedar ungkapan untuk menyatakan pergiliran regenerasi itu berjalan amat lambat.

Apakah ini salah? Tentu tidak serta merta, kita menyatakan salah. Apalagi, tidak sedikit kader yang mungkin juga mempercayai sistem ini tidak akan ambruk, dan tak lekang ditelan zaman. Namun, ini bukan menjadi pertanyaan yang dijadikan acuan dalam menuliskan kritik ini.

Lantas apakah punya data yang lengkap, sehingga bisa digunakan untuk mendukung pernyataan itu? Jawabannya, mungkin Pimpinan Pusat bisa menilai sendiri. Atau, mungkin juga semua warga persyarikatan bisa melihat data yang ada. Data tentang berapa banyak terjadi proses regenerasi dalam struktur organisasi, dan begitu juga di AUM. Kemungkinan kita menemukan data yang membuat kaget, pasalnya parameter pertama ini sulit dibantah.

Pertanyaan yang cukup menggelitik kemudian, apakah begitu sedikitnya kader Muhammadiyah yang baik, dan bisa dipercaya untuk memegang tongkat estafet kepemimpinan organisasi dan kepemimpinan AUM. Mari kita sama-sama menghitung datanya dengan teliti, setelah semua proses regenerasi di PP hingga ranting ini selesai untuk periode amanah mendatang.

Untuk sementara, asumsinya terjadi kegagalan proses kaderisasi di tubuh besar Muhammadiyah itu sudah terjadi. Penulis ingin sekali mengungkapkan kenyataan bahwa asumsi ini salah. Mari kita cermati bersama-sama, proses renegenarsi ini.

Pernah dalam sebuah diskusi bersama para aktivis PCIM, ada celetukan yang mempertanyakan: “memangnya kaderisasi kita pernah berhasil?” Tentu ini menjadi sangat miris dan memprihatinkan. Sebagai kekuatan civil society kelas dunia, namun bisa muncul pertanyaan seperti itu. Muhammadiyah tidak pernah berhasil melakukan kaderisasi dengan terencana. Kader yang muncul umumnya karena keterdesakan sejarah, dan lebih disebabkan oleh rendahnya tingkat kompetisi “perebutan” top leader persyarikatan dan AUM. Sehingga, warga persyarikatan dikondisikan untuk selalu nriman (menerima dengan apa adanya) dan taat terhadap keputusan 13 PP terpilih.

Padahal disisi lain, sebagai organisasi berkemajuan, tentu akan semakin terasah jika ada dialektika yang bisa mempertanyakan setiap keputusan yang diambil. Jadi bukan sekedar sami’na wa atho’na, karena harus kita sadari bahwa persyarikatan ini bukan Allah dan Rasul Nya.

Paradoks Kaderisasi

Nalar berkemajuan yang seperti apa yang hendak dipertontonkan sebagai sebuah keteladanan jika model rekrutmen pimpinan Majelis/Lembaga begitu terbuka dari penetrasi kepentingan luar. Begitu pula dengan model ideal transformasi kepemimpinan di tingkat pusat yang selalu saja menyisakan konflik internal diam-diam.

Penulis mendapatkan riwayat perdebatan dari sumber yang sahih, pada pekan terakhir Februari 2023 telah kejadian dalam rapat perdana sebuah Lembaga politik paling bergengsi milik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seorang Ketua Bidang menyatakan dengan gamblang bahwa dirinya adalah pembela LGBT. Itu orang pasti belum lulus Taruna Melati I, atau Darul Arqam Dasar.

Sang Ketua Bidang tersebut dengan arogan menyebutkan bahwa namanya masuk dalam struktur Lembaga Muhammadiyah adalah sebuah kecelakaan. Yang bersangkutan kemudian menyatakan bahwa jikapun ia harus keluar dari Lembaga prestisius milik PP Muhammadiyah itu tidaklah mengapa. Karena baginya (namanya masuk sebagai Ketua Bidang di Lembaga PP) itu hanyalah sebagai sebuah kecelakaan. Tragis sekali.

