Oleh: Andriadi Achmad*
Golongan Karya (Golkar) merupakan organisasi golongan kekaryaaan dan massa sebagai salah satu peserta pemilu. Golkar pemenang pemilu di era Orde Baru dari pemilu 1971 – 1997, Golkar senantisa menjadi dominant party dengan perolehan suara diatas 60 persen. Kejayaan dan keemasan Golkar di era Orde Baru tidak terlepas dari pengaruh presiden Soeharto sebagai ketua dewan pembina Golkar.
Melalui kebijakan Fusi atau penggabungan partai politik pada tahun 1973 menjadi 2 (dua) parpol yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) dan 1 (satu) Golongan Karya (Golongan Karya). Kebijakan fusi ini terasa sangat efektif dalam perpolitikan Indonesia dan semakin mengokohkan kedudukan Golkar di gelanggang perpolitikan Indonesia.
Stabilitas sosial politik di masa Orde Baru secara realitas terapung ke permukaan seolah tidak ada permasalahan krusial dan nyaris tidak ada nuansa persaingan serta perebutan kekuasaan baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif. Sekilas membahasakan bahwa penerapan demokrasi pancasila di masa Orde Baru berada on the track dan sudah pada titik ideal.
Secara periodik pemilu berjalan dengan lancar, walaupun setiap pemilu tidak semeriah dan segaduh saat ini. Golkar sebagai pemenang pemilu dan mendominasi parlemen, dengan leluasa dan tanpa ada tandingan selalu mencalonkan Soeharto sejak pemilu dan pilpres 1971 – 1997 (selama enam periode) sebagai presiden Republik Indoensia.
Penguasaan Golkar di parlemen dan eksekutif, adalah sebuah gambaran bahwa kekuatan kedua lembaga tersebut seiring dan sejalan mampu membawa sebuah citra politik positif, secara realitas tidak terlihat adanya otoriterisme dan refresif penguasa Orde Baru. Akan tetapi, secara eksplisit tidak adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, berserikat, dan kebebasan pers merupakan sebuah gambaran tidak demokratis dalam sebuah kehidupan bernegara.
Golkar Dominant Party Era ORBA
Pada pemilu tahun 1971 Golkar memperoleh suara sebesar 34.348.673 (62,80%) dengan mengutus sejumlah 236 anggota dari 360 anggota MPR/DPR RI Periode 1971-1977 dengan Ketua MPR/DPR RI Idham Chalid dan memilih Soeharto–Sultan Hamengkubuwo IX sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 1971-1977. Kemudian, pada pemilu tahun 1977 Golkar memperoleh suara sebesar 39.750.096 (62,11 %) dengan mengutus sejumlah 232 anggota dari 360 anggota MPR/DPR RI Periode 1977-1982 dengan Ketua MPR/DPR RI Adam Malik (1977-1978)-Daryatmo (1978-1982) serta memilih Soeharto–Adam Malik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 1977-1982.
Selanjutnya, pada pemilu tahun 1982 Golkar memperoleh suara sebesar 48.334.724 (64,34%) dengan mengutus sejumlah 242 dari 360 anggota MPR/DPR RI Periode 1982 – 1987 dengan Ketua MPR/DPR RI Amir Machmud dan memilih Soeharto – Umar Wirahadikusumah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 1982-1987. Begitu juga, pada pemilu tahun 1987 Golkar memperoleh suara sebesar 62.783.680 (73,11%) dengan mengutus sejumlah 299 dari 400 anggota MPR/DPR RI Periode 1987 – 1992 dengan Ketua MPR/DPR RI Kharis Suhud dan memilih Soeharto – Sudharmono sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 1987-1992.
Pada pemilu tahun 1992 Golkar memperoleh suara sebesar 66.599.331 (68,10%) dengan mengutus sejumlah 282 anggota dari 400 anggota MPR/DPR RI Periode 1992-1997 dengan Ketua MPR/DPR RI Wahono dan memilih Soeharto – Try Soetrisno sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 1992-1997. Tak hanya itu, pada Pemilu tahun 1997 Golkar memperoleh suara sebesar 84.187.907 (74,51%) dengan mengutus sejumlah 325 anggota dari 400 anggota MPR/DPR RI Periode 1997 – 2002 dengan Ketua MPR/DPR RI Harmoko dan memilih Soeharto – B.J. Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 1997-2002.
Metamorfosis Golkar sebagai Partai Politik di Era Reformasi
Kejayaan Golkar di masa Orde Baru, berakhir pada tahun 1998. Ketika Indonesia masuk dalam krisis moneter dan kehilangan legitimasi rakyat terhadap pemerintahan Soeharto. Sehingga mengakibat turunnya Soeharto dari tampuk pemerintahan. Seiring dengan jatuhnya Soeharto, partai Golkar terkena dampak dan ancamam pembubaran. Kepiawaan elit Golkar di tahun 1998 menghindari dari mosi tidak percaya dan tuntutan pembubaran, Akbar Tanjung dan elit politik Golkar mampu menyelamatkan Golkar dengan merubah menjadi Partai Golkar. Seiring dengan keluarnya peraturan hanya partai politik bisa menjadi peserta pemilu 1999.
