SOLO, MENARA62.COM – Universitas Muhammadiyah Surakarta (FAI UMS) kembali menyelenggarakan Kajian Tarjih Online ke-206 yang ditujukan bagi civitas academica UMS serta pemirsa TV Muhammadiyah (TVMU) Selasa, (30/12). Kajian yang disiarkan secara daring ini menghadirkan Dr. Imron Rosyadi, M.Ag., dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMS, sebagai narasumber utama.
Kajian Tarjih Online ke-206 ini secara khusus membahas tema Menunda Akikah Satu Bulan untuk Berbuka Bersama di Bulan Ramadan Menurut Tarjih Muhammadiyah. Tema tersebut diangkat sebagai respons atas pertanyaan jamaah bernama Anita, yang menanyakan hukum dan keutamaan menunda pelaksanaan akikah.
“Pertanyaannya, jika seorang anak lahir satu bulan sebelum Ramadan, mana yang lebih utama: melaksanakan akikah pada hari ketujuh setelah kelahiran atau menundanya satu bulan agar bisa dilaksanakan di bulan Ramadan dengan niat akikah sekaligus buka puasa bersama, berbagi dengan tetangga, saudara, dan anak yatim,” jelas Imron mengutip inti pertanyaan.
Menjawab pertanyaan tersebut, iai menjelaskan bahwa berdasarkan keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, pelaksanaan akikah pada prinsipnya memiliki waktu utama, yakni hari ketujuh setelah kelahiran. Namun demikian, akikah tidak bersifat wajib, melainkan sunnah, sehingga pelaksanaannya tetap memberi ruang kelonggaran apabila terdapat pertimbangan kemaslahatan yang kuat.
“Menunda pelaksanaan akikah satu bulan hingga masuk Ramadan pada dasarnya diperbolehkan, selama tidak mengubah niat utama akikah itu sendiri,” jelasnya. Ia menegaskan bahwa akikah tetap diniatkan sebagai ibadah akikah, bukan sekadar kegiatan buka puasa bersama.
Imron menambahkan, niat menggabungkan akikah dengan kegiatan sosial seperti berbagi makanan saat berbuka puasa, mengundang tetangga, kerabat, serta anak yatim merupakan nilai kebaikan yang sejalan dengan semangat syariat Islam. Namun, penggabungan tersebut tidak dimaksudkan untuk mencari pahala berlipat secara formal dalam satu ibadah, melainkan sebagai bentuk penguatan aspek sosial dari pelaksanaan akikah.
Imron menyampaikan, Majelis Tarjih memandang bahwa pahala setiap ibadah berdiri sendiri sesuai dengan niat dan pelaksanaannya. “Akikah adalah akikah, sedangkan memberi makan orang berbuka puasa adalah amal kebaikan tersendiri. Keduanya bisa dilakukan bersamaan, tetapi tidak dilebur menjadi satu ibadah dengan klaim pahala ganda,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa penundaan akikah tidak boleh disertai anggapan bahwa pelaksanaan di luar hari ketujuh menjadi lebih utama secara mutlak. Hari ketujuh tetap dipandang sebagai waktu afdal, sedangkan penundaan merupakan bentuk rukhsah atau kelonggaran yang dibolehkan dalam koridor syariat.
Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa jika kondisi memungkinkan, pelaksanaan akikah pada hari ketujuh tetap menjadi pilihan utama. Namun apabila terdapat pertimbangan kemanfaatan sosial yang lebih besar, seperti momentum Ramadan untuk berbagi dengan sesama, maka penundaan akikah satu bulan dapat dilakukan tanpa menyalahi keputusan Tarjih Muhammadiyah, selama niat dan tata cara ibadah tetap dijaga sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
Sebelum menjelaskan tentang akikah, Imron menjelaskan terlebih dahulu landasan metodologis yang digunakan Majelis Tarjih. Ia menegaskan bahwa sumber ajaran Islam menurut Majelis Tarjih dan Tajdid adalah Al-Qur’an al-Karim, Sunnah al-Maqbulah, serta sumber ijtihad pendukung. Sunnah al-Maqbulah sendiri dipahami sebagai hadis Nabi yang berkualitas sahih dan hasan.
“Hadis-hadis yang beredar di masyarakat belum tentu semuanya sahih. Karena itu, kehati-hatian dalam menjadikan hadis sebagai dalil hukum sangat diperlukan,” tegasnya.
Ia kemudian memaparkan empat metode utama yang digunakan Majelis Tarjih dalam menyikapi dalil atau riwayat yang tampak bertentangan secara lahiriyah. Metode pertama adalah al-jam’u wa at-taufiq, yaitu mengompromikan dalil-dalil yang sama-sama kuat agar dapat diamalkan secara bersamaan. Metode kedua adalah at-tarjih, yakni memilih dalil yang paling kuat dan meninggalkan dalil yang lebih lemah.
Metode ketiga adalah nasikh wa mansukh, yaitu meneliti dalil mana yang datang lebih akhir sehingga menghapus hukum sebelumnya. Adapun metode keempat adalah tawaqquf, yakni menangguhkan pengamalan dalil jika belum ditemukan kejelasan setelah dilakukan penelitian mendalam.
Imron juga menjelaskan perbedaan antara sunnah Nabi dan hadis Nabi. Sunnah dipahami sebagai aktivitas Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun persetujuan (takrir). Sementara hadis adalah laporan atau periwayatan atas sunnah Nabi yang disampaikan dari generasi ke generasi.
“Hadis itu adalah pelaporan aktivitas Nabi melalui proses periwayatan. Karena itu, yang diteliti para ulama bukan hanya isi hadis, tetapi juga sanad dan kualitas para perawinya,” jelasnya.
Ia kemudian menguraikan konsep tabaqat, yaitu pelapisan generasi perawi hadis mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, hingga para mukharrij seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim. Menurutnya, kesambungan sanad dan kualitas perawi menjadi dua syarat utama dalam menentukan kesahihan hadis. (*)
