JAKARTA, MENARA62.COM– Pornografi anak melalui media digital kembali terkuak. Hari ini, Polda Metro Jaya dalam konferensi persnya bersama Asdep Perlindungan Anak dari kekerasan dan eksploitasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), bersama Kak Seto dan Ketua KPAI menjelaskan kronologi pengungkapan kasus pornografi anak melalui Skype yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Wahyu Hadiningrat mengungkapkan jika kasus tersebut telah diselidiki sejak April 2017. Pelaku melalui akun skype-nya tersebut membuat konten (foto dan video) tentang pornografi anak dan mentransmisikan gambar dan video yang bermuatan kesusilaan atau pornografi anak di bawah umur.
Menjadi sorotan, sebab pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandung dan keponakannya sendiri, dan disiarkan secara live streaming serta disebarkan ke grup Whatsapp dan Telegram lintas internasional.
“Komunitas ini terkuak setelah polisi mengidentifikasi seorang WNI melakukan kekerasan seksual terhadap anak kecil melalui platform Skype. Kemudian kami bekerja sama dengan US Ice Homeland Security (bidang khusus dalam child pornografi di AS), di mana data internasional yang didapat itu diinformasikan ke kami, sehingga tanggal 6 Mei kami berhasil menangkap pelakunya,” ujar Wahyu dalam siaran persnya, Kamis (25/5/2017).
KemenPPPA yang diwakili oleh Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Rini Handayani menerangkan jika kejadian ini merupakan kasus eksploitasi seksual terhadap anak, karena dilakukan pelaku bukan berdasarkan motif ekonomi. Tentu akan berdampak luarbiasa terhadap psikis para korban, karena rentan waktu terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual dilakukan oleh pelaku sejak anaknya berusia 2 tahun.
“Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak mengutuk dengan keras kejadian pornografi anak ini. Ini merupakan kasus cyber pornografi anak terbesar kedua di Indonesia yang berhasil diungkap. Apalagi kasus ini dilakukan oleh orang terdekat yakni ayah kandung, dimana orangtua seharusnya melindungi anak malah melakukan kejahatan seksual. Penegakan hukum harus benar-benar dilakukan, pelaku harus dihukum seberat-beratnya, dengan ancaman UU RI no.35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman mati,” ujar Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Rini Handayani.
Kejahatan seksual dan eksploitasi terhadap anak melalui cyber sudah sangat menghawatirkan. Diperlukan upaya bersama untuk mencegah agar tidak terjadi kembali, tidak hanya pemerintah tapi keluarga, pendidik, masyarakat dan anak juga berperan. Kemen PPPA menghimbau agar rekan sebaya anak, keluarga, dan masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan di sekitar anak. Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) harus digalakkan dan massif, terutama di daerah terpencil atau terjauh.
“Kemen PPPA mengapresiasi kerja pihak kepolisian yang berhasil mengungkap kasus ini, dan mengharapakan hal ini menjadi perhatian bersama. Kemen PPPA akan mengawal proses penanganan bagi anak-anak yang menjadi korban dan memastikan anak tersebut mendapatkan layanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial dan pendampingan untuk menghilangkan trauma. Melalui P2TP2A pendampingan tidak hanya dilakukan kepada anak-anak yang menjadi korban tapi juga bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Melalui forum-forum anak pula akan kita perkuat agar anak bisa membentengi diri untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa,” jelas Rini.