Pada tahun pemilu 1999 Golkar memperoleh suara sebesar 23.741.749 (22,46%) dengan mengutus sejumlah 120 anggota dari 500 anggota MPR/DPR RI Periode 1999 – 2004 dengan mampu menjadi Ketua DPR RI Akbar Tanjung dan memilih Megawati sebagai calon Presiden. Kemudian pada tahun 2004 Golkar memperoleh suara sebesar 24.480.757 (21,58%) dengan mengutus sejumlah 129 anggota dari 550 anggota MPR/DPR RI Periode 2004-2009 dan Ketua DPR RI Agung Laksono dan memilih Wiranto – Salahuddin Wahid sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden Periode 2004 – 2009.
Selanjutnya, pada pemilu tahun 2009 Golkar memperoleh suara sebesar 15.037.757 (14,45%) dengan mengutus sejumlah 106 anggota dari 560 anggota MPR/DPR RI Periode 2009-2014 dengan mendapat posisi Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso dan memilih JK-Wiranto sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden Periode 2009–2014.
Lalu, pada pemilu tahun 2014 Golkar memperoleh suara sebesar 18.432.312 (14,75%) dengan mengutus sejumlah 91 anggota dari 560 anggota MPR/DPR RI Periode 2014-2019 dengan mendapatkan posisi sebagai Ketua DPR RI (Setya Novanto, Ade Komarudin, dan Bamsoet) dan Wakil Ketua MPR RI (Mahyudin) serta memilih Prabowo Soebianto–Hatta Rajasa sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014 – 2019.
Terakhir, pada pemilu tahun 2019 Golkar memperoleh suara sebesar 17.229.789 (12,31%) dengan mengutus sejumlah 85 anggota dari 575 anggota MPR/DPR RI Periode 2019 – 2024 dengan mendapat posisi sebagai Wakil Ketua DPR RI (Aziz Syamsudin), Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan Ketua DPD RI (La Nyalla Mattalitti) serta memilih Jokowi – Ma’ruf Amin sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019 – 2024.
Golkar Partai Pemerintah Sepanjang Sejarah
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, sejak masa Orde Baru, Golkar tidak pernah berada di luar pemerintahan. Pasca Reformasi, ketika Golkar dan PDIP berkoalisi melawan koalisi poros tengah yang mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden 1999 dan digantikan Megawati 2011. Dalam kabinet Persatuan Nasional di bawah kepemimpinan Gus Dur-Megawati (1999-2001) Golkar memilik empat kader di pemerintahan yaitu Jusuf Kalla (Mendag dan Industri), Mahadi Sinambela (Menpora), Bomer Pasaribu (Menaker), dan Marzuki Darusman (Jaksa Agung).
Begitu juga di masa pemerintahan SBY-JK, di Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) Golkar menempatkan dua kadernya yaitu Aburizal Bakrie (Menko Bidang Perekonomian dan bergeser menjadi Menko Kesra) dan Fahmi Idris (Menakertrans, lalu bergeser menjadi Menteri Perindustrian). Berlanjut pada pada kabinet Indonesia Bersatu II, Golkar memiliki empat kader yaitu Agung Laksono (Menko Kesra), MS Hidayat (Menteri Perindustrian), serta Fadel Muhammad (Menteri Kelautan dan Perikanan) dan diganti Sharif Cicip Sutarjo.
Kemudian pada Era Jokowi-JK di kabinet Indonesia Kerja jilid 1, ada beberapa menterai yaitu Airlangga dan Idrus Marhan sebagai menteri sosial kemudian diganti Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid. Terakhir, di era Jokowi-Ma’ruf Amin dalam kabinet Kerja jilid 2, sejak awal Golkar mendukung Jokowi – Ma’ruf Amin sehingga wajar mendapatkan jatah menteri yaitu Menko Perekonomian (Airlangga Hartato), Menko Maritim (Luhut Binsar Panjaitan), Menteri Perindustrian (Agus Gumiwang Kartasasmita), dan Wakil Menteri Sosial Perdagangan (Jerry Sambuaga).
Dalam konstelasi politik Indonesia, partai Golkar senantiasa memperlihatkan kepiawaan dan kehebatan kader-kadernya dalam memainkan manuver dan peran baik di gelanggang eksekutif maupun arena legislatif. Tinggal bagaimana manuver politik kedepan apakah partai Golkar dapat kembali merebut posisi Presiden RI sebagaimana simbol kejayaan masa lalu Golkar di era Orde Baru.
*Penulis adalah Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta – Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Centre)