Kegaduhan Nonton Bareng Film G30S/PKI
Oleh Riswandi Akbar
Menjelang peringatan peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), rencananya akan diadakan pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Gagasan untuk memutar film tersebut diungkapkan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Namun rencana pemutaran film G30S/PKI itu menimbulkan kegaduhan. Banyak yang menyatakan bahwa pemutaran film itu perlu untuk mengenang sejarah dan ada pula yang keberatan karena dianggap akan memunculkan luka lama.
Gatot mengakui bahwa agenda untuk memutar film G30S/PKI merupakan perintahnya. Menurut Gatot, rencana pemutaran film tersebut telah mendapatkan izin dari Mendagri. Tujuan dari pemutaran film tersebut adalah untuk meluruskan kebenaran sejarah yang terjadi di Indonesia. Karena masih banyak anak-anak dan terutama prajurit TNI yang belum mengetahui tentang kebenaran sejarah pemberontakan PKI. Sehingga dengan adanya pemutaran film G30S/PKI akan memberikan pengetahuan kepada mereka dan masyarakat pada umumnya.
Rencana pemutaran film G30S/PKI tersebut mendapatkan dukungan dan apresiasi dari Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini. Menurut Jazuli, pemutaran film G30S/PKI adalah sebagai bentuk untuk kembali meningkatkan kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI dan bahaya laten komunis yang dibawa. Sebagai bentuk dukungannya, Jazuli akan mengadakan nonton bersama film G30S/PKI. Selain itu, dia juga akan menginstruksikan seluruh Fraksi PKS di 30 daerah mengadakan acara serupa di kantor DPRD masing-masing.
Selain itu, Presiden Jokowi juga tidak keberatan dengan rencana pemutaran film G30S/PKI. Menurut Jokowi, menonton film yang berkaitan tentang sejarah itu penting. Agar generasi muda penerus bangsa ini mengetahui tentang sejarah yang terjadi dan belajar dari pengalaman sejarah yang pernah terjadi. Selain itu, harapannya generasi muda mengetahui bahaya dari komunis dan bersama-sama untuk mewaspadai kebangkitan PKI. Namun Jokowi menyarankan untuk membuat film baru terkait G30S/PKI yang disesuaikan dengan perkembangan anak-anak milenial saat ini. Tujuannya adalah agar mudah diterima dan dapat menarik minat anak-anak untuk menonton film tersebut. Tetapi walaupun telah disesuaikan dengan kondisi milenial tidak mengurangi isi konten fakta yang sebenarnya sehingga tidak ada pembelokkan sejarah.
Tanggapan terkait rencana nonton bareng juga ditanggapi oleh Sejarawati Universitas Indonesia, Siswantari. Menurutnya, acara nonton bareng tersebut penting untuk mengetahui sejarah. Dia menyarankan kepada TNI sebagai penyelenggara nonton bareng tersebut untuk memberikan pedoman kepada penonton terkait isi dari filam G30S/PKI. Terkait adanya gagasan untuk membuat ulang film tersebut, Siswantari mendukung upaya tersebut. Siswantari mengatakan pemerintah perlu untuk melakukan penelitian untuk mencari data baru sebelum mendaur ulang film tersebut. Dengan maksud agar film yang baru tetap objektif sesuai fakta yang ada dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Namun terdapat tanggapan negatif terkait rencana nonton bareng film G30S/PKI. Hal itu disampaikan oleh Aktivis HAM dari Kontras Yati Andriyani yang menilai pemutaran film Gerakan 30 September oleh TNI sebagai ‘kemunduran’ dan merupakan bentuk tekanan dalam pengungkapan kasus tersebut. Presiden sebagai penyelenggara negara ditantang untuk menggunakan kewenangannya dalam mengungkap kebenaran kasus G30S/PKI. Karena menurutnya, isu-isu komunis dan peristiwa G30S/PKI sering digunakan sebagai alat untuk mendapatkan dukungan dalam mencapai tujuan politik. Selain itu, pemutaran film G30S/PKI juga akan mempersulit pengungkapan kasus G30S/PKI dan pemulihan nama baik korban yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut tapi tidak pernah menjalani persidangan.
Penyintas Peristiwa G30S/PKI, Bedjo Untung mengkhawatirkan pemutaran film Gerakan 30 September secara terbatas di TNI akan memperburuk diskriminasi ke korban 1965. Dengan pemutaran film G30S/PKI semakin mempertegas upaya represif terhadap korban 65. Pemutaran film kembali film yang sudah lama dianggap tidak layak untuk dipertontonkan ini merupakan usaha militer untuk membohongi publik dan membenarkan apa yang TNI lakukan pada tahun 1965. Dengan adanya pemutaran film G30S/PKI, Bedjo menilai bahwa pemerintah dan militer telah merusak dan mengkhianati cita-cita refoemasi.
Memang hingga saat ini kebenaran terkait peristiwa G30S/PKI masih menjadi pertanyaan. Banyak versi yang menceritakan tentang peristiwa tersebut. Itu semua tergantung dari mana sudut pandang yang diambil. Selain sudut pandang, kepentingan kelompok juga menjadi faktor lain tentang bagaimana menentukan kebenaran versi tersebut. Apabila kebenaran ditentukan berdasarkan sudut pandang subjektif tentu akan terus menerus menjadi perdebatan tanpa adanya solusi.
Nonton bareng film G30S/PKI tentu akan ada manfaat yang dapat diambil. Salah satunya pengetahuan tentang sejarah. Namun disisi lain tentu juga akan menimbulkan penolakan dari pihak yang merasa dirugikan. Rencana pemutaran film tersebut merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah untuk mengedukasi masyarakat agar tidak melupakan sejarah. Namun bagi kelompok tertentu pemutaran film tersebut merupakan satu bentuk diskriminasi. Sebagai masyarakat yang semakin kritis, sepatutnya kita mampu untuk menilai setiap peristiwa yang ada. Lebih baik untuk tidak terlibat dalam perdebatan yang tidak ada manfaatnya. Namun memberikan langkah nyata dalam membangun dan menjaga keutuhan NKRI.*** (Penulis adalah Mahasiswa Fisip Universitas Pakuan)