24.5 C
Jakarta

Kartini, Inspirator Kreativitas

Baca Juga:

APRIL  di Indonesia adalah bulan Kartini. Berbeda dengan bulan setelahnya, Mei adalah bulan pendidik yang bernama Ki Hadjar Dewantara. Juga dua bulan setelahnya, Juni, yang ditera sebagai bulan Soekarno. Sampai pula dibulan November yang dianggap sebagai bulannya Bung Tomo. Sejumlah bulan yang beraroma national hero harus disambut sebagai bulan dimana gagasan, idealisme, dan sejumlah kreativitas juga perlu digesek dalam pikiran setiap anak bangsa.

April adalah bulan feminin. Bulan yang jauh lebih bermakna dari pada Februari yang sering dianggap sebagai bulan ‘muda ungu’, dimana ingatan tentang hari kasih sayang berada. Kartini jelas memiliki kasih sayang pada kita semua. Begitu sayangnya, beliau juga melawan ketidak-sewenangan-wenangan sosial pada masanya. Indahnya, ia tidak melawan melalui senjata dan teriakan heroik bak pahlawan laki-laki yang kita kenal pada umumnya.

Pikiran-pikirannya yang bening berhasil keluar dari penanya yang tajam, dan menghasilkan tulisan yang mencerahkan bagi pembacanya. Tulisannya rapi seperti larik dan titik-titik pada pola batik yang menyadarkan bahwa menulis bukan hanya soal esensi, tetapi juga kreasi dan dedikasi. Ketrampilan seninya yang halus berhasil menaikkan pamor budaya dan bangsanya, Jawa, sebagai entitas penting yang harus diingat. Kehalusan budinya, justeru membuat bangsa lain menghormati. Hal itu tak mampu membuatnya disebut ‘musuh’ oleh siapapun, sebab yang dilawan bukan orang, tetapi pikiran dan sistem. Ia melawan ketidaksewenangan itu, dengan tenang, berangkat dari dalam kalbu seorang perempuan.

Ia tak bisa menolak diri ketika menghadapi takdir, sebagai istri, ibu ataupun perempuan Jawa. Hebatnya, ia terus bergerak (move on kata anak sekarang), dan mewariskan tulisan tangannya. Kartini dan segala takdir hidupnya menyulut makna yang amat penting bagi generasi sekarang, yakni kreatif untuk melakukan sesuatu, tanpa menciptakan musuh. Bangsa ini harus belajar setidaknya dua hal penting dari seorang Kartini: pertama memahami visi bangsa besar sebagai sebuah sistem yang egaliter, termasuk menghormati semua mahluk ciptaan Tuhan. Kedua, bekerja secara sesungguh-sungguhnya dan tekun untuk melakukan segala kegiatan hidup dengan sepenuh rasa.

Kartini seperti menyadarkan saya dan mungkin Anda para pembaca yang budiman, agar hidup tidak berjalan seperti mesin. Kita bukan robot. Kita manusia, lemah secara fisik, namun kuat dalam berpikir. Jangan lupa pula, kita manusia. Berlakulah seperti manusia. Tandanya apa? BERKARYA. Itu cukup saya kira.

 

Mikke Susantosa

(Kurator yang juga Dosen ISI Yogyakarta)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!