Apa yang dipikirkan sang Ketua Bidang tersebut, dalam konsep HAM dan rasa kemanusiaan sangat bisa diterima. Penulispun setuju sekali dengan perspektif tersebut. Namun apakah kita sudah bisa memastikan sosok tersebut memiliki NBM alias Nomor Baku Keanggotaan Muhammadiyah? Ataukah kita dapat menjamin militansinya dalam berjuang bersama Muhammadiyah?

Aneh sekali, ketika hari masih teramat pagi, dalam sebuah rapat perdana sebuah Lembaga, tetapi dia dengan emosi berkilah bahwa namanya masuk di Lembaga sebagai sebuah kecelakaan. Ini jelas sebuah bentuk pelecehan.

Kasus di Lembaga Seni Budaya sangat menggelikan. Ketika, nama Sabrang dan Tantri dicatut dimasukkan struktur tanpa konfirmasi. Dan keduanya dengan gaya komunikasinya yang khas membuat publik tertawa. Atau malah menertawakan Muhammadiyah. Sabrang bahkan juga disebut sudah menjadi Anggota Lesbumi milik NU. Jadi makin lucu.
Penulispun baru tahu, bahwa artis si-tenda biru sudah lebih setahun ini diblacklist wartawan karena kasus pelemparan asbak. Lengkap sudah cemoohan media, ketika si artis tenda biru yang juga anggota parlemen itu masuk menjadi dewan pakar LSB PP Muhammadiyah.

Kemudian, mengapa juga ada dua nama mantan terpidana korupsi bisa masuk Majelis di PP Muhammadiyah? Bukankah itu masih cukup sensitif bagi pegiat anti korupsi. Bukankah salah satu dewa 13 adalah juga mantan Ketua KPK? Pening kepala penulis ini dibuatnya.
Muhammadiyah memang rumah besar bagi siapa saja yang setuju dengan tujuan gerakan Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah dapat menjadi tempat berlabuh dan bertobat untuk melakukan hidup beragama yang lebih hasanah. Namun, hal itu janganlah menyebabkan proses screening tidak dilakukan dengan cermat. Ini tentu sangat mengkhawatirkan. Ngono yo ngono, ning yo ojo ngono (begitu ya begitu, tapi ya jangan begitu).

MPK sebagai Lembaga Screening

Muhammadiyah sebagai sebuah state of mind seharusnya melakukan apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai bagian dari sebuah gerakan kebudayaan. Sehingga, kita jangan terjebak dengan persoalan struktural semata. Apalagi sampai memerlukan waktu hampir tiga bulan lamanya hanya sekedar untuk menyusun Majelis dan Lembaga. Itupun ternyata masih bolong disana-sini.

Mengapa itu terjadi? Karena kita tidak memiliki Lembaga Screening mirip Litsus (penelitian khusus) era orde baru.

Muhammadiyah begitu mudah kecolongan diinfiltrasi berbagai kelompok kepentingan. Kita harus menyadari bahwa nyata ada keberkahan secara sosial-ekonomi-politik untuk mereka yang bergabung bersama Muhammadiyah.

Negara semakin memperhitungkan untuk selalu menyertakan Muhammadiyah, –beserta NU–, dalam setiap masalah kebangsaan. Kendatipun, imbalan atas dukungan tersebut Muhammadiyah seringkali cuma mendapatkan remah-remah kecil kekuasaan yang bahkan terkadang hanya di pinggiran dan sangat tidak signifikan.

Majelis Pendidikan Kader (MPK) seharusnya bisa berfungsi sebagai Lembaga Screening itu. Ironisnya, justru teriakan paling nyaring berasal dari MPK. Teriakan yang menyatakan bahwa banyak kader otentik yang justru tersingkir dari posisi-posisi kunci yang selama ini menjadi langganan kedudukan untuk ditempati oleh kader murni.

MPK harus menjadi garda terdepan menjaga Muhammadiyah dari serangan kepentingan luar. Karena, Muhammadiyah semakin seksi. Penuh daya pikat yang luar biasa. Didalamnya bahkan ada “keberkahan sekuler” secara ekonomi, sosial dan politik yang bisa mereka dapatkan, dengan jalan merangsek masuk dalam struktur Muhammadiyah.

