Oleh Ashari, SIP*
ANDA masih ingat seorang senator ulung dari Kansas AS, calon Presiden AS tahun 1988, Gary Hart? Cerdas, energik, tampan dan berpengalaman. Konon masa depan negara adi daya dan adi kuasa itu ada di tangannya. Kini Gary telah uzur memang, usianya sudah 77 tahun (lahir, 28 Nov 1936 ). Namun keinginannya untuk menjadi orang nomor satu di AS waktu itu tumbang, seiring dengan skandalnya dengan seorang pelacur kelas kakap Donna Rice (kini 56 tahun), dibongkar oleh Majalah Time. Orang tidak menduga, Gery akhirnya mundur teratur. Ambisinya pupus. Karena kekuatan tulisan di koran membentuk opini publik yang sedemikian kuat.
Jokowi (53), Presiden kita juga, misalnya, di samping kinerjanya, tidak bisa dipungkiri naiknya Jokowi juga karena dahsyatnya media yang selalu memblow-up kegiatannya hingga memberikan citra positip terhadap dirinya, hingga berpengaruh kuat terhadap pencalonan dirinya menjadi RI-1. Ketika kampanye waktu itu.
Kini, kita tahu meski masa pandemi covid-19, Pilkada di hampir 270 daerah di Indonesia tetap dilaksanakan oleh pemerintah. Serentak. 9 Desember 2020. Maka tidak berlebihan kalau calon melalui tim sukses mereka berusaha sekuat tenaga menggunakan media massa maupun on line untuk membentuk opini publik, terhadap calon tersebut. Bahasa lain, pencitraan. Mereka sadar kekuatan tulisan yang dahsyat, bisa mengubah penilaian seseorang. Akibatnya bisa memilih dirinya.
Masih banyak contoh real yang menggambarkan bagaimana kekuatan tulisan dapat mengangkat seseorang, namun disisi yang lain bisa menjatuhkan orang lain. Dalam Ilmu Pengetahuan Demokrasi, pers konon adalah pilar ke-4 dalam menyangga sistem demokrasi di negeri ini. Dia berfungsi sebagai lembaga kontrol masyarakat dalam rangka dan upaya menegakkan rasa keadilan di negeri ini. Kita bisa catat, berapa ratus pejabat publik yang harus berhadapan dengan pengadilan dan akhirnya berujung di balik teralis besi, semua karena kekuatan tulisan yang tidak dapat terbendung.
Bahkan saya sendiri mempunyai pengalaman empiris menarik, ketika mempunyai masalah dengan sistem birokrasi di pemerintahan dan swasta, yang tadinya terasa alot, namun setelah masalah tersebut kami share di media massa, justru solusi itu datang mencarinya. Maka tidak berlebihan kalau banyak pejabat publik yang hati-hati benar dengan media, bukan apa-apa, karena salah bicara juga akan menimbulkan keribetan terhadap dirinya. Meski sejatinya ada media hak jawab lewat tulisan. Namun rasanya hak jawab ini sangat jarang dimanfaatkan dengan baik.
Fungsi Media:
Seberapa besar fungsi media dalam membangun opini masyarakat? Domininick (2001) membaginya dalam beberapa tahapan, diantaranya adalah (a) Fungsi pengawasan (surveillance). Fungsi ini terdiri dari 2 bentuk utama, yaitu pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental. Media massa menjalankan fungsi pengawasan peringatan, jika menginformasikan tentang ancaman yang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya bencana alam, serangan militer, inflasi dan krisis ekonomi. Fungsi pengawasan instrumental dari media massa jika informasi yang disampaikan memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.
(b). Fungsi penafsiran (interpretation)- Fungsi ini dijalankan jika media selain menyampaikan fakta dan data kepada khalayak, juga memberi penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa mana yang layak dan yang tidak layak disajikan.
(c). Fungsi keterkaitan (linkage). Media massa dapat menjadi alat pemersatu anggota masyarakat yang beragam sehingga membentuk pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.
(d). Fungsi penyebaran nilai (transmission of values). Fungsi ini disebut juga sosialisasi. Media massa memperlihatkan kepada khalayak tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka.
(e). Fungsi hiburan (entertainment). Fungsi hiburan selalu dijalankan oleh setiap media massa. Media yang sangat jelas menjalankan fungsi ini adalah televisi, radio dan tabloid.
Begitu banyak dan beragamnya fungsi media ini, maka sebagai pembaca dan penikmat media, musti bersikap netral (fair) ketika menghadapi atau membaca berita yang seolah tendensius atau memihak. Kita bisa lihat media tersebut milik siapa dan sejauh mana idealisme-nya. Kita dapat melihat secara kasat mata saat pesta demokrasi kemarin, seolah perang antar pemilik media massa dalam memberikan garansi positip terhadap para kandidat yang berafiliasi dengan para owner. Sebab kalau tidak hati-hati, sebagai pembaca sering dibuat bingung antara mana yang benar dan yang culas.
Epilog :
Disaat masyarakat makin melek berita. Maka peran tulisan dalam membentuk opini publik sedemikian kuatnya. Maka para jurnalis dan redaktur mempunyai peran yang tidak ringan dalam membuat berita yang berimbang dengan pola cover boat site sehingga diharapkan pembaca tidak dibuat bias dalam memahami makna yang ada. Karena pembacalah tujuan berita itu disajikannya. Bukan semata kepentingan pemilik media atau nara sumber yang diwawancarinya. Sekian
* Penulis, Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY.