Walaupun sudah satu pekan saya di Wollongong dan kampus UoW hanya bersebelahan jalan dengan rumah kediaman kami, pada hari inilah pertama kali saya masuk kampus University of Wollongong.
Ini karena nyonya ajak masuk kampus, memperlihatkan ruang belajarnya dan kelas mengajarnya untuk mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran UoW. Kerja sambilan sambil mengajar juga beliau.
Sebelum ke ruangannya, pertama kali yang ingin saya lihat adalah dimana mushallanya. Kami awali masuk kampus dari jalan kecil bersebelahan dengan pintu rumah. Hanya menyebrang jalan raya selebar kira-kira 12 meter. Masuk kampus, penuh dengan pohon-pohon rindang menjulang tinggi ke langit.
Bangunan perkuliahan atau perkantoran, tidak terlalu tinggi. Rata-rata hanya 3-4 lantai saja. Bahkan lebih banyak pohon yang tinggi dibandingkan bangunan. Ada juga bangunan tinggi sementara dibangun. Itu dipersiapkan untuk laboratorium kedokteran.
Sekitar lima ratus meter jalan kaki menyusuri koridor kampus, jalan setapak dan lorong diantara bangunan, akhirnya kami tiba di mushalla. Nyonyaku belum pernah ke mushalla ini. Makanya tadi sempat mencari-cari diantara bangunan. Sebabnya adalah, bangunan mushalla ini baru saja dibangun dan dipakai sejak Ramadan yang ini.
Sebenarnya dulu ada ruang salat dalam satu bangunan. Karena bangunan itu dibongkar, jadi ruang salat juga terbongkar. Awal tahun 2000an, ruang salat tersebut didominasi dan diurus oleh pelajar Muslim Indonesia. Mengingat beberapa waktu belakangan pelajar Indonesia semakin berkurang, jadilah ruangan itu didominasi pelajar Muslim dari Timur Tengah.
Karena tidak ada lagi ruang salat, para pelajar Muslim “protes” kepada pihak universitas. Setelah negosiasi, pihak universitas berjanji membangun khusus mushalla untuk pelajar Muslim.
Berada di atas lahan lapangan tennis, mushalla ini adalah semi permanen. Sewaktu-waktu bisa dipindahkan atau dibongkar. Begitulah kebijakan universitas. Mungkin saja belum menemukan tempat yang cocok, padahal kebutuhan akan mushalla begitu mendesak. Sehingga dibuatkan mushalla sementara saja dulu.
Walaupun semi permanen, akan tetapi bangunan mushalla ini sangat megah dan keren. Sepintas lalu, tak jelas bangunan apa ini. Hanya ada tertulis “prayer space” di papan luar ukuran kecil. Jika jarak jauh tak terbaca. Terdapat tempat wudhu yang bersih dan indah. Toiletnya pun demikian. Di dalam pun cukup indah. Karpetnya halus dan bersih.
Jika tidak salah, ukuran mushalla ini melebar ke samping. Kira-kira 10×25 meter. Di samping bangunan ini masih ada lapangan tennis yang dipisahkan dengan pagar terali. Ada juga kolam renang di samping. Juga aula kegiatan mahasiswa. Jadi mushalla ini berada di kawasan kegiatan dan olah raga mahasiswa.
Ketika tadi kami tiba di mushalla ini, masih sepi. Tak ada orang. Saya coba buka pintu. Terkunci. Beberapa menit kemudian datangnya pelajar-pelajar berperawakan Arab. Masuk ke mushalla mesti dengan menekan nomor atau kode kunci.
Seorang diantara mereka mengumandangkan azan. Lalu iqamah, tanpa ada salat sunnah rawatib. Jamaah sekitar 12 orang, sebagian besar berperawakan Arab. Saya ikut saja. Rukun shalat sama dengan kita di Indonesia. Ada memang berbeda. Misalnya posisi duduk tahyat akhir, posisi tangan ketika bangkit dari sujud, dan goyangan telunjuk saat tahyat.
Sementara salat duhur seorang mahasiswa Indonesia datang. Dia masbuk. Saya salat sunnah dua rakaat setelah duhur lalu keluar. Saya berharap dia juga keluar segera. Ternyata dia masih tinggal di mushalla, tadarrus. Lalu saya masuk lagi dan mendekati beliau. Katanya melanjutkan kebiasaan tadarrus Ramadan. Subhanallah.
Lalu saya dengan nyonya melanjutkan perjalanan keliling kampus. Sempat bertemu pasangan di depan pintu gedung yang ramai orang, yang sambil jalan melakukan gerakan, untuk ukuran kita, baik secara agama maupun budaya, tak layak dilakukan di muka umum. Tapi inilah di sini. Lain padang lain belalang. Lain negara lain juga batasan kepatutannya.
