TANGERANG, MENARA62.COM – Kampus yang inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas adalah sebuah keniscayaan dalam praktik rutin aktivitas di kampus. Komitmen ini ditegaskan kembali oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) melalui disabilitas, cetak biru, kampus inklusif.
Diseminasi Metrik Inklusi Disabilitas adalah proses pemaparan data dan hasil pengukuran yang berkaitan dengan sejauh mana penyandang disabilitas diikut-sertakan dalam berbagai aspek aktivitas masyarakat, organisasi, atau program. Tujuan utamanya adalah mengomunikasikan temuan-temuan dalam metrik tersebut kepada pemangku kepentingan, guna meningkatkan kesadaran, mendorong akuntabilitas, dan menginformasikan tindakan untuk memperbaiki praktik inklusi.
“Dikti memiliki moto untuk meningkatkan akses, mutu, relevansi, dan berdampak, dimana akses berarti memberikan kesempatan bagi semua pihak, termasuk juga penyandang disabilitas. Jadi kegiatan ini menjadi upaya untuk meningkatkan akses bagi mahasiswa penyandang disabilitas untuk meningkatkan pelayanan mahasiswa.” ujar Direktur Belmawa Beny Bandanadjaja.
Berdasarkan data Susenas (2018) hanya terdapat 2,8% penyandang disabilitas yang menyelesaikan pendidikan tinggi. Tidak dapat dimungkiri bahwa wacana kampus inklusif selama ini sering berhenti pada tataran normatif. Padahal, tantangan nyata di lapangan masih beragam. Mulai dari keterbatasan akses fisik, layanan akademik yang belum adaptif, hingga kebijakan kelembagaan yang belum sepenuhnya berpihak pada kebutuhan penyandang disabilitas. Karena itu diperlukan pendekatan yang lebih sistematis dan terukur.
Salah satu pendekatan tersebut adalah pengembangan Metrik Inklusi Disabilitas oleh Universitas Negeri Surabaya (UDIM). Instrumen ini dirancang sebagai alat ukur yang komprehensif untuk menilai sejauh mana perguruan tinggi telah mengimplementasikan prinsip inklusi disabilitas secara sistematis dan berkelanjutan.
Dalam paparannya, Budiyanto selaku salah satu inisiator UDIM menjelaskan bahwa inisiatif ini sejalan dengan komitmen nasional dan global dalam pelaksanaan UN-CRPD, sekaligus menjadi wujud implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak.
“UDIM dikembangkan atas kesadaran akan pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya, serta akses terhadap kesehatan, pendidikan, informasi, dan komunikasi, sebagai prasyarat utama bagi penyandang disabilitas sebagai kebebasan fundamental. Oleh karena itu, diperlukan sebuah instrumen pengukuran yang bersifat universal dan objektif,” jelas Budiyanto.
Metrik Inklusi Disabilitas mencakup berbagai aspek strategis. Mulai dari kebijakan dan tata kelola kelembagaan, ketersediaan serta aksesibilitas sarana dan prasarana, layanan akademik dan nonakademik, kesiapan dan kapasitas sumber daya manusia, hingga pelaksanaan tridarma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dengan perspektif inklusi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek, Khairul Munadi, menegaskan inklusivitas bukan lagi pilihan melainkan keharusan bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
“Kampus adalah rumah bersama yang menjunjung prinsip kesetaraan. Untuk memastikan hal tersebut, mulai tahun 2026 seluruh perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan menghadirkan lingkungan belajar yang ramah dan inklusif bagi penyandang disabilitas,” tegas Dirjen Dikti Khairul Munadi.
Ditambahkannya, kehadiran Metrik Inklusi Disabilitas menjadi instrumen penting untuk memastikan komitmen tersebut dapat dijalankan secara nyata dan terukur. Dengan metrik ini, perguruan tinggi diharapkan mampu memetakan kondisi eksisting, mengenali celah layanan, serta menyusun langkah strategis yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa dan sivitas akademika penyandang disabilitas.
Diseminasi ini juga menyajikan pemaparan dari Komisi Nasional Disabilitas (KND), serta tim pengembang Metrik Inklusi Disabilitas dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Keduanya menggaris-bawahi pentingnya cetak biru pemenuhan hak penyandang disabilitas. Termasuk konsep dan indikator metrik inklusi, hingga teknis pengisian dan pemanfaatan instrumen oleh perguruan tinggi.
Cetak biru kampus inklusif berangkat dari arah kebijakan negara yang menempatkan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai bagian integral dari sistem pendidikan. Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta penguatan kebijakan melalui Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.
Juga selaras dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya Tujuan 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan Tujuan 10 tentang Pengurangan Ketimpangan. Pendidikan tinggi yang inklusif diyakini menjadi fondasi penting dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berkeadilan.
Sebagai salah satu peserta, Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, memberikan apresiasinya kepada Kemdiktisaintek yang telah memberikan perhatian bagi Insan Dikti penyandang disabilitas.
“Kami sangat senang karena saat ini pemerintah, melalui Kemdiktisaintek, mulai meningkatkan perhatian di dalam peraturannya untuk meningkatkan pelayanan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi,” ujar Dante Rigmalia.
Kegiatan diseminasi ini diikuti perwakilan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), serta Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah I sampai dengan XVII dari seluruh Indonesia.

