JAKARTA – Beban terbesar kasus malaria di Indonesia saat ini adalah wilayah Indonesia Timur. Dari 261 ribu kasus yang tercatat sepanjang 2017, sekitar 90 persen berasal dari wilayah Papua, NTT dan Papua Barat.
“Wilayah Indonesia Timur, 70 persen merupakan daerah endemis malaria,” kata Jane Soepardi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, di sela temu media dalam rangka Hari Malaria Sedunia yang jatuh tanggal 25 April, Senin (23/4).
Karena itu upaya pemberantasan malaria yang dilakukan pemerintah, sebagian besar berfokus pada wilayah Indonesia Timur. Mulai dari penyediaan alat diagnosis malaria, program pengendalian vektor, skrining parasit malaria hingga pembagian kelambu.
Jane mengakui sebenarnya Indonesia memiliki perkembangan yang sangat bagus dalam penanggulangan masalah malaria ini. Dimana salah satu indikatornya adalah semakin meningkatnya jumlah wilayah yang bebas malaria.
Tahun 2017 lalu sebanyak 266 kabupaten/kota sudah mencapai eliminasi malaria. Tahun ini ditargetkan bisa mencapai 285 kabupaten/kota dan pada 2019 menjadi 300 kota. Dan pada 2025 ditargetkan semua kabupaten/kota sudah eliminasi malaria, untuk menuju Indonesia bebas malaria secara keseluruhan pada 2030.
“WHO telah mengapresiasi upaya Indonesia menanggulangi malaria. Bahkan menjadi contoh bagi negara besar lainnya seperti Afrika dan India,” tambah Jane.
Ia mengakui sesungguhnya faktor yang mempengaruhi kejadian malaria cukup kompleks. Mulai dari manusianya, nyamuk penularnya (anopeles) dan parasitnya. Maka untuk menanggulangi diperlukan kontribusi semua sektor terkait termasuk masyarakat dan swasta untuk mencapai tujuan eliminasi malaria.
“Jadi masalah malaria bukan tugas Kementerian Kesehatan saja. Kementerian PUPR, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Desa, Kementerian Pariwisata dan tentu Pemda harus mengambil peran,” tutup Jane.