26.4 C
Jakarta

Kalender Hijriyah Dunia, Dapatkah Diwujudkan?

Baca Juga:

 

Oleh : Ace Somantri

BANDUNG, MENARA62.COM – Dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, sains dan seni akan terus terjadi. Seiring waktu dari masa ke masa, waktu yang ditandai siang dan malam dan juga pagi dan sore. Putaran waktu sebenarnya tetap pada porosnya, yang berubah dari putaran tersebut adalah fenomena alam yang didominasi pengaruhnya oleh sikap, tindakan dan perbuatan manusia itu sendiri. Alam semesta secara wujud asli dasarnya sejak diciptakan dari awal hingga saat ini dalam posisi tidak ada perubahan, seperti arah mata angin, cahaya matahari pagi hingga sore dan sinar rembulan dari awal malam hingga akhir waktu malam (fajar shodiq).

Ada hal yang berbeda saat manusia memulai memotret dengan mata visualnya, dan menghitung dengan akal pikirannya. Ternyata, dibalik gerak laju benda-benda langit di angkasa telah memberi petunjuk ilmu pengetahuan. Inspirasi dan ilham pengetahuan muncul dari teks-teks nash al Qur’an maupun peristiwa kontekstual fenomena alam. Saat masa Nabi Adam AS, sependek yang diketahui praktik hitungan waktu secara rinci tidak ada naskah histori yang memberikan penjelasan terkait hal tersebut.

Sementara hitungan waktu masa manusia dari masa ke masa, ada yang mengatakan sesaat masa kenabian Isa AS yang dikenal tahun Masehi, mohon maaf bila keliru. Namun sangat yakin, hitungan masa waktu sejak Adam AS secara substansi sudah mengalami penghitungan. Hanya saja belum ada yang membuat secara tertulis, entah karena memang belum ada tata bahasa tulis. Namun, menurut kajian histori pada masa peradaban Sumeria, ada kalender yang bersifat mengikat dan menyeluruh diterima umat manusia di dunia.

Kemudian saat dimulai tahun Masehi, sistem hitungan berdasarkan pada fenomena matahari menjadi penanda adanya perkembangan ilmu astronomi dalam hal kalender dunia. Namun saat praktiknya ada respon dari kalangan umat manusia sehingga dalam pengakuan dan legitimasinya membutuhkan proses waktu yang panjang yang penuh dinamika ditandai dengan silih berganti sistem kalender berdasarkan pada sebuah komunitas atau entitas kebangsaan, seperti dikenal kalender Yunani kuno, kalender Yahudi, kalender Romawi, kalender Julian, dan Kalender Gregorius atau dikenal dengan Kalender Masehi.

Begitulah sedikit gambaran hal ihwal kalender di dunia sebelum kalender hijriyah dikenalkan dalam Islam. Pada saat masa kenabian Muhammad SAW tahun satu sejak hijrahnya Rosulullah dari Makkah ke Madinah, itu menjadi titik tolak awal sistem penghitungan kalender hijriyah Islam yang selama ini digunakan umat muslim diseluruh dunia. Sekalipun praktik penghitungan masing-masing negara muslim relatif ada perbedaan, hal itu disebabkan karena metode dan pendekatan falakiyah. Perbedaan tersebut dalam beberapa waktu memancing adanya gesekan sosial masyarakat muslim di Indonesia.

Muhammadiyah dalam hal ini salah satu ormas Islam yang mandiri dalam menentukan penandaan tanggal kalender hijriyah. Sementara pemerintah melalui kementerian agama RI, secara praktis mereka menggunakan metode dan pendekatan yang tidak sama dengan persyarikatan Muhammadiyah sehingga saat-saat tertentu ada perbedan jumlah hari dalam satu bulan, khususnya bulan Syaban masuk ke bulan Ramadhan, dan dari bulan Ramadhan masuk ke bulan Syawal. Dampak sosiologisnya sangat terasa saat menikmati awal shaum Ramadhan dan juga saat ketika menyambut hari dua hari raya yaitu Idulfitri dan Iduladha.

