28.2 C
Jakarta

Kekhusukan Malam Tahun Baru di Wollongong

Baca Juga:

Sudah seperti menjadi kebiasaan di Indonesia jika menjelang pergantian tahun, akan selalu dihiasi dengan berbagai kemeriahan dan kemewahan. Para penjual terompet, kembang api, dan petasan akan berada di mana-mana. Mulai dari desa hingga perkotaan. Mulai dari supermarket hingga di pinggir jalan raya terus ke pelosok, penuh dengan penjual barang-barang tersebut. Bahkan penjualan pernik-pernik tersebut sudah mulai satu minggu sebelum pesta tahun baru.

Tidak begitu jelas bagi saya, sejak kapan itu ada. Budaya dari mana itu berasal. Ketika saya masih di Sipirok sampai akhir tahun 1980-an, hal ini masih langka. Namun ketika saya merantau ke Makassar sejak awal tahun 1990-an, pesta kembang api dalam malam tahun baru sudah ramai.

Sekali saja saya ikut ke Pantai Losari, bersama dengan teman kelasku saat SMA yang bernama Muhammad Yusuf asal Tanete Bulukumba, jika tidak salah adalah pergantian tahun 1992 ke tahun 1993. Pantai itu sangat ramai, hampir tidak bisa bergerak. Itu adalah satu-satunya saya ikut keluar malam merayakan pesta tahun baru. Sejak itu tidak lagi.

Tahun-tahun berikutnya, dalam rangka tahun baru, selalu saya mengikuti acara-acara keagamaan, seperti tadarrus, mengaji, dan diskusi refleksi akhir tahun. Baik yang diadakan organisasi kemahasiswaan, remaja masjid, maupun IRM dan IMM.

Saya bersyukur, sama sekali tak pernah ikut membakar petasan, meniup terompet, maupun menyalakan kembang api. Padahal usia saya masih SMA saat itu, mestinya ikut pesta hura-hura dengan teman-teman sebaya. Ternyata tidak. Alhamdulillah, saya merasa ini salah satu adalah nikmat besar yang diberikan Allah Swt. Hal ini berlangsung hingga sekarang.

Ketika saya berkeluarga, punya tiga orang anak, saat masih di Samata Gowa. Anak-anak, tanpa sepengetahuan saya, ikut-ikutan dengan teman-temannya membeli petasan. Saya sadar, mereka masih anak-anak SD. Tahun-tahun pertama masih boleh, dengan jumlah dan waktu yang terbatas. Hanya boleh dinyalakan sebelum magrib. Ketika selesai salat magrib, tak boleh lagi. Harus masuk ke rumah, tadarrus dan mendengar ceramah di masjid. Atau sekali-kali menjenguk neneknya bertahun baru di kampung halaman, Somba Majene, Sulawesi Barat.

Hingga sekarang hal ini terus berlangsung. Malam tahun baru tak ada lagi petasan, kembang api, dan terompet dalam keluarga kami. Saya selalu menekankan kepada mereka bahwa hal itu adalah perbuatan yang sia-sia, tidak ada gunanya, justru mendekati langkah-langkah setan dengan membakar uang untuk tujuan yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Tidak ada sedikitpun korelasi membakar petasan dengan peningkatan sumber daya manusia maupun untuk meningkatkan iman dan taqwanya.

Saya tidak tahu persis, kenapa hal itu terjadi di Indonesia. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah sebagai bentuk perayaan sekali setahun, menjadi hiburan bagi warga, dan seterusnya. Maka banyak pihak yang melakukan pesta tahun baru dengan anggaran yang luar biasa. Seorang teman saya pernah mengatakan, keluarga mereka pernah menghabiskan uang hingga lima juta Rupiah hanya untuk membeli kembang api dan petasan.

Satu perusahaan di Makassar pernah diberitakan menyiapkan hingga seratus lima puluh juta Rupiah untuk menyiapkan kembang api dan petasan. Belum lagi anggaran yang dikeluarkan oleh berbagai instansi pemerintah dan seterusnya. Jika diakumulasi untuk seluruh Indonesia, bisa mencapai triliunan Rupiah dibakar dalam satu malam. Pokoknya pesta malam tahun baru harus meriah dengan hamburan api menjulang tinggi berwarna-warni menghiasi langit. Soal apakah itu memiliki makna yang hakiki atau tidak, adalah persoalan lain.

Dari Barat?

Awalnya dikatakan bahwa budaya pesta tahun baru berasal dari negara-negara barat. Mungkin saja ini ada benarnya. Setiap tahun, televisi menyiarkan kemeriahan pesta tahun baru di berbagai negara. Termasuk dari Sydney, Australia. Pemerintah setempat mengadakan pesta yang demikian ini, sebenarnya adalah lebih kepada upaya untuk menarik wisatawan dari luar negeri agar datang berkunjung ke sini.

Kunjungan mereka mendatangkan penghasilan, menambah devisa negara. Puluhan triliun didapatkan dalam satu malam, dari pesta tersebut. Mereka menanam modal mengadakan pesta tahun baru untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Berbeda dengan budaya kita, menghabiskan uang tanpa keuntungan apapun, kecuali bersenang-senang dalam semalam.

Tadi malam, saya dalam perjalanan dari Shelharbour sejauh 28 Km ke Kota Wollongong. Biasanya saya melewati jalan utama bebas hambatan yang lurus dan luas. Tetapi malam tadi, saya sengaja melewati pemukiman penduduk, berbelok arah ke jalan-jalan yang lebih sunyi. Sepanjang perjalanan, saya amati kegiatan masyarakat di pemukiman. Hingga lewat jam sembilan malam, suasana masih sepi.

Ketika saya sampai di rumah, suasana tetap sunyi. Tidak ada petasan, tidak ada terompet, dan tidak ada kembang api. Tidak ada keramaian apapun. Padahal ini kan, malam tahun baru. Harusnya ada pesta seluruh masyarakat dan anak-anak. Ternyata mereka berada di rumah masing-masing, istirahat atau bermain di dalam rumah. Tak ada satupun anak-anak yang berkeliaran di luar rumah. Sebagian lagi ada yang pesta di café, bar dan restoran, sama dengan malam-malam sebelumnya.

Biasanya memang setiap malam pergantian tahun di kota ini, ada pertunjukan di Pantai Wollongong. Pesta kembang api yang meriah. Awalnya nyonyaku sudah merencanakan mengajak kami ke sana. Tetapi pihak pemerintah membatalkannya. Ini terkait dengan musibah kebakaran yang terjadi di berbagai kawasan Australia. Sebagai bentuk empati kepada petugas pemadam dan relawan yang sedang berjuang melawan api, mempertarungkan nyawanya demi memadamkan kebakaran hutan dan semak-semak yang sudah berlangsung hampir tiga bulan.

Hal ini pun diikuti oleh seluruh warga. Jadi tadi malam, adalah malam yang jika bagi orang lain identik dengan pesta, di sini, justru sunyi, lengang dan tenang. Sekalipun tak ada terdengar suara petasan, tak ada bunyi terompet, tak ada kembang api. Warga patuh terhadap peraturan dan himbauan pemerintah. Masing-masing menikmati malam dengan tentram dan khusuk.

Wollongong, Rabu (1/1/2020), qabla Duhur

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!