28.2 C
Jakarta

Kalah di Media Sosial, Mereka Mulai Benturkan Muslim Mainstream VS Muslim Non-Mainstream

Baca Juga:

Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy

Secara politis, media sosial sudah mampu “mempengaruhi” pilihan politik publik. Kenyataan ini setidaknya tergambar saat Barack Obama terpilih sebagai Presiden AS hampir 8 tahun lalu. Dari AS pengaruh politik kekuatan media sosial menjamah beberapa belahan dunia lainnya, terutama di Dunia Arab. Rezim-rezim otoriter seperti Saddam Husein (Irak), Moamar Qadafi (Libya), dan Hosni Mubarak (Mesir), bahkan termasuk presiden yg dipilih secara demokratis pun seperti di Mesir (Mursi) harus jatuh karena kekuatan propaganda yang dilakukan lewat media sosial.

Pengaruh media sosial juga sangat kuat pada Pilpres 2014 di Indonesia. Dengan kekuatan jaringan dan kekuatan pendanaan yang tidak terbatas, tim dan pendukung Jokowi mampu memanfaatkan pengaruh media sosial. (Penulis sengaja tidak menyebut nama JK, pasalnya JK itu hanya pelengkap. Meskipun tanpa JK, penulis tidak yakin Jokowi bisa memenangkan Pilpres.)

Perlu diungkap kebenarannya, jika tim Jokowi bekerja penuh keikhlasan (bahasa mereka sukarela). Justru ketika muncul anggapan bahwa tim dan pendukung Jokowi bekerja sukarela untuk kemenangan Jokowi, itu pertanda mereka sukses dan mampu memanfaatkan kekuatan media sosial, meski untuk meraih kesuksesan tersebut mereka harus melakukan segala cara untuk melakukan propaganda dari mulai yang murahan sampai begitu sadis.

Bukti bahwa tidak ada sukarelawan, tim (medsos) Jokowi sekarang sudah “menikmati” hasil kerjanya, mulai menjadi komisaris BUMN sampai menjadi staf ahli presiden.

Karena kemampuan tim Jokowi dalam memanfaatkan kekuatan media sosial itulah, maka orang seperti Jokowi pun bisa terpilih sebagai presiden. Sungguh sampai saat ini saya belum move on, bagaimana mungkin orang sekelas dan seperti Jokowi bisa jadi presiden untuk negara sebesar Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia asli, saya punya hak konstitusional untuk bicara seperti ini. Tak ada kaitan tulisan saya ini dengan upaya makar. Hanya orang yang anti-Pancasila, yang menganggap ujaran seperti ini bisa dianggap sebagai ujaran kebencian atau bentuk makar.

Setahun lebih pasca kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014, tim media sosial Jokowi masih bekerja dengan baik. Tim tersebut, masih berada di atas angin mengalahkan tim media sosial manapun, termasuk tim media sosial yang dalam konteks tulisan ini saya sebut sebagai Tim Medsos Muslim (TMM) yang saya nilai cara kerjanya tak tersistem, asal, dan sporadis. Tim medsos Jokowi tentu dengan beragam nama media sosial, masih cukup mampu dan berhasil melakukan propaganda-propaganda politiknya.

Namun seiring perjalanan waktu, di mana mulai terlihat wajah asli sebuah kepemimpinan politik yang dibentuk lewat rekayasa politik yang “tak berkewajaran” (istilah “tak berkewajaran” ini untuk menegaskan bahwa rekayasa dalam politik memang hal lazim, namun ketika dilakukan secara tak wajar, misalnya merekayasa Petruk untuk menjadi Raja dalam cerita pewayangan pasti akan dinilai sebagai tidak wajar), termasuk memanfaatkan media sosial, maka mulailah muncul dan membanjiri di media sosial beragam ujaran, bahkan mungkin sesuatu yang dipandang sebagai fitnah yang menyerang Jokowi.

Sikap penuh kasat mata atas keberpihakan rezim penguasa terhadap Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta yang menjadi tersangka dalam kasus penistaan al-Quran, juga dijadikan bulan-bulanan oleh kelompok anti Jokowi dan Basuki, termasuk di dalamnya TMM untuk menyerang habis Jokowi, Basuki dan para kompradornya. Pada titik ini, tim media sosial Jokowi (dan Basuki) mulai dibuat kewalahan, untuk tidak mengatakan kalah dan babak belur.

Islamophobia

Saya melihat, bahwa sebagian besar mereka yang berada di belakang dan menjadi tim kerja media sosial Tim Jokowi (dan Basuki) adalah orang yang dalam dirinya mengidap penyakit ketakutan akut, baik laten maupun manifes terhadap Islam (islamophobia). Hal ini sudah biasa, sehingga kita tidak perlu kaget. Pasalnya, sudah menjadi tipikal kalangan islamophobia, jika mereka sudah terdesak dan kalah, maka akan melakukan segala cara untuk menang.

Konteks perkembangan terakhir misalnya, atas ketersudutan dan kekalahan kelompok islamophobia dalam pertarungan di media sosial, tim media sosial Jokowi (dan Basuki) mulai menjadikan agama sebagai tameng dan amunisi untuk menyerang balik kubu lawan, utamanya TMM. Pertarungan di media sosial yang pada mulanya tak ada kaitan secara langsung dengan masalah agama pun, mulai dibelokkan dan dikait-kaitkan ke arah hal yang sensitif tersebut. Seakan penyerangan dan propaganda terhadap Basuki, semata terkait persoalan agama.

