Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Setiap tahun akademik baru, prosesi pergantian silih berganti angkatan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Hal lumrah setiap awal tahun akademik ada penerimaan simbolik mahasiswa baru, biasanya pada bulan Agustus atau September. Suasana bahagia terpancar pada mahasiswa baru, mereka akan masuk dunia baru dengan gaya dan model pembelajaran baru. Ada kesan yang berbeda ketika masih sekolah menengah atas yang kental dengan nuansa seragam berubah menjadi nuansa penuh ragam. So pasti perubahan tersebut memiliki simbol berbeda, ketika seragam yang dibenaknya banyak aturan yang rigid, sementara nuansa ragam memiliki simbol kebebasan dengan aturan yang lebih fleksibel tidak kaku. Dengan seragam biasanya ada tangkapan psikologis seolah ada pemaksaan untuk tidak boleh berbeda atau tidak boleh bersikap kritis. Tidak heran, model belajar di Indonesia budaya kritis dimulai ketika masuk perguruan tinggi karena diawali suasananya tidak dipaksa untuk seragam.
Mahasiswa sebagai elemen masyarakat yang terkenal kritis, berharap tidak ada pergeseran terlalu jauh rentang antara mahasiswa kreatif-kritis menjadi mahasiswa klimis-apatis. Tidak bisa dipungkiri generasi anak muda hari ini, akan bernilai dan berbobot ketika gaya hidup mentereng sambil nongkrong di cafe coffee, sementara advokasi kaum tertindas pun hanya terlintas dalam pikiran sepintas. Hampir dua dekade gerakan mahasiswa nyaris tidak terdengar ada sekelompok mahasiswa berjibaku melakukan advokasi buruh dan para petani maupun orang dhuafa di pinggiran desa, mungkin sudah bukan eranya lagi. Mereka hari ini sangat dekat dengan smartphone, android dan tablet. Waktu senggang hanya dipakai untuk main game bareng (mabar) online baik di dalam kampus maupun di kamar kontrakan. Kalau tidak dipaksa dengan tugas perkuliahan dari dosen sulit untuk mencoba masuk menyelami berbagai persoalan masyarakat bawah, khususnya kaum tertindas dan dhuafa.
Tuntutan institusi kampus perguruan tinggi Islam, labelisasi kampus Islami dituntut menjadi trademark secara visualistik, padahal yang paling penting bukan simbol yang dikedepankan, melainkan substansi keadaban, kejujuran, keadilan. Keterbukaan, keterukuran, dan pelayanan yang memuaskan para pihak di lingkungan akademik. Sangat ironis, ketika simbol visualistik kampus Islami namun fakta dan realita jauh dari fatsun profesionalitas yang adil dan beradab, terlebih ketika melihat ada pelanggaran orang lain seolah dia paling salah, padahal dirinya hadir dan berada pada posisi dengan cara yang salah. Bisa jadi pelanggaran dan kesalahan tersebut dengan pendekatan teori sebab akibat, menjadi bagian dari rantai yang tersambung dari kesalahan satu dengan kesalahan lainnya yang di perbuat. Argumentasi tersebut dapat di terima, pasalnya Allah Yang Maha Kuasa mengetahui segala hal yang terjadi sekalipun tersembunyi, sehingga sangat mungkin yang terjadi di lingkungan institusi atau komunitas tersebut, kita menjadi salah satu bagian penyebabnya.
Kampus Islami harus berangkat dari komitmen dan linearitas sikap perilaku dan perbuatan semua individu pada sebuah aturan yang disepakati, dan yang paling bertanggungjawab dalam penegakan ada pada puncak kepemimpinan. Apabila pendekatan manajemen in put, process, out put dan out come banyak dilanggar, maka selanjutnya akan terus ada pelanggaran dan kesalahan secara simultan. Ketika kesalahan tidak disadari akan mengalami kesulitan ada pengakuan, yang lebih disesalkan berbuat pelanggaran justru disiasati dengan kemasan baik yang hanya untuk sekedar kepentingan sahwat emosi dirinya sendiri. Kecuali kebijakan program kampus Islami hanya sebatas simbol, yang penting terpasang informasi tentang aturan ini dan itu, sanksi dan punishment nanti ditunda dulu karena dirinya juga menjadi benalu yang tidak tahu malu. Fakta dan realita, kampus berlabel Islam di Indonesia masih tergolong second class dalam belantika dunia pendidikan. Inkonsistensi institusi perguruan tinggi berlabel Islam dalam menjalankan aturan yang modern dan kemajuan masih tergolong dapat dikatakan utopia.
Pada saat tak diduga, dalam suasana santai sambil menikmati angin espoi-sepoi menusuk otot dan tulang, obrolan kecil terselip dengan salah seorang alumni perguruan tinggi di Jerman dan USA. Pengakuannya bahwa di negara tersebut tidak disanksikan model ketercapaian belajar bukan pada simbol melainkan kemampuan problem solving, apalagi dicipta menjadi sosok manusia bak mesin kaleng-kaleng itu sesuatu yang sulit terjadi. Bukan kita memuja dan memuji, tidak salah mencoba mencari dan menggali informasi yang ada, karena pada dasarnya manusia di muka bumi sama tidak ada bedanya. Adab dan aturan dunia akademik seharusnya mencerminkan sikap yang konsisten pada konstitusi institusi, bukan pada sikap emosi individu yang seolah diri paling so pasti. Disadari dengan hati terbuka, bahwa instusi pendidikan tinggi Islam bisa lebih bergengsi ketika di bangun tradisi imunisasi dan vaksinasi akademik sesuai nurani nan alami.
Bandung, September 2022