RUSIA, MENARA62.COM — Kota Samara, satu dari sebelas wilayah di Samara Oblast, Rusia. Sebuah kota yang dibelah oleh sungai yang luas. Sebuah kota yang menjadi pusat pemerintahan domestik, ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, pengetahuan dan riset di Samara Oblast.
Kota ini bukan kota yang besar. Hanya butuh waktu dua jam menggunakan transportasi publik untuk menjelajahi sudut-sudut kota. Ada wilayah yang hidup dan ramai, toko-toko berjajar menjajakan produk lokal. Ada wilayah elit berisi barisan toko-toko yang menjual barang-barang bermerek. Ada juga wilayah yang seperti kota mati, hening, gelap, dan sepi jika malam tiba.
Di salah satu sudut kota, tepatnya di pinggiran kota Samara. Dekat dengan pelabuhan yang menghubungkan Kota Samara dengan delta kecil yang disulap menjadi pulau industri. Di sudut itu, tepatnya di jalan Aleksaya Tolstoga, Nomor 61A, terdapat sebuah bangunan yang sedang direnovasi. Sebuah bangunan yang bentuk aslinya terlihat sepert biasa saja.
Namun, sebenarnya bangunan itu adalah sebuah Masjid. Nama lengkapnya adalah Samarskaya Istoricheskaya Mechet, atau Masjid Bersejarah Samara. Masjid ini dikelola oleh Musuluman Religioznaya Organizatsiya, atau Organisasi Agama Islam Samara.
Bagi pendatang yang baru pertama kali mengunjungi Masjid ini, pasti akan kebingungan mencari pintu masuk mesjid berwarna merah bata ini. Karena pintu masjid terletak kecil di samping dengan lebih dahulu menaiki beberapa anak tangga, setelah sebelumnya berjalan di lorong kayu berwarna hijau dan putih.
Kami datang sekitar pukul empat sore. Waktu Salat Asar sudah lewat satu setengah jam. Begitu kami sampai ke masjid, suasana masjid gelap. Terdapat sebuah ruang kecil yang berdinding kaca tempat penjaga masjid bekerja dan beristirahat.
Lalu kami bertanya apakah masjid ini terbuka untuk umum? Dan apakah kami bisa salat di sini? Jawaban mereka luar biasa. Pintu Masjid tidak pernah tertutup bagi siapapun yang mau menunaikan salat di masjid ini.
Lalu seorang pria Rusia berjenggot panjang dengan wajah khas Tatarstan, datang menghampiri kami dan dengan sangat ramah menunjukan di mana toilet, tempat wudu, dan area salatnya. Walaupun kendala bahasa sangat menghalangi, namun hati yang terhubung dengan niat baik sangat mudah tersambung.
Di masjid ini, tidak perlu membuka sepatu untuk masuk dan berjalan di dalam area masjid. Kita hanya tidak boleh memakai sepatu di area salat dan ruang baca. Dan salat di Rusia juga menggunakan kaus kaki, tidak boleh bertelanjang kaki. Hal itu untuk menjaga konsentrasi dalam salat. Karena suhu ruangan di Rusia, sekalipun sudah berpenghangat ruangan tetap saja terasa dingin sekali.
Masjid ini juga memiliki kantin yang terletak di lantai satu masjid. Kami turun ke kantin setelah selesai melaksanakan salat. Berniat membeli makanan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari tempat pemberhentian bus.
Kami disambut di kantin oleh seorang wanita tua berkerudung hitam dengan gamis merah bermotif bunga-bunga. Namanya Faride, wanita muslimah dari Moscow yang bekerja di masjid ini. Panggilan akrabnya adalah Apa.
Awal kami memasuki kantin masjid, kami sama sekali belum berkenalan dengan Apa. Kami menanyakan, apakah kantin ini masih buka? Apa mengatakan bahwa kantin ini sudah tutup sejak sebelum salat ashar. Tapi Apa menanyakan apakah kami mahasiswa dan dari mana asal kami. Lalu ia dengan ramah, meminta kami duduk saja dan menunggu. “Kalian tamu di sini, kami harus melayani kalian dengan baik.”
Tak seberapa lama menunggu, tiba-tiba Apa memberikan kami berlima masing-masing semangkuk Sup Kambing khas Tatarstan, senampan besar roti gandum, sepiring besar kentang, dan satu ekor ayam kalkun ungkep goreng khas Tatarstan.
Sebuah nikmat yang luar biasa hari ini. Niat kami menziarahi masjid-masjid yang ada di Samara, selalu saja membawa nikmat tersebunyi setelahnya. Kami menyantap hidangan itu, sambil terus berusaha berkomunikasi dengan Apa. Hingga azan Magrib tiba dan berkumandang. Sebuah Azan dengan nada khas Tatarstan yang pendek-pendek, namun syahdu dan menyedihkan jika didengarkan dengan khusuk.
Makanan kami belum habis saat itu, namun Apa datang dan mengatakan pada kami bahwa dia akan meminta imam untuk menunda mulai salat lima menit sampai kami selesai makan. Dan memang, salat ditunda beberapa menit menunggu kami melanjutkan memakan makanan kami yang besar porsinya ini.
Perjalanan ini menjadi bukti, bahwa Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Kami salat Magrib berjemaah di masjid ini bersama dengan umat muslim lokal. Mereka juga sebenarnya berasal dari beragam latar belakang. Ada yang dari Azerbaijan, Khazakstan, Tajikistan, Tatarstan, Persia, dan ada juga yang orang Rusia asli.
Apapun latar belakang kesukuan kami, kami salat sebagai saudara. Lurus dan rapat dalam barisan mengikuti imam. Itulah pelajaran yang kami tangkap dalam perjalanan ke masjid ini. Persatuan atas nama persaudaraan memang akan sangat terasa bila jumlah kita sedikit. Tapi sesungguhnya, persatuan itulah yang harus kita pegang teguh. Apapun keadaannya, mayoritas maupun minoritas kondisi kita.
Muslim lainnya adalah saudaramu. Tak perduli bahasa kita berbeda, warna kulit kita berbeda, bentuk wajah, mata dan hidung kita berbeda. Bahkan madzhab kita berbedapun, tidak masalah. Muslim seharusnya tetap bersaudara.
Itulah jejak kehangatan yang kami rasakan di masjid Bersejarah Samara. Masjid yang ramah, berkah, dan penuh kehangatan. Wajib dikunjungi oleh siapapun umat Muslim dari Indonesia, jika berkesempatan bertandang ke Samara.
Rusia, Ahad, 3 November 2019
Hermawan Diki