Maka dengan perjalanan sejarah Muhammadiyah dalam penanggalan kalender mengalami beberapa fase, yaitu pertama fase menggunakan hisab hakiki; kedua, fase menggunakan imkanu rukyat; dan ketiga fase, menggunakan wujudul hilal sebagai jalan tengah dua fase yang terlewati. Kemudian, pada saat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makasar telah menjadi dasar tajdid untuk ada proses ijtihad mengenai dinamika penaggalan kalender hijriyah yang masih menyisakan permasalahan dimasyarakat muslim, sehingga sering muncul pertanyaan-pertanyaan publik “kenapa Muhammdiyah selalu berbeda dengan pemerintah?” ini terjadi khususnya di Indonesia.

Dengan mengucap bismillah tawakaltu, melalui saat Muktamar ke-48 di Surakarta ada penegasan kembali tentang Kalender hijriyah Global Tunggal dalam risalah Islam berkemajuan dengan catatan poin penting yaitu, 1). Melakukan perbaikan sistem waktu Islam; 2). Pemberlakuan kalender Islam global unifikatif; 3). Penyatuan hari ibadah Islam, khususnya ibadah lintas kawasan. Catatan penting tersebut diejawantahkan dalam bermuhammadiyah dengan segala konsekuensi dan resikonya. Termasuk perubahan dinamika ijtihad astronomis yang berupaya menyatukan umat (ummah wahidah).

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan ilmu pengetahuan, sosiologis dan siyasah global untuk kepentingan kesatuan umat Islam dibelahan dunia. KHGT atau kalender hijriyah global tunggal sebagai solusi praktis menjadikan dasar untuk memfasilitasi umat Islam didunia termasuk warga Muhammadiyah menjalankan ibadah yang bersandar pada waktu-waktu yang seharusnya untuk menjalankan ibadah ta’abudi vertikal, baik itu shalat, shaum dan ibadah haji serta ibadah-ibadah lainnya.

Dengan adanya KHGT yang saat ini disosialisaikan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah fase keempat setelah wujudul hilal. Fase ini sebagai bentuk perluasan dari konsep sebelumnya, walaupun narasi dan reason yang digunakan masih menggunakan istilah imkanu rukyat dan trasnfer imkanu rukyat. Bagi para mubaligh atau dai Muhammadiyah yang langsung bersentuhan dengan jamaah ditingkat daerah, cabang dan ranting akan mengalami beban psikologis. Pasalnya, akan ada kesan penilaian seolah-olah Muhammadiyah tidak konsisten terhadap wujudul hilal.

Sebagai organisasi tajdid, Muhammadiyah dalam hal ijtihad kalender hijriyah harus benar-benar mampu merasionalisasikan argumentasi akademis, baik pendekatan syariyah falakiyah maupun saintifik astronomis. Sehingga para mubaligh, aktivis Muhammadiyah yang diamanahi pimpinan dapat menyederhanakan istilah keilmuan dengan bahasa yang mudah difahami dan dicerna. Selama ini, jangankan memahami fase baru hal ihwal KHGT, saat ini metode dan pendekatan wujudul hilal masih belum faham dan cukup lelah juga menjelaskanya kepada jamaah. Dan sangat mungkin ketika jamaah diluar Muhammadiyah menilai faham konsep KHGT adalah bentuk inkonsistensi dalam penanggalan kalender hijriyah Muhammadiyah. Ini harus berputar akal menjelaskan metode syari’atnya dan juga saintifik keilmuan modern, baik matematis geografis maupun astronomisnya.