Tumbuhnya Oligarki Muhammadiyah

Muhammadiyah memiliki tanggung jawab yang besar bagi negeri ini. Muhammadiyah harus mampu memberikan keteladanan untuk selalu meningkatkan kualitas kaderisasi pimpinan.
Apa yang disampaikan Prof Achmad Jainuri, juga Ayahanda Nur Cholish Huda, hendaknya menjadi rujukan kita bersama. Kedua Beliau dengan reputasinya sangat layak untuk terus memimpin Muhammadiyah di Jawa Timur. Namun, keduanya memilih mundur dan tidak bersedia lagi dicalonkan saat Musywil Muhammadiyah Jawa Timur di Ponorogo, 24-25 Desember 2022 yang lalu.

Berbagi kesempatan memimpin Muhammadiyah itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika yang sudah mulai tua dimakan usia, termasuk yang sudah berkali-kali periode menjabat, sebaiknya mulai mundur dari pencalonan.

Memang bukanlah menjadi aib pencalonan para Pimpinan tersebut. Bahkan hal itu telah salah kaprah menjadi kebanggaan kita semua. Pimpinan persyarikatan siap mengabdi di Muhammadiyah sampai tutup usia, itu tidak perlu diragukan lagi. Namun, hal itu –kesediaan untuk dipilih kembali — akan menyebabkan kader-kader yang lebih muda akan sungkan. Sikap tawadhu’ dan takzim kepada senior, menyebabkan proses transformasi kader pimpinan justru akan terhalang.

Untuk para Ayahanda Pimpinan yang memiliki kriteria tersebut penulis mohon maaf lahir batin. Yakinlah, bahwa ada banyak ruang pengabdian di persyarikatan. Tidak hanya mengabdi di jalur struktural formal.

Disitulah, penulis akan respek dan makin cinta kepada Ayahanda. Karena ayanda telah konsisten merawat kesadaran akan pentingnya kaderisasi dan transformasi kepemimpinan. Insya Allah Muhammadiyah akan semakin jaya dan mendunia.

Penulis sangat setuju, Ketua Pimpinan Pusat cukup sekali periode saja. Supaya apa? Supaya kaderisasi terus berjalan dengan dinamis. Apalagi Kader-kader elit Muhammadiyah begitu melimpah ruah. Sikap para pimpinan yang legowo memberikan kesempatan kepada yang lebih muda dan energik akan menjadi lebih utama. Mundur bukan berarti lari dari amanah, tetapi mundur untuk memastikan proses kaderisasi itu telah berjalan sebagaimana mestinya.

Karena, pelan tapi pasti, kegagalan kaderisasi itu akan bergeser mewujud menjadi oligarki Muhammadiyah. Apakah ciri utama oligarki di tubuh Muhammadiyah? Cirinya adalah jika pimpinan tidak juga berganti selama beberapa periode. Kemudian ada insentif kesejahteraan yang bergelimang diantara elit pimpinannya.

Sehingga, kita tidak perlu heran mengapa terjadi hanya orang-orang itu saja yang menjadi pimpinan. Apakah tidak ada kader atau sosok pimpinan yang lain? Ada banyak, namun mereka sengaja dilokalisir agar tidak mengacaukan tatanan jaringan yang sudah dibangun oligarki. Indikasinya apa?

Struktur dibuat sedemikian gemuknya. Begitu banyak divisi dibuat. Terjadi rangkap jabatan dimana-mana. Bahkan, sering terjadi rangkap jabatan sejak dari ranting-cabang hingga pusat. Juga rangkap jabatan antara posisi kepemimpinan persyarikatan dengan posisi pimpinan AUM.

Jika, rangkap jabatan itu betul-betul dilarang, maka bisa kita pastikan begitu rampingnya komposisi departemen, majelis, atau lembaga. Sehingga, rotasi personil kader bisa terjadi secara lebih dinamis, sesuai peran-peran yang bisa dimainkannya.

Luruskan Tauhid Kader

Adalah tegas dan begitu lurusnya ajaran tauhid yang diajarkan dalam babak kaderisasi Muhammadiyah. Doktrin jadilah kader yang berani berkata tidak, sebagai bagian dari inti ketauhidan, seolah semakin dilupakan.

Katakan Tidak! Terhadap semua yang melawan tauhid. Katakan tidak kepada semua yang batil. Katakan tidak kepada hal-hal yang tidak memiliki tuntunan. Katakan tidak kepada sikap tercela, yang jauh dari nilai-nilai sunnah.
Tidak kepada nilai-nilai munkar.
Tidak kepada segala yang menjadi berhala.
Tidak kepada apa saja yang akan melunturkan keikhlasan.
Tidak kepada sistem yang buruk dan penuh tipudaya.
Tidak kepada semua makar-makar yang menjauhkan manusia kepada tauhid.
Sungguh ironis, hari ini mayoritas pimpinan lebih suka terhadap kader-kader yang hanya bisa mengucap yes Sir. Kader yesman. Kader penurut.

Jika ada kader-kader yang sedikit nakal, langsung disemprit. Yang berani berkata tidak, kemudian malah di blacklist. Segera kader tersebut akan dicap sebagai pembangkang terhadap senior. Kader liar yang sulit dikendalikan. Sehingga dengan begitu, kader tersebut layak disingkirkan.

Maka jika ini yang terjadi, PR besar MPK adalah meluruskan kembali intisari ajaran Tauhid setiap kader. Kader harus diajarkan nilai-nilai perjuangan berdasarkan konsep Tauhid.
Selanjutnya, tentu saja agar menjadi pengingat kita semua. Terlebih saudara-saudara kita terkasih yang sedang memegang amanah. Biasa sajalah dan sederhanalah. Karena, sesungguhnya Nabi yang mulia beserta segenap sahabatnya justru berfastabiqul khairat “memiskinkan” dirinya.

Mereka para assabiquunal awwaluun selalu melakukan kerja-kerja senyap demi mengangkat nasib para mustadhafiin. Mereka relakan hartanya untuk kesejahteraan ummatnya. Mereka habiskan hartanya untuk jihad di jalan-Nya.

Namun, tinta emas sejarah mencatat, mereka sepanjang hidupnya tetaplah saudagar-saudagar. Merekalah konglomerat murni, tanpa harus melakukan praktik oligarki yang keji. Menjadi kaya dengan menghisap darah rakyatnya sendiri.

Terhadap seluruh kader Muhammadiyah harus diajarkan dengan benar bagaimana strategi dan taktik perjuangan meraih posisi kekuasaan. Bagaimana jihad politik Muhammadiyah itu harus dilakukan dengan elegan, sebagaimana keteladanan yang dicontohkan KH. Mas Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo.

Kader politik Muhammadiyah harus diruwat, agar kembali kepada nilai keteladanan akhlak politik Muhammadiyah. Untuk tidak menjadi Yesman, dan penjilat terhadap kekuasaan. Untuk tidak mengemis jabatan demi menghidupkan asap dapur dirumahnya.
Lihatlah Pak AR. Kisah Beliau tentang rumah kosnya dan “pom bensinnya”. Pak AR bilang “kalau mau kost di sini syaratnya cuma dua. Pertama kalau subuh dan maghrib berjamaah di mushollah. Dan yang kedua harus makan di sini, karena itu bisnisnya ibu”.

Jangan semuanya berlomba membenarkan, seolah sudah sedemikian daruratnya kondisi negara yang moral konstitusinya semakin terdegradasi. Sehingga, alih-alih berusaha istiqamah di jalan tauhid, mereka bahkan merasa sudah seperti terancam bahaya “kelaparan” sehingga kemudian berlomba mengemis jabatan.

Sukidi, cendikiawan muda Muhammadiyah, telah mengingatkan bahaya tersebut. “Jangan pernah berkeluh kesah… dan jangan pernah pula sekalipun kalian mengemis jabatan kepada pemerintah. Karena hal itu hanya merendahkan kehormatan dan bahkan menodai kesucian perjuangan Muhammadiyah….
Wallahu a’lam bi ash-shawaab.

Penulis: Qosdus Sabil (Anggota Muhammadiyah Pinggiran), Waktu dhuha Ciputat, 14 Sya’ban 1444 H

Editor: Imam Prihadiyoko

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!