Tidak heran jika kemudian, dimunculkanlah isu-isu sensitif terkait masalah agama. Mereka mulai menyudutkan kelompok Islam sembari membangun persepsi bahwa merekalah yang paling “islami”. Aneh bukan? Dimunculkanlah istilah-istilah yang begitu gampang untuk menyudutkan kelompok penentang Jokowi (dan Basuki), seperti radikal, ekstrimis, fundamentalis, intoleran, anti-kebhinnekaan, bahkan anti-Pancasila.

Bagi orang yang paham Islam dan mengerti juga sejarah relasi Islam dan negara (politik) di Indonesia, maka tuduhan-tuduhan di atas menggambarkan kepicikan mereka, naif dan menggelikan. Tampak “kebodohan” mereka. Menuduh Muslim di Indonesia sebagai intoleran, sungguh cara pandang yang jauh dari proporsional.

Kalau Muslim di Indonesia intoleran, maka kaum minoritas di Indonesia nasibnya sudah seperti Muslim di Bosnia Herzegovina yang dibantai habis oleh penjagal dari Balkan bernama Slobodan Milosevic dan Radovan “jabrik” Karadzic dan dunia Barat pun diam membisu. Kalau Muslim di Indonesia intoleran, nasib minoritas di Indonesia sudah seperti Muslim di Rohingya Myanmar, nasib minoritas di Indonesia sudah seperti Muslim Patani di Thailand Selatan dan Moro di Filipina, yang terkucilkan. Nasib minoritas di Indonesia akan seperti nasib Muslim di negara lain yang secara kuantitas minoritas, yang kerap mendapat diteror dan penistaan.

Bagaimana mungkin seorang Muslim yang baik kok tidak menghargai kemajemukan. Dalam pandangan Islam, tegas, dan jelas bahwa kemajemukan adalah keniscayaan (baca lengkap QS. Al-Hujurat). Mereka yang menuduh Muslim intoleran bisa jadi untuk menutupi penyakit intoleran yang sejatinya singgah dan bersemayam di hati mereka. Merekalah sebenarnya yang anti-Pancasila.

Setelah kampanye mereka melalui beragam kegiatan, termasuk menggunakan media sosial tak berhasil menyudutkan kelompok Muslim sebagai anti-bhinneka dan intoleran, mereka sekarang mencoba membenturkan kelompok muslim mainstream seperti Muhammadiyah dan NU dengan kelompok muslim non mainstream seperti FPI, HTI, PKS, dan kelompok Islam lainnya yang terbiasa pada dirinya disematkan baju radikal dan intoleran. Diluar perkiraan, kampanye mereka yang ingin menyudutkan Muslim sebagai anti-bhinneka dan intoleran, justru berbalik arah ke diri mereka.

Saat ini, banyak beredar postingan bagan (gambar) dan share tulisan yang bernada membenturkan kelompok mainstream vs non-mainstream di media sosial. Modus yang digunakan tidak berbeda jauh dengan modus lama yang dulu digunakan oleh penjajah. Bedanya, dulu kelompok yang dibenturkan antara kelompok modernis dengan kelompok tradisionalis. Pada beberapa hal modus ini juga masih digunakan. Ingat kasus Siyono dan teroris lainnya, Muhammadiyah dan NU berusaha dibenturkan secara keras. Dibangun persepsi bahwa Muhmmadiyah pro teroris dan kontra pemberantasan teroris, sementara NU pro pemberantasan teroris. Padahal, jelas sekali, menyebut Muhammadiyah sebagai pro teroris, selain tak berdasar juga sangat sulit dinalar.

Dalam tulisan dan bagan yang banyak beredar saat ini, Muhammadiyah dan NU disanjung begitu rupa, meski dalam beberapa hal bisa dimaknai sebagai bentuk “merendahkan” Muhammadiyah dan NU yang dinilai gagal meredam laju kelompok non-mainstream. Sebaliknya FPI, HTI, PKS, dan kelompok non-mainstream lainnya dihina-dina begitu rupa. Mereka dituduh ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam atau negara khilafah, sebuah tuduhan yang sama sekali tidak berdasar.

Memang FPI itu siapa sih? Memang HTI itu punya pasukan? Memang PKS itu kekuatannya sebesar apa? Kok bisa-bisanya FPI dan PKS mau merubah Indonesia jadi negara Islam? Yang benar sajalah. HTI mau mengubah Indonesia jadi negara khilafah? Sekadar tanya, memang masih laku “berjualan” khilafah di Indonesia dan dunia Muslim lainnya? Maaf ya, saya sendiri sama sekali tak tertarik dengan gagasan khilafah, gagasan yang sangat uthopis untuk konteks dunia Islam kekinian.

Saat ini, secara nyata ummat Islam bisa melihat, bahwa Indonesia sudah dikendalikan oleh kekuatan asing non-Muslim. Ini fakta dan bukan tuduhan, apalagi fitnah. Ironis bukan, negara yang merdeka karena pekikan Allahu Akbar dan gelora jihad “merdeka atau mati” tapi kemudian yang dikuasai “orang lain”, sementara yang Muslim dan pribumi justru termarjinalkan. Saya yakin ini bukan negara yang dulu dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.

Aneh bukan, FPI, HTI, dan PKS ditakuti. Sementara terhadap mereka yang nyata-nyata telah merampok, dan berhasil memiskinkan rakyat dan umat mayoritas Indonesia kok tetap dibiarkan menguasai Indonesia. Lawan dong mereka !

(Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Wakil Ketua Komisi Kerukuman Antar Umat Beragama (KAUB) MUI Pusat)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!