Terlepas dari itu semua, penting difahami secara jujur bahwa mentransformasikan ilmu keislaman yang sangat kuat irisanya dengan pengetahuan fenomena alam semesta bersifat wujud materi. Secara faktual, kemampuan sains dan teknologi saat ini umat muslim pada umumnya masih berkiblat pada barat atau eropa. Sementara mereka sudah mengkapling-kapling ilmu yang kemudian disebut sekularisasi ilmu keislaman. Tantangan itu hingga kini belum dapat dijawab, karena keterbatasan sumber daya manusia ilmuwan muslim kekinian,.khususnya bidang sains dan teknologi. Sekalipun ada, ruang kebebasan ilmunya tidak diberikan keleluasaan, malah justru di Indonesia ada indikasi dipersempit sehingga mengalami kebuntuan yang berakhir berhentinya dalam berkarya.

Kembali pembahasan kalender hijriyah, KHGT yang dicetuskan berapa puluh tahun ke belakang oleh ilmuwan Mesir dengan alasan untuk meningkatkan kebesamaan dan persatuan umat. Kemudian disikapi oleh pakar-pakar ilmu falak dan ahli hisab yang ikut dalam forum ilmiah tersebut, khususnya Muhammadiyah. Kajian-kajian kalender hijriyah terus didalami sesuai kebutuhan umat, berbagai metode dan pendekatan yang dilakukan oleh pembuat kalender dengan sistem hitungan yang disepakati secara umum oleh pemerintah, atau organisasi masyarakat Islam yang memiliki kemandirian dalam menentukan kalender Islam untuk kepentingan peribadahan atau kepentingan lain yang menyangkut aktifitas kehidupan dalam beragama dan bernegara dalam konteks kebangsaan.

Bagi Muhammadiyah, terkait dengan kalender hijriyah bukan sesuatu yang baru melainkan sudah memiliki portofolio panjang dalam menentukan tanggal waktu, baik menentukan awal hari dalam satu bulan maupun jadwal-jadwal waktu ibadah yang bersumber dari fenomena dinamika alam semesta dan benda-benda yang berada di angkasa, seperti ketentuan jadwal waktu shalat hingga dihitung sampai hitungan menit dan detik. Bahkan dari fenomena alam yang dihitung berdasarkan luas dan volume yang dimiliki. Rumusan dalam kalender hijriyah selalu kompromistis, sekalipun ada independensi keilmuan yang ajeg. Namun, berharap konsensus karya ilmu tersebut dapat dijadikan rujukan masyarakat muslim dunia agar ada upaya masyarakat muslim memiliki data ril mengenai peta dunia khazanah keislaman.

Di dunia ini ada keberpihakan atau ada kecenderungan pada salah satu pihak dalam konteks keilmuan, siapa pun dia atau mereka baik perorangan atau entitas sosial manakala memiliki sikap ajeg dalam hasil karya ilmu. Maka harus ada keberpihakan pada karya keilmuan tersebut sebagai wujud sikap jelas dan tegas akan pendirian prinsipnya. KHGT yang saat ini disosialisasikan, memberikan argumentasi keilmuan syari’at dan saintifiknya kepada perwakilam warga Muhammadiyah. Semangat tajdid, momentum berijtihad diruang akademis dimajlis ulama warga Muhammadiyah sharing keilmuan seharusnya lebih dinamis. Debat wacana dan gagasan disertai argumentasi keilmuan harus mewarnai seminar, bukan sekedar mendengarkan dan diam tidak banyak mengungkap wacana kontemporer.

Solusi KHGT bukan sekedar mengikuti gagasan orang lain dengan alasan momentum berkumpulnya pakar-pakar falak atau astronom muslim sedunia, melainkan karena sikap ajeg keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Naskah akademik keputusan baru penggunaan sistem kalender hijriyah Muhammadiyah harus disertai tuntunan praktis KHGT harus dibuat dengan sistematis, argumentatif, sederhana dan praktis. Konsistensi kalender hijriyah Muhammadiyah bukan pada metode dan pendekatan semata, melainkan lebih kepada tujuan dan makna mendalam dibalik perubahan yang terjadi. Konsistensi Muhammadiyah ada pada karakter tajdid. Wallahu’alam.

Bandung, Mei 2024

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!