Karena ini sudah siang, beberapa mahasiswa makan siang di lapangan. Duduk berkelompok. Sebagian mahasiswa tidak mau makan di kantin, justru membawa bekal makanan dari rumahnya. Selain lebih murah tentu juga karena lebih sehat dan sesuai seleranya.
Kami pun masuk ke beberapa gedung. Termasuk gedung ilmu biologi. Terdapat beberapa jenis batuan indah dipajang dalam etalase kaca. Termasuk batu-batu mengkilat dari Flores Nusa Tenggara Timur. Di gedung lain beberapa mahasiswa sedang duduk di koridor atau lorong kelas atau lecture theatre. Membaca buku dan corat-coret kertasnya. Tidak ada main hape atau main game. Mereka sedang belajar, karena ini adalah musim ini ujian.
Kami pun masuk perpustakaan. Megah, luas dan nyaman. Saya teringat dulu di PTSL UKM Malaysia. Mirip. Di perpustakaan UoW ini ada banyak mahasiswa yang jadi relawan. Relawan apa? Mereka adalah mahasiswa yang lebih senior yang membantu mahasiswa yunior. Tugasnya membantu mahasiswa yang mengerjakan tugas atau PR. Itu sudah lazim di sini. Membantu secara suka rela.
Di perpustakaan ini, juga terdapat komputer yang bisa dipakai setiap saat. Ada ruangan print dan tempat menyimpan juga memanasi makanan. Masuk ke perpustakaan, bebas. Tak perlu pakai kartu dan tak diperiksa. Begitu masuk dekat pintu utama, terdapat tiga rak buku-buku free. Artinya boleh diambil secara percuma. Saya lihat memang buku keluaran lama.
Lalu oleh nyonya saya dibawa ke ruangan belajarnya. Di sini mahasiswa PhD diberi ruangan khusus. Setiap mahasiswa dapat meja kerja sendiri dan komputer. Jadi tak perlu menenteng laptop setiap saat. Dalam ruangan ini, tak boleh ada suara. Jika menerima telepon harus ke luar gedung. Bisa kena denda jika ngobrol dalam ruangan ini.
Pepohonan
Sepanjang kampus tadi, saya juga menikmati pohon-pohon yang saya lupa apa namanya. Dulu itu pohon banyak tumbuh di kampung halaman saya Sipirok. Baik di saba Lampesong, kebun pasar malam ke arah Sibadoar, maupun di saba gas-gas Panggulangan.
Batangnya tunggal memanjang ke atas sekitar 4-5 meter, sedikit berbulu, tidak punya cabang dan ranting. Daunnya hijau, seperti daun pakis atau paku. Biasanya memang tumbuh di daerah dingin, sekitar sungai atau rawa-rawa.
Pohon ini mengingatkan saya kepada ayahku. Almarhum Muhammad Dollar Siagian. Walaupun ayahku seorang guru, kami tetap bersawah dan berkebun untuk mencukupi kebutuhan dapur tentunya. Suatu ketika, saya masih kecil di Sipirok. Saya pernah menemani ayah menebang jenis pohon tersebut. Untuk dijadikan tiang membangun sopo atau gubuk di kebun kami di Pasar Malam dekat Desa Sibadoar.
Sayang sekali kebun tersebut, pertengahan tahun 1990an, dibeli paksa oleh seseorang. Hanya Rp 100 Ribu padahal harga pasaran waktu itu jauh lebih mahal. Dibeli paksa, daripada diambil paksa. Katanya itu adalah kebun nenek moyang mereka. Konon dia adalah keturunan raja di Sipirok. Punya banyak keluarga polisi dan tentara baik di Medan maupun di Jakarta. Wallahu’alam.
Saya juga melihat tanaman sikkut di rawa-rawa. Almarhumah nenek saya di Panggulangan awal tahun 1980an, ketika usiaku masih sekitar 7-8 tahun, pernah menyuruh saya mencari tanaman sikkut. Ini semua dijemur pada panas matahari hingga kering sekeringnya. Lalu nenek mengayamnya menjadi tikar. Ada tikar tempat duduk, ada juga tikar sajadah shalat.
Tak lama kemudian saya pulang duluan ke rumah. Nyonya tetap tinggal di ruangan belajarnya. Bagi saya sudah cukup. Yang penting sudah lihat dimana letak mushalla dan perpustakaan.
Penulis: Haidir Fitra Siagian
Masjid Omar Wollongong, Kamis (6/6/2019), ba’da Magrib