JAKARTA, MENARA62.COM – Untuk memastikan bahwa link and match antara pendidikan vokasi dengan dunia industri tidak sekedar seremonial saja dan sudah berlanjut ke jenjang pernikahan, Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud akan membuat database pernikahan pendidikan vokasi dan dunia industri. Database ini dapat menjadi data primer yang disajikan bagi masyarakat untuk mengetahui lembaga pendidikan vokasi mana saja yang sudah melakukan pernikahan dengan dunia industri dan bagaimana prospek lapangan kerjanya.
“Kalau mau dibikin sistem pengawasan dan monitoringnya bisa saja, tetapi ada kesan kita tidak percaya. Tetapi akan kita bikin databasenya,” kata Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto pada Bincang Edukasi: Ngobrol Asik dengan Cak Lontong Tentang Vokasi, yang digelar secara virtual, Jumat (11/7/2020).
Database ini nantinya memuat daftar pendidikan vokasi baik Politeknik maupun SMK terkait mitra dan jenis kerjasamanya. Siapa saja dunia industri yang sudah menjadi mitra, dan jenis kemitraannya meliputi aja saja.
Tetapi menurut Wikan, hal terpenting dari pengawasan dan monitoring pernikahan pendidikan vokasi dengan industri tersebut adalah angka serapan lulusan pendidikan vokasi di dunia industri atau dunia kerja. Jika angka serapannya rendah dibawah 80 persen, berarti ada yang salah dengan ‘pernikahan’ tersebut, ada yang salah dengan kurikulum yang sudah disusun bersama.
“Kalau sudah link and match harusnya angka serapan lulusan minimal 80 persen bisa tercapai. Jadi cara mengukurnya gampang. Kita akan lihat 2 tahun setelah MoU berapa persen angka serapan lulusan di dunia industri atau dunia kerja,” lanjut Wikan.
Guru Besar ITB Prof Dr Iwan Pranoto mengemukakan hal terpenting dari pernikahan pendidikan vokasi dan industri adalah meningkatkan relevansi dan konver
gensinya. Apa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan vokasi harus relevan dengan kebutuhan dunia industri, juga sebaliknya. Dengan cara demikian maka ketertarikan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan vokasi akan meningkat.
Ia mengakui hingga saat ini, di Indonesia masih terjadi dikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan vokasi. Dikotomi itu sebenarnya muncul sejak era industri pertama dan masih terus berlangsung hingga sekarang.
Ke depan, Prof Iwan yakin bahwa dikotomi antara pendidikan vokasi dengan pendidikan umum akan semakin menghilang. Sekat antar dua jenis pendidikan ini akan semakin tipis. Hal tersebut terjadi karena saat ini, pendidikan umum juga menuntut adanya relevansi dengan dunia kerja. Sementara di sisi lain, pendidikan vokasi juga membutuhkan kecakapan akademik yang terus meningkat.
Dengan fenomena tersebut, Prof Iwan memandang sudah saatnya Kemendikbud berupaya lebih keras lagi untuk meningkatkan level pendidikan vokasi. Jangan sampai anggapan bahwa SMK hanya cocok untuk anak orang, menjadi kendala untuk mendapatkan input-input berkualitas pendidikan vokasi.
“Pekerjaan besar Kemendikbud adalah bagaimana semua orang tua senang memasukkan anaknya ke SMK atau Politeknik,” tambah Prof Iwan.
Sekolah yang mengejar ijazah semata menurut Wikan sudah tidak zamannya lagi. Sebab sekolah tanpa disertai dengan passion, ibarat menikah tanpa cinta. Sehebat apapun nilai yang diperoleh, jika passionnya tidak ada, maka itu hanya akan sia-sia.
“Dulu orangtua selalu berangan-angan anak sekolah di sekolah yang hebat lalu kerja di kantoran. Anak nurut saja, ngga ada passion apalagi visi. Ini berbahaya,” tukas Wikan.
Karena itu, ia mengimbau orangtua untuk tidak ragu memasukkan anak-anaknya ke pendidikan vokasi. Pendidikan ini tidak hanya memberikan tanda lulus ijazah tetapi juga jenis ketrampilan untuk menjawab aku bisa apa, sehingga lebih siap memasuki dunia kerja. Apalagi sekarang peluang untuk bisa melanjutkan bagi lulusan pendidikan vokasi sudah terbuka lebar. Mereka bisa melanjutkan magister terapan baik di Swiss maupun Jerman.