JAKARTA, MENARA62.COM — (04/09/2019), Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Centre), Andriadi Achmad mengapresiasi kehadiran dan kontribusi Partai Amanat Nasional (PAN) selama dua dasawarsa pasca reformasi dalam kehidupan perpolitikan dan demokrasi Indonesia. Sebagai salah satu partai reformasi, PAN sudah tentu penjaga spirit dan cita-cita reformasi.
“Bapak Reformasi, Amien Rais bersama tokoh-tokoh reformasi lainnya mendirikan PAN pada tahun 1998. Tentunya pendirian PAN dilandasi semangat reformasi dan keinginan perubahan dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Andriadi Achmad saat diwawancara
Sepanjang keikursertaan PAN dalam kontestasi pemilu legislatif, berdasarkan perolehan suara PAN senantiasa berada di posisi partai papan tengah. Dimana pada pemilu pertama pasca reformasi 1999, PAN memperoleh suara 7,12 %, pemilu 2004 (6,41%), pemilu 2009 (6,01%), pemilu 2014 (7,59%), dan pemilu 2019 (6,80%). Stabilitas suara PAN dalam setiap pemilu, tentu disebabkan sumbangan suara tetap dari kalangan Muhammadiyah dan kalangan terdidik perkotaan.
“PAN sebagai partai nasionalis religious yang didirikan tokoh sentral Muhammadiyah di masa Orde Baru, sudah barang tentu mempunyai irisan dan perolehan suara dalam setiap pemilu dari kalangan Muhammadiyah. Tak hanya itu, PAN juga disinyalir partai pilihan kalangan terdidik perkotaan,” jelas Mantan Aktifis Mahasiswa Indonesia Pasca Reformasi era 2000-an ini kepada para awak media.
Pengamat Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta ini juga menilai bahwa PAN konsisten dalam menjaga spirit reformasi dan anti otoriterisme serta menghindari kepentingan keluarga dalam nafas organisasi partai. Oleh karena itu, Amien Rais sebagai tokoh sentral dan punggawa PAN tidak melanggengkan kekuasaan dan melakukan regenerasi kepemimpinan partai kepada Soetrisno Bachir pada kongres II PAN tahun 2005. Begitu juga Soetrisno Bachir meneruskan estafet kepemimpinan pada kongres III PAN tahun 2010 ke Hatta Rajasa, seterusnya Hatta Rajasa pada kongres IV PAN tahun 2015 menyerahkan tampuk pimpinan ke Zulkifli Hasan.
“Amien Rais sebagai tokoh kharismatik PAN, sebenarnya berpotensi melanggengkan kekuasaan layaknya beberapa tokoh kharismatik partai politik lainnya. Akan tetapi, nafas reformasi dan anti otoriterisme serta menghindari dominasi keluarga dalam parpol, pada akhirnya menggerakkan Amien Rais melakukan regenerasi Ketua Umum pada kongres II PAN tahun 2005. Tradisi regenerasi kepemimpinan lima tahunan PAN menjadi kekuatan tersendiri dalam menjaga spirit sebagai partai reformasi,” ungkap Alumni Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI ini.
Andriadi Achmad memperhatikan terlihat kegamangan PAN dalam menghadapi kongres V tahun 2020, disatu sisi stagnanisasi perolehan suara disetiap pemilu sebagai salah satu beban pertimbangan. Dimana partai-partai politik lebih muda senantiasa melampau suara PAN seperti Demokrat tahun 2009 berada di puncak klasemen yaitu 20,4%, Gerindra tahun 2014 melangkahi PAN dengan perolehan suara 11,81%, dan pemilu 2019 Nasdem melesat ke posisi lima besar dengan perolehan suara 9,05%. Di saat ketokohan Amien Rais dan tokoh-tokoh PAN lainnya tidak bisa diandalkan dalam mendongkrak suara di pemilu 2024, sehingga muncul dan berkembang opsi dalam kongres V PAN tahun 2020 mendatang dengan membentangkan karpet biru dan membuka peluang tokoh-tokoh seperti Sandiaga Uno, Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan yang tengah bersinar dan akan bersinar di pilpres 2024 untuk dinobatkan sebagai Ketua Umum PAN Periode 2020-2025.
“PAN tengah dihadapkan dilema kegamangan. Stagnanisasi perolehan suara dari pemilu ke pemilu menjadi beban pikiran elit PAN untuk mencari solusi dalam mendongkrak suara pada pemilu 2024. Salah satu opsi yang santer dan berkembang saat ini di internal PAN adalah membentangkan karpet biru dan membuka peluang tokoh-tokoh potensial seperti Sandiaga Uno, Gatot Nurmantyo, dan Anies Baswedan untuk menakhodai PAN lima tahun kedepan,” demikian tutup Andriadi Achmad mengakhiri wawancara.