Oleh : Prihatin Kusdini Dan Kurnia Wamilda Putra*)
MENARA62.COM – Manusia hidup dan bertindak agar terlihat baik dilandasi etika dan moral di mana didalamnya menetapkan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, sedangkan etika mencari tahu mengapa dan atas dasar apa manusia itu harus hidup menurut norma yang telah ditetapkan oleh ajaran moral.[1]
Moral pada dasarnya menuntun manusia untuk menyadari kemanusiaannya, ia sadar akan dirinya yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisiknya, namun ada kebutuhan lain metafisiknya, yaitu keimanan dan sadar akan keterbatasannya, manusia tidak hidup dengan dirinya sendiri tapi ia juga hidup bersosialisasi dengan manusia lainnya dan berbatas dengan Tuhan.[2]
Fenomena yang terjadi saat ini adalah semakin banyaknya kejahatan moralitas terutama penyimpangan orientasi seksual yang dapat berpengaruhi negative bagi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyimpangan nilai-nilai luhur harus menjadi pekerjaan rumah bersama elemen bangsa dalam menanggulangi LGBT (Lesbian,Gay,Biseksual dan Trans Gender). Sebagai negara hukum negara yang berdasarkan hukum yang berkeadilan tersusun dalam satu konstitusi di mana semua orang yang berada di dalam negara tersebut baik yang diperintah maupun yang memerintah harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku di negara tersebut. Setiap orang diperlakukan sama dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan rasional tanpa membedakan warna kulit, ras, gender, agama, kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan satu prinsip distribusi kekuasaan, pemerintah tidak akan melanggar hak rakyat.[3] Sistem perundang-undangan hukum positif di wilayah Dogmatika penalaran hakim di mana objek telaah hakim adalah norma-norma hukum positif. Dengan perkembangan masyarakat hingga masalah hukum menjadi kompleks dan melemahkan antisipasi hukum terhadap perkembangan masyarat, pendekatan Sosiologi Hukum oleh para ahli hukum tentang dimensi hukum yang hidup (living Law) sehingga nila-nilai yang penting terakomodasi ke dalam pengembangan hukum. Hukum tidak hanya sebagai praktik rutin tapi bagaimana menjadi legal craftsmanship dan legal mechanic. Seorang ahli dapat menerapkan suatu peraturan terhadap kasus tertentu dan dapat mengembangkan dan memperbaiki sistem hukum. Di Indonesia harus segera melakukan refleksi dari mendesaknya kebutuhan krisis moral penyuka sesama jenis Penegakan hukum mengalami kesulitan hingga memerlukan terobosan hukum terkerangkeng pada dogma prosedur dan formalisme hingga membutuhkan keberanian hakim melakukan lompatan progresif keluar dari tawanan asas, logika, dan doktrin konvensional.[4]
Indonesia adalah negara yang tidak mengakui komunitas LGBT karena dianggap merusak tatanan nilai berbangsa dan bernegara, negara hanya memberi jaminan perlindungan hukum atas hak Individual dari kaum LGBT. Negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin melakukan tindakan preventif terhadap gejala LGBT yang akan membahayakan generasi penerus. Posisi pemerintah sangat diperlukan dalam menghadapi polemik LGBT ini. Dalam UUD 1945 Amandemen II sebagai negara hukum (Rechtstaat) pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya, dalam ayat (3) diyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kaum LGBT di bawah naungan Hak Asasi Manusia meminta diaku keberadaannya oleh masyarakat dan negara. Jika kita tinjau dalam Konstitusi pasal 28 J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ayat (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Turunan dari Konstitusi mengenai Hak Asasi Manusia UU No.39 tahun 1999 mengatur mengenai kebebasan berekspresi ada pada pasal 22 ayat (3) menyebutkan “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. Selanjutnya ditegaskan pada pasal 70 yang menyatakan sebagai berikut “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Pasal 73 UU HAM menyatakan “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”. Sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 amandemen II dengan tegas menyatakan rasa ini di pasal 28 A-28 I. Juga diatur dalam pasal 30 UU no. 39 Th 2009 Tentang HAM “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Juga, Pasal 35, “Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram yang menghormati, melindungi, dan melaksakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Sebagai Negara yang berdaulat Indonesia sudah memiliki perangkat hukum lainnya UU No 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan menyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tujuan perkawinan salah satunya melestarikan umat manusia. Kaum LGBT yang penyuka sesama jenis. Bila dilegalkan, LGBT akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah. Mengakibatkan menurunnya angka kelahiran karena tidak bisa menghasilkan keturunan. Masyarakat Indonesia yang beragama dan berbudaya. Ada dua hal yang menghimpit kaum LGBT, yaitu : “antara norma dan keadilan”. Bagi kaum LGBT norma dan keadilan tidak dapat serta merta berjalan beriringan, nilai standar HAM Internasional sekalipun juga tidak bisa dijadikan tolak ukur bagi bangsa Indonesia yang berdaulat dan berdasarkan Pancasila. Indonesia Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan ber-Kemanusiaan yang adil dan beradap sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang dianut di Indonesia menurut Uztads Fahmi (MIUMI) bahwa pernikahan sejenis bertentangan demgan nilai dan tatanan ke Tuhanan ( Ilahiah) dapat dilihat dalam QS Al-Araaf (7): 80-84 inti dari larangan Allah “mengutuk kaum Luth mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun, lelaki melepaskan nafsunya pada lelaki bukannya dengan seorang wanita kamu adalah kaum yang melampaui batas”, dan pernyataan Romo Suprapto (KWI) menyatakan pernikahan sejenis bertentangan dengan budaya dan kearifan lokal Indonesia. Apakah dalam Alkitab menyetujui pernikahan sejenis? Apakah upacara pernikahan sah menurut Gereja? Dalam Alkitab mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita bukan sebagai homosexual agar dapat beranak, menjadi homosexual adalah pilihan hidup bukan hasil penciptaan sehingga menghasilkan homosexual. Dalam Alkitab Roma 1;26-27 mengatakan bahwa karena tidak taatan manusia maka, Allah serahkan mereka pada keinginan mereka sendiri. Pandangan gereja-gereja di Indonesia terhadap pernikahan sejenis berbeda-beda, ada yang belum memikirkan karena tidak mengikuti tren yang terjadi legalisasi pernikahan sejenis diberbagai tempat belahan dunia, apabila hukum melegalkan pernikahan sejenis Maka Glendon memperingatkan bahwa kapak hukum akan jatuh lebih keras pada agama, orang atau kelompok yang tidak setuju, institusi agama akan dihadapkan kepada sanksi apabila menolak prinsip-prinsip mereka.[5] Oleh masyarakat “normal” lainnya LGBT dianggap tidak sesuai dengan norma agama dan budaya. Bagi sebagian besar masyarakat individu atau kelompok orang yang kebiasaan dan budayanya tidak sesuai dengan norma tidak berhak untuk mendapatkan keadilan dalam setiap segi kehidupan mereka. Dan pada akhirnya timbul sikap diskriminatif dan kekerasan yang seringkali ditujukan kepada kaum LGBT, tidak hanya dari masyarakat juga perlakuan aparat penegak hukum. Merespon maraknya LGBT, masyarakat harus mampu mengembangkan kewaspadaan sosialnya. Begitupula negara tidak bisa lepas tangan dan berlindung dibalik penghargaan terhadap hak asasi warga negara. Di mana masyarakat Indonesia dengan kultur timur yang menjunjung religiusitas, sangat tegas dan keras melarang segala bentuk praktik LGBT berdasar ketentuan hukum, perundang-undangan, nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Berbagai tontonan yang tidak layak dan melegitimasi perilaku LGBT harus dievaluasi kembali. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk menjaga nilai-nilai dan standar moral yang dianut oleh publik mayoritas.
Tindak Pidana Bagi LGBT
Berdasarkan Draft RKUHP yang baru terdapat 627 pasal dari ratusan pasal itu LGBT tidak dimasukkan dalam delik pidana, perluasan kasus asusila yang diatur RKUHP adalah zina dan kumpul kebo, yakni RKUHP melarang zina having sex dan tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan. Pasal 413 berbunyi:
- Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
- Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a.suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b.Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
- Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
- Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap LGBT
LGBT termasuk sebagai bagian delik pidana sudah lama didengungkan. Sekelompok masyarakat meminta MK mengkriminalisasi LGBT. Melalui perdebatan MK menyerahkan proses kriminalisasi LGBT ke DPR, “sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,”pertimbangan yang disampaikan MK. Empat hakim konstitusi, hakim konstitusi Arief Hidayat, hakim konstitusi Anwar Usman, hakim konstitusi Wahiduddin Adams, dan hakim konstitusi Aswanto menyatakan sebaliknya. Keempat hakim memulai dengan pijakan argumen bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. “Pasal 284 KUHP (perzinaan) yang mengatur delik overspel pada hakikatnya sangat dipengaruhi filosofi dan paradigma sekuler-hedonistik yang menjadi hegemoni pembentukan norma hukum di Eropa pada masa silam yang tentunya sangat berbeda dengan kondisi sosiologis masyarakat di nusantara, baik secara historis jauh sebelum dilakukannya konkordansi Wetboek Van Strafrecht oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun dalam konteks kekinian di Negara Republik Indonesia. Ruang lingkup Pasal 284 KUHP meliputi kriminalisasi dan penalisasi terhadap perbuatan overspel (Echtbreuk, de Schending van de Huwelijkstrow/pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan). Sehingga sifat ketercelaan (verwijtbaarheid) delik overspel sebagai persetubuhan di luar perkawinan dalam Pasal 284 KUHP adalah hanya karena perbuatan tersebut dianggap merusak kesucian dan keutuhan lembaga perkawinan.[6]
Perbandingan Putusan Hukum di Amerika
Keputusan MA Amerika ini dengan pemungutan suara 6-3, MA Amerika beranggotakan 9 Hakim Agung mereka diajukan oleh Presiden dan disetujui oleh Senat. Di dalam MA ada dua kubu: Liberal dan Konservatif perimbangannya 5-4 (5 konservatif, 4 liberal). Ketua MA, John Roberts seorang konservatif selalu bertindak independen terutama menyangkut keputusan akan memberikan dampak yang sangat besar untuk bangsa Mahkamah Agung Amerika mengeluarkan keputusan penting. Lembaga penafsir UU tertinggi di negeri ini memutuskan bahwa orientasi seksual sebagai Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) adalah termasuk dalam hak sipil sehingga tidak boleh didiskriminasi. Keputusan MA 6-3. Ada 2 Hakim Agung konservatif memberikan suaranya bergabung dengan 4 Hakim Agung liberal. Hakim-hakim Agung konservatif itu adalah John Roberts (Ketua MA) dan Neil Gorsuch, Hakim Agung yang diangkat oleh Presiden Trump.Keputusan Gorsuch untuk menyeberang ke kubu liberal sangat mengejutkan kaum konservatif, terutama konservatif Kristen. Lebih khusus kaum Katolik dan Kristen Evangelis dua basis Kristen konservatif di Amerika. Gorsuch sendiri adalah hakim yang sudah sejak lama digadang-gadang oleh kaum konservatif. Bersama Bret Kavanaugh (hakim agung yang saat pencalonannya dituduh melakukan pelecehan seksual), dia tamatan dari sekolah Jesuit yang sangat prestisius, Georgetown Prep School. Keputusan ini mencerminkan perubahan pandangan masyarakat Amerika tentang LGBTQ. Orientasi seksual adalah sebuah identitas berwarna liberal. Jelas memperlihatkan bahwa konservatisme (dalam pengertian tradisional di Amerika Serikat) telah usang dan harus dikaji-ulang. Fundamen dari nilai-nilai konservatif adalah keluarga. Apakah sebuah keluarga dengan dua orangtua sesama jenis itu lebih buruk dari orangtua hetero? Tidak pernah ditemukan orangtua sesama jenis yang menelantarkan anak-anaknya seperti yang kerap terjadi pada orangtua yang hetero.[7]
Di Indonesia mungkin pengakuan dari negara tidak akan dengan serta merta terjadi, tapi Indonesia adalah bagian dari penduduk dunia yang sebagian penduduk dunia sudah melegalkan perkawinan sejenis. Di Indonesia sejak era SBY kaum konservatif didukung oleh para politisi semakin meningkatkan pengganyangan terhadap LGBTQ. Sebagai masalah kemasyarakatan nantinya justru mereka yang konservatif seperti di Amerika Serikat sekarang ini karena golongan muda bersimpati dengan LGBT.
Kesimpulan
- Hakim mempunyai kedudukan yang penting dalam sistem hukum karena hakim melakukan fungsi pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui penemuan hukum (rechtvinding) mengarah pada penciptaan hukum baru (creation of new law)fungsi tersebut untuk memenuhi kekosongan hukum ( recht vacuum) mencegah tidak ditangani satu perkara hukum tertulis tidak jelas atau tidak ada.
- Pernikahan itu membawa keuntungan bagi pasangan yang menikah secara legal, namun pernikahan sejenis maka hukum akan menjatuhkan kapaknya dengan keras pada agama atau kelompok yang tidak setuju, akan berhadapan dengan hukum dan sanksi pada institusi agama.
- Bangsa Indonesia yang religius berdasarkan Pancasila yang berketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab tidak sejalan dengan kitab-kitab agama hakekat penciptaannya manusia mendapat mandate mereproduksi dan memenuhi bumi dalam kitab-kitab suci bahwa pernikahan dilakukan anatara pria dan wanita terutama dalam ajaran Islam, Alkitab mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita bukan sebagai homosexual agar dapat beranak, menjadi homosexual adalah pilihan hidup.
- Dominasi gereja menolak pernikahan sejenis namun sebagian gereja menerimanya hal ini menyangkut hukum yang diterapkan dinegaranya (Amerika), Gereja Indonesia belum menerima sikap resminya.
- Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Indonesia negara yang berketuhanan dan berkemanusiaan yang adil dan beradab, sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang dianut di Indonesia pernikahan sejenis bertentangan demgan nilai dan tatanan ke-Tuhanan.
- MK menyerahkan proses kriminalisasi LGBT ke DPR, sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari politik hukum pidana. Gagasan pembaruan yang diusulkan para pemohon diajukan kepada pembentuk undang-undang dan menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru.
[1] Dr.Muhammad Erwin,Filasafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi),(Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi :PT Raja Gravindo Persada.cetakan ke 6 September 2018. Depok),hlm. 105
[2] Ibid,hlm.106
[3] Munir Fuadi,”Teori Negara Hukum Moderen (Rechtstaat),(Bandung PT Refika Aditama), hal 3
[4] Widodo Dwi Putro,’Kritik Terhadap Paradigma Positivisme hukum, (Yogyakarta Genta Publishing), hal 3-4
[5] Lihat dalam :List Of Christian denominational position on homosexuality http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Christian_denominational_positions_on_homosexuality
[6] Detik News :Rabu 30 November 2022
[7] Bahasan.id :minggu 19 Desember 2022
*)DPP PERHAKHI BIDANG